Gereja Santo Aloysius Gonzaga, Cijantung

Gereja Santo Aloysius Gonzaga
Gereja Santo Aloysius Gonzaga, Paroki Cijantung
Gereja Santo Aloysius Gonzaga, Cijantung
PetaKoordinat: 6°19′1.6788″S 106°51′42.5412″E / 6.317133000°S 106.861817000°E / -6.317133000; 106.861817000
LokasiJalan Pendidikan III, Cijantung, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Jakarta
NegaraIndonesia
DenominasiGereja Katolik Roma
Sejarah
DedikasiSanto Aloysius Gonzaga
Tanggal konsekrasi23 November 1980
Arsitektur
StatusGereja paroki
Status fungsionalAktif
Administrasi
ParokiCijantung
DekenatTimur
Keuskupan AgungJakarta
ProvinsiJakarta

Gereja Santo Aloysius Gonzaga, Cijantung atau yang bernama lengkap resmi Gereja Paroki Santo Aloysius Gonzaga, Cijantung adalah sebuah gereja paroki Katolik yang terletak di Cijantung, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Jakarta. Gereja ini berada dalam naungan Keuskupan Agung Jakarta dan didedikasikan kepada Santo Aloysius Gonzaga. Gereja ini berada dalam reksa pastoral para imam dari Kongregasi Sang Penebus Mahakudus.

Sejarah

Pembentukan komunitas di Cijantung

Berkumpulnya umat Katolik di wilayah Cijantung memiliki keterkaitan dengan adanya Pusat Rawatan Rohani (Pusroh) Katolik TNI AD bersama sejumlah warga sipil. Pada tahun 1960-an, terdapat rencana untuk membangun perumahan bagi para anggota TNI AD yang dikenal sebagai Proyek Gatot Soebroto. Salah satu lokasi yang akan dibangun menjadi perumahan adalah kawasan Cijantung. Beberapa umat kemudian berkumpul dan membentuk komunitas orang Katolik TNI AD yang bermukim di Cijantung. Saat itu umat mengikuti perayaan Ekaristi di Bidaracina atau di Katedral.[1]

Komunitas TNI AD yang berada di Cijantung ini kemudian meminta agar misa dapat diselenggarakan di Cijantung. Namun, Pusat Rawatan Rohani (Pusroh) Katolik TNI AD yang berada di Jalan Gunung Sahari menyampaikan bahwa perlu terdapat setidaknya 50 orang, sementara saat itu baru terdapat 12 keluarga. Sejmlah katekis militer dari beberapa daerah lainnya kemudian diminta ikut serta dalam komunitas di Cijantung.[1]

Perayaan Ekaristi perdana di Cijantung berlangsung di sebuah rumah warga pada tahun 1962. Misa tersebut dipimpin oleh Romo Ch. Widjajasuparto, Pr yang bertugas di Pusroh Katolik Angkatan Darat. Sejak saat itu, perayaan ekaristi rutin diadakan satu bulan sekali di Cijantung, sehingga umat tidak lagi perlu untuk pergi ke gereja lainnya. Namun, lokasi pelaksanaan misa masih berpindah-pindah. Pusrohkat AD kemudian menunjuk FX Djokosoejono sebagai penanggungjawab komunitas umat Katolik di Cijantung.[1]

Pada tahun 1964, umat Cijantung telah mencapai angka 125 orang. Perayaan Ekaristi kemudian diselenggarakan di beberapa tempat yang merupakan fasilitas Angkatan Darat, termasuk di SD Persit KWK Cijantung II, Poliklinik Kesdam V/Jaya Cijantung II, dan di Kantin RPKAD Cijantung I. Ruang kantin tersebut juga digunakan sebagai lokasi peribadatan bagi umat Kristen Protestan. Misa juga sempat diselenggarakan di ruang belajar prajurit di kantor resimen.[1]

