Anarkisme dan Marxisme

Saat komunisme anarkis dan Marxisme[1] adalah dua filsafat politik yang berbeda, terdapat beberapa kemiripan antara metodologi dan ideologi yang dikembangkan oleh beberapa anarkis dan Marxis, bahkan sejarah keduanya juga saling beririsan. Keduanya berbagi tujuan-tujuan jangka panjang yang serupa (komunisme tanpa negara), musuh politik yang sama (konservatif dan elemen-elemen sayap kanan), melawan target-target struktural yang sama (kapitalisme dan pemerintahan yang eksis saat ini). Banyak Marxis telah turut berpartisipasi dengan sepenuh hati dalam revolusi-revolusi anarkis, dan banyak anarkis yang juga berlaku demikian dalam revolusi-revolusi Marxis. Tetapi bagaimanapun juga, anarkisme dan Marxisme tetap menyimpan saling ketidaksetujuan yang kuat atas beberapa isu, termasuk di dalamnya peran alamiah negara, struktur kelas dalam masyarakat dan metode materialisme historis. Dan selain bentuk kerjasama, terjadi juga konflik-konflik berdarah antara para anarkis dan Marxis, seperti yang terjadi dalam represi-represi yang dijalankan oleh para pendukung Uni Soviet melawan para anarkis.

Argumen-Argumen Seputar Isu Negara

Para ahli ilmu-ilmu politik modern pada umumnya mendefinisikan "negara" sebagai sebuah institusi yang tersentralisir, hirarkis dan berkuasa yang mengembangkan sebuah monopoli atas penggunaan kekuasaan fisik yang terlegitimasi, tak beranjak dari definisi yang awalnya diajukan oleh seorang sosiologis Jerman, Max Weber, dalam esai tahun 1918-nya, Politik-Politik Sebagai sebuah Lapangan Pekerjaan. Definisi ini diterima oleh nyaris semua mazhab-mazhab pemikiran politik modern selain Marxisme, termasuk di dalamnya anarkisme. Marxisme memiliki definisi yang unik tentang negara: negara adalah sebuah organ represi kelas yang satu atas kelas yang lain. Bagi para Marxis, setiap negara secara intrinsik adalah sebuah kediktatoran kelas yang satu atas kelas lainnya. Dengan demikian, dalam teori Marxis dipahami bahwa lenyapnya kelas akan berbarengan dengan lenyapnya negara.

Bagaimanapun juga, tetap terdapat pertemuan di antara kedua kubu. Para anarkis percaya bahwa setiap negara secara tak terelakkan akan didominasi oleh elit-elit politik dan ekonomi, yang dengan demikian secara efektif menjadi sebuah organ dominasi politik. Dari sudut yang berbeda, para Marxis percaya bahwa represi kelas yang berhasil selalu mengikutsertakan kapasitas kekerasan yang superior, dan bahwa seluruh masyarakat selain sosialisme dikuasai oleh sebuah kelas minoritas, maka dalam teori Marxis semua negara non-sosialis akan memiliki karakter negara seperti yang diyakini oleh para anarkis.

Proses Transisi

Teori tentang negara menentukan secara langsung pertanyaan praksis tentang bagaimana transisi menuju masyarakat tanpa negara yang diidam-idamkan baik oleh para anarkis maupun Marxis tersebut mengambil bentuknya.

Kaum Marxis percaya bahwa sebuah transisi yang berhasil menuju komunisme, yang jelas berarti masyarakat tanpa negara, akan membutuhkan sebuah represi atas para kapitalis yang apabila dibiarkan tentu akan membangun kembali kekuatannya, dan akan dibutuhkan juga eksistensi negara dalam sebuah bentuk yang dikontrol oleh para pekerjanya. Kaum anarkis menentang "negara pekerja" yang diadvokasikan oleh para Marxis sebagai sesuatu yang tidak logis semenjak sesegera sebuah kelompok mulai memerintah melalui aparatus negara, maka mereka akan berhenti menjadi pekerja (apabila sebelumnya mereka adalah pekerja) dan dengan demikian akan segera bertransformasi menjadi penindas baru. Kaum anarkis mendukung argumen mereka dengan merujuk pada Uni Soviet yang berkarakter anti demokrasi serta berbagai negara "Marxis" lain, sementara para Marxis mendukung argumen mereka dengan merujuk pada kehancuran revolusi-revolusi yang dipimpin para anarkis semacam dalam Revolusi Meksiko 1910 dan Perang Saudara Spanyol.

Dengan demikian, kaum anarkis berusaha untuk "menghancurkan" negara yang eksis saat ini, serta segera menggantikannya dengan konsil-konsil pekerja, sindikat-sindikat atau berbagai metode organisasional yang desentralis dan non-hirarkis. Kaum Marxis secara kontras, justru berusaha "merebut kekuasaan", yang berarti secara gradual mengambil alih negara borjuis yang eksis saat ini, atau menghancurkan negara yang eksis saat ini melalui sebuah revolusi dan menggantinya dengan sebuah negara baru yang tersentralisir (Leninisme, Trotskyisme, Maoisme) atau melalui sebuah sistem konsil pekerja (Komunisme Konsilis, Marxisme Otonomis).

Posisi kaum Marxis melebur ke dalam anarkisme pada akhir spektrumnya, karena kaum anarkis juga saling tidak setuju di antara mereka sendiri tentang bagaimana sebuah sistem konsil pekerja yang demokratis dan memonopoli kekerasan akan dapat dianggap sebagai sebuah struktur negara atau tidak, sementara kaum Marxis bertengkar di antara mereka sendiri sebagian besarnya atas bentuk kediktatoran proletariat.

Partai Politik

Isu perebutan negara mengarah pada isu tentang keberadaan partai politik, yang juga memisahkan jalan antara kaum anarkis dan Marxis. Kebanyakan kaum Marxis melihat partai politik sebagai sesuatu yang berguna atau bahkan dibutuhkan untuk merebut kekuasaan negara, semenjak mereka kebanyakan melihat bahwa sebuah upaya yang terkoordinasi dan tersentralisirlah yang akan mampu mengalahkan kelas kapitalis dan negara, serta memapankan sebuah badan koordinasi yang mampu mempertahankan revolusi. Partai politik juga menjadi sentral perjuangan semenjak mayoritas kaum Marxis percaya bahwa kesadaran kelas harus disuntikkan ke dalam kelas pekerja, yang sering kali harus dilakukan oleh mereka yang berada di luar kelas tersebut. Tapi bagaimanapun juga, kaum Marxis saling berbeda pendapat tentang apakah sebuah partai revolusioner harus turut serta dalam sebuah pemilu borjuis atau tidak, peran apa yang harus dijalankan pasca revolusi, dan bagaimana ia harus diorganisir. Di sisi lain, para anarkis umumnya menolak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, menolak membentuk sebuah partai politik, semenjak mereka melihat struktur organisasinya yang hirarkis sebagai sebuah kedenderungan otoritarian dan menindas, walaupun toh kebanyakan kaum anarkis juga tak mampu menjawab tentang bagaimana sebuah kesadaran revolusioner dapat dibangkitkan tanpa keberadaan kekuatan kelompok-kelompok pelopor, yang bagi kaum Marxis terwujud melalui partai politik. Bagaimanapun juga perdebatan dan berbagai perbedaan saling berhadap-hadapan, banyak dari mereka, para anarkis, mengorganisir secara politis berdasarkan pada sistem demokrasi langsung dan federalisme dalam upayanya untuk berpartisipasi secara lebih efektif di tengah perjuangan popular dan mendorong rakyat menuju revolusi sosial (dengan memberikan contoh).

Kekerasan dan Revolusi

Pertanyaan praksis lainnya yang berhubungan dekat dengan teori negara adalah kapan dan sebesar apa kekerasan dapat diterima dalam upayanya untuk meraih kemenangan dalam sebuah revolusi. Para anarkis berargumen bahwa seluruh bentuk negara adalah sesuatu yang tak dapat dilegitimasi lagi karena semuanya bergantung pada kekerasan yang sistematis, dan sementara sebagian dari para anarkis dapat membenarkan saat kekerasan berskala kecil atau pembunuhan terarah atas elit-elit dilakukan berdasarkan atas kebutuhan dalam beberapa kasus (misalnya kampanye "Propaganda by the Deeds"), kekerasan massal melawan rakyat biasa—sebagaimana yang dipraktikkan oleh Lenin dan Trotsky dalam menumpas pemberontakan Kronstadt dan Makhnovis, oleh Stalin dalam "Pembersihan Besar-Besaran" atau oleh Mao selama "Revolusi Kultural", tak akan pernah dapat diterima dan dibenarkan. Kebanyakan kaum Marxis berargumen bahwa kekerasan berskala besar dapat dibenarkan dan dengan demikian "perang keadilan" adalah sesuatu yang mungkin, setidaknya dalam lingkup terbatas dari pertahanan diri secara kolektif, misalnya dalam melawan sebuah kudeta atau invasi imperialis. Beberapa lainnya (khususnya para Stalinis) berargumen lebih jauh, bahwa tujuan dapat menghalalkan cara, sehingga dalam teorinya, sejumlah apapun kekerasan dan pertumpahan darah akan dapat dibenarkan dalam upayanya untuk menuju komunisme.