Sebuah lembaga pendidikan tingkat SLTP dirintis pada tahun 1965 dengan nama SMP Gatot Soebroto. Sekolah ini terletak di Kompleks Cijantung I dengan menggunakan empat buah gudang RPKAD. Para pengajar didatangkan dari Jalan Gunung Sahari dan dari sejumlah kawasan lain. Komandan RPKAD saat itu, Letkol Sarwo Edhi Wibowo turut mendukung hal ini.[2] Sejak SMP berdiri, perayaan ekaristi dapat diselenggarakan di ruangan sekolah dan menambah frekuensi jumlah misa. Pada masa selanjutnya, SMP Gatot Soebroto beralih menjadi sekolah negeri SMP Negeri 103 Jakarta.[1]

Pada tahun 1967, R.D. Aloysius Pudjohandojo yang menjabat sebagai Kepala Pusrohkat AD merintis SMAK Ignatius Slamet Riyadi. Ide ini juga didukung oleh Uskup Agung Jakarta, Adrianus Djajasepoetra, S.J. Lokasi SMAK ini juga berada di pergudangan RPKAD Cijantung I. Pada tahun 1968, Uskup Agung Djajasepoetra menyetujui pendirian kelas belajar bagi pelajar SMAK Ignatius Slamet Riyadi, yakni tiga buah kelas dan satu buah aula untuk lokasi misa. Pada saat menyelenggarakan ibadat sabda, umat menyambut komuni yang dipersiapkan dari Gereja Santo Antonius Padua, Bidaracina.[1]

Stasi

Sejak awal pendirian komunitas di Cijantung pada sekitar tahun 1962, secara administratif wilayah Cijantung tidak dinyatakan sebagai stasi di bawah Paroki Bidaracina. Namun demikian, secara teritorial, Cijantung merupakan bagian pelayanan dari Paroki Bidaracina.[1]

Pada tahun 1968, Gereja Santo Robertus Bellarminus, Cililitan resmi berdiri menjadi paroki. Pastor Kepala Paroki Cililitan saat itu, R.P. Rob Bakker, S.J. memiliki rencana agar Cijantung menjadi bagian dari Paroki Cililitan, mengingat lokasinya yang berdekatan dengan Cililitan. Sejak tahun 1974, secara resmi Cijantung menjadi stasi dalam Paroki Cililitan.[2] Meski demikian, secara keorganisasian, TNI AD tetap berperan besar dalam mendukung terlaksananya kegiatan di gereja ini.[1]

Pengurus Dewan Stasi kemudian melakukan pendataan umat, termasuk di kawasan Condet Balekambang, Gandaria, dan Cilangkap. Stasi Cijantung kemudian membentuk tujuh lingkungan. Perkembangan jumlah umat membuat jumlah lingkungan ditingkatkan menjadi 13 lingkungan. Buku induk Cijantung telah mulai melakukan pencatatan sejak 16 Desember 1973 saat berlangsung baptisan pertama kali.[3]

Pada tahun 1979, R.P. J.B. Martosudjito, S.J. mulai mempersiapkan pendirian Paroki Cijantung. Sebuah pastoran didirikan di kompleks Sekolah Ignatius Slamet Riyadi, sehingga para imam dapat tinggal di pastoran tersebut. Frekuensi perayaan Ekaristi juga bertambah dengan diselenggarakannya misa harian, misa mingguan pada hari Sabtu sore dan dua kali pada hari Minggu pagi.[1]

Berstatus paroki

Pada 21 Juni 1979, Uskup Agung Jakarta, Leo Soekoto, S.J. meresmikan Stasi Cijantung sebagai sebuah paroki. Paroki Cijantung menjadi paroki ke-33 di lingkungan Keuskupan Agung Jakarta. Santo Aloysius Gonzaga ditetapkan sebagai pelindung paroki. Santo Aloysius Gonzaga memiliki latar belakang kehidupan dari komunitas militer, yang dinilai sesuai dengan umat Cijantung pada saat itu.[4] Pendirian paroki ini membuat umat memikirkan rencana pembangunan gedung gereja.[1]