Argumen-Argumen Seputar Isu Kelas

Analisis-analisis kelas baik dari kaum Marxis ataupun anarkis berdasarkan pada ide bahwa masyarakat terbagi ke dalam berbagai macam "kelas-kelas" yang berbeda, masing-masing memiliki kepentingan yang juga berbeda tergantung pada kondisi materialnya. Kelas-kelas tersebut juga berbeda, bagaimanapun juga, dalam soal di mana mereka menarik garis pemisah di antara mereka.

Bagi kaum Marxis, dua kelas yang paling relevan adalah "borjuis" (pemilik alat produksi dan tidak bekerja) dan proletariat (mereka yang tak memiliki alat produksi dan harus bekerja oleh karenanya). Marx percaya bahwa kondisi-kondisi pekerja industri yang unik serta menyejarah akan mendorong mereka untuk mengorganisir diri mereka bersama-sama untuk kemudian mengambil alih peran negara dan alat-alat produksinya dari kelas borjuis, mengkolektivisasinya, serta menciptakan sebuah masyarakat tanpa kelas yang diselenggarakan oleh para proletariat sendiri. Mayoritas para Marxis, merujuk pada analisis-analisis Karl Marx sendiri, mengesampingkan para petani, pemilik alat produksi kecil "borjuis kecil" dan lumpen proletariat—level terendah dari proletariat, yang biasanya menganggur, miskin, tidak memiliki kemampuan kerja, kriminal dan karakteristik mereka yang paling sering ditemui adalah ketiadaan kesadaran kelas—sebagai kelompok-kelompok yang tak akan mampu menciptakan revolusi.

Analisis kelas kaum anarkis telah mendahului Marxisme dan berkontradiksi dengannya. Kaum anarkis berargumen bahwa bukanlah kelas penguasa secara keseluruhan yang sesungguhnya mengatur jalannya negara, melainkan sekelompok minoritas yang menjadi bagian di dalam kelas penguasa (yang dengan demikian juga mempertahankan kepentingannya), memiliki fokus-fokus mereka sendiri, di antaranya yaitu mempertahankan kekuasaan. Sekelompok minoritas revolusioner yang mengambil alih kekuasaan negara dan memaksakan keinginannya pada rakyat berarti juga tidak berbeda dengan otoritarianisme sekelompok kecil penguasa dalam sistem kapitalisme, yang tentu juga akan segera bertransformasi menjadi sebuah kelas penguasa baru. Hal ini telah diprediksikan oleh Bakunin jauh sebelum revolusi Oktober di Russia terjadi.

Selain itu, para anarkis juga melihat bahwa sebuah revolusi yang sukses tak akan pernah dapat lepas dari dukungan para petani, dan hal ini hanya dapat dilakukan dengan melakukan redistribusi lahan di antara para petani tak bertanah. Dengan demikian jelas bahwa kaum anarkis menolak kepemilikan tanah oleh negara, serta mereka menganggap bahwa kolektivisasi sukarela jauh lebih efisien dan layak didukung (berdasarkan pada kasus perang saudara Spanyol 1936 di mana para anarkis memopulerkan kolektivisasi lahan, sementara mereka yang sebelumnya telah memiliki lahan sendiri diperbolehkan untuk tetap memilikinya tetapi dilarang menyewa tenaga kerja untuk mengolah lahan tersebut).

Beberapa anarkis modern (khususnya para pendukung parekon—ekonomi partisipatif) berargumen bahwa kini terdapat tiga kelas yang relevan bagi sebuah perubahan sosial, bukan hanya dua. Secara kasar, mereka adalah kelas pekerja (termasuk di dalamnya setiap orang yang menggunakan tenaga kerjanya dalam memproduksi atau mendistribusikan produk termasuk mereka dalam industri jasa), kelas koordinator (mereka yang pekerjaannya adalah mengkoordinasikan dan memanajemeni para pekerja) dan kaum elit atau kelas pemilik (yang mana pendapatannya diambil atas kemakmuran dan sumber daya). Para anarkis ini menyatakan dengan tegas bahwa Marxisme telah gagal dan akan selalu gagal, karena ia menciptakan sebuah kediktatoran melalui kelas-kelas koordinator dan karenanya juga "kediktatoran proletariat" secara logis menjadi tak mungkin.