Pada 17 Februari 1980, pembangunan gedung gereja dimulai dengan peletakan batu pertama. Uskup Agung Soekoto memimpin peletakan batu pertama.[4] Rencana pembangunan dimulai dari gedung gereja sebagai rumah ibadah, beserta dengan aula serbaguna, dan juga gedung pastoran.[5] Bangku-bangku gereja dibantu oleh berbagai pihak, termasuk oleh Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalobang), Solihin Gautama Purwanegara. Pembangunan gereja relatif tidak mengalami kendala berarti, di mana Izin Mendirikan Bangunan terbit dalam tempo satu tahun. Hal ini disebabkan antara lain karena belum banyak warga yang bermukim di daerah sekitar gereja, dan juga karena pembangunan gereja yang sudah terencana, maka tanah-tanah yang berbatasan langsung dengan gereja dihuni oleh para prajurit yang bekerja di Pusat Perawatan Rohani Katolik TNI AD.[2] Pembangunan gereja rampung pada 23 November 1980 saat diberkati oleh Uskup Agung Soekoto. Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo meresmikan penggunaan gedung gereja.[1][4]

Pembangunan pastoran selesai pada April 1982. Akses menuju gedung gereja dilakukan pengaspalan untuk mempermudah akses menuju gereja, dalam rangka peringatan satu windu paroki. Pada tahun 1987, reksa pastoral Paroki Cijantung beralih kepada para imam diosesan Keuskupan Agung Jakarta. Pembangunan fisik kompleks gereja kembali berlangsung pada gedung serbaguna paroki yang berlangsung sekitar tahun 1992. Seorang imam Misionaris Keluarga Kudus, yakni Romo Celsus Winarno Hardosuyatno, M.S.F. juga pernah bertugas pada tahun 1993. Altar gereja sempat mengalami pergantian dan kemudian diberkati pada 10 Mei 1997 oleh Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatmadja, S.J.[1]

Pemugaran gereja sempat berlangsung untuk menambah pendingin ruangan dan menambah daya tampung gereja. Sebuah menara lonceng juga dibangun, beserta dengan pemindahan sakristi dari belakang gereja ke samping gereja. Sebuah Gua Maria juga didirikan untuk mendukung devosi umat kepada Bunda Maria.[1]

Pada tahun 2005, para imam Kongregasi Sang Penebus Mahakudus (Redemptoris) mulai bertugas di Gereja Aloysius Gonzaga ini.

Pemekaran

Pada tahun 1998, sebagian wilayah Paroki Cijantung dimekarkan menjadi wilayah Gereja Santo Yohanes Maria Vianney, Cilangkap.[1]

Peribadatan

Gereja Santo Aloysius Gonzaga menyelenggarakan misa harian dan juga misa mingguan. Misa mingguan diselenggarakan pada Sabtu sore (18.00 WIB) dan pada hari Minggu (06.00, 08.00, dan 18.00 WIB). Misa harian diselenggarakan pada pagi hari (06.00). Perayaan Ekaristi dilaksanakan dalam Bahasa Indonesia.

Stasi

Paroki Cijantung memiliki Stasi Kapel Santo Valentino. Awalnya kapel ini bernama Kapel Santo Yakobus. Renovasi kapel selesai dan diresmikan kembali penggunaannya pada 28 Maret 2004.

Galeri

Eksterior

Interior

Fasilitas lainnya

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n "Paroki St. Aloysius Gonzaga Cijantung". Gema Eklesia. 16 April 2012. Diakses tanggal 31 Desember 2024. [butuh sumber yang lebih baik]
  2. ^ a b c Ali-Fauzi, Ihsan; Panggabean, Samsu Rizal; Sumaktoyo, Nathanael Gratias; Anick H. T.; Mubarak, Husni; Testriono; Nurhayati, Siti (2011). Kontroversi Gereja di Jakarta dan Sekitarnya (PDF). Hasil studi Kerjasama antara Yayasan Waqaf Paramadina dengan Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gadjah Mada. 
  3. ^ "Paroki St. Aloysius Gonzaga (Cijantung)". Gereja Trinitas Paroki Cengkareng. 15 Agustus 2009. 
  4. ^ a b c "Profil Paroki". St. Aloysius Gonzaga Paroki Cijantung. Diakses tanggal 31 Desember 2024. 
  5. ^ Hanggu, Felicia Permata (19 Agustus 2019). "Paroki St Aloysius Gonzaga Cijantung : Merengkuh Usia Matang". HIDUP Katolik. Diakses tanggal 31 Desember 2024. 

Pranala luar


Strategi Solo vs Squad di Free Fire: Cara Menang Mudah!