Perbedaan-perbedaan inti tersebut kemudian memunculkan fakta bahwa para anarkis tidak membeda-bedakan petani, lumpen dan proletariat, melainkan mereka mendefinisikan bahwa mereka yang harus bekerja untuk bertahan hidup adalah kelas pekerja (walaupun terdapat berbagai perbedaan politik dari berbagai sektor sosial yang berbeda dalam kelas pekerja).

Selanjutnya, analisis kelas Marxian memiliki konsekuensi tentang bagaimana kaum Marxis memandang gerakan-gerakan pembebasan seperti gerakan perempuan, gerakan masyarakat adat, gerakan minoritas etnis dan gerakan homoseksual. Kaum Marxis mendukung beberapa gerakan pembebasan, tidak hanya karena gerakan tersebut memang harus didukung atas tuntutan dan programnya, melainkan karena gerakan-gerakan tersebut dibutuhkan bagi sebuah revolusi kelas pekerja yang tak akan dapat berhasil tanpa persatuan. Bagaimanapun juga, kaum Marxis percaya bahwa seluruh upaya rakyat yang tertindas dalam membebaskan dirinya sendiri akan gagal kecuali mereka mengorganisir diri dalam garis kelasnya, karena para borjuis yang terdapat dalam setiap gerakan tersebut dalam titik tertentu akan mengkhianati perjuangan, dan di bawah kapitalisme, kekuasaan sosial terpusat pada siapa yang menguasai alat produksi.

Kaum anarkis mengkritik kaum Marxis karena terlalu memberi prioritas pada perjuangan kelas. Mereka menjelaskan bahwa perubahan arah sejarah, perjuangan antara mereka yang tertindas dan menindas, beroperasi dengan dinamikanya sendiri. Para anarkis melihat gerakan pembebasan rakyat tertindas secara fundamental dapat dilegitimasi, tak peduli apakah itu gerakan proletariat, gerakan petani, atau apapun, tanpa merasa perlu untuk mengkotakkan mereka dalam sebuah skema gerakan khusus bagi revolusi. Walaupun demikian, banyak juga anarkis yang percaya bahwa perjuangan isu tunggal hanya akan membatasi ruang pandang dan gerak, dan karenanya harus selalu melihat sebuah perjuangan dalam kerangka perjuangan yang lebih besar (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Marxis).

Argumen-Argumen Seputar Metode Materialisme Historis

Marxisme menggunakan sebuah bentuk analisis perkembangan masyarakat manusia yang disebut "materialisme historis". Analisis ini menempatkan ide bahwa manusia hidup dalam sebuah dunia material yang terdeterminasi, dan aksi untuk mengubah dunia terdapat dalam batas-batas apa yang memang dapat dicapai sesuai dengan alur kesejarahan. Secara lebih spesifik, relasi produksi yang menjadi basis fundamental sistem ekonomi adalah alat penentu gerak sejarah. Yang menggaris bawahi proses tersebut adalah adanya ide tentang kontradiksi dan pertentangan antar kelas yang secara alamiah membentuk serta menggerakkan kemajuan sosial.

Marx mengambil formulasi materialisme historis ini dari sistem filsafat dialektika Hegel. Metode ini bekerja melalui asumsi bahwa setiap fenomena alam hanya dapat didefinisikan dengan cara mengkontraskannya dengan fenomena lain. Marx dan Engels berargumen bahwa metode tersebut dapat diaplikasikan pada masyarakat manusia dalam bentuk materialisme historis, sehingga kelas-kelas masyarakat yang ada dapat dipelajari dengan menggunakan kontradiksinya, misalnya, karakteristik majikan hanya dapat dipahami apabila dikontraskan dengan karakteristik pekerja.

Sementara mayoritas para anarkis, menggunakan berbagai macam alat analisis sosial, walaupun sebagian anarkis lain melihat materialisme historis ini sangat efektif untuk digunakan sebagai pisau analisis mereka dan melihatnya sebagai sebuah titik pemersatu dalam sebuah perjuangan kelas. Mayoritas anarkis, bahkan juga menganggap bahwa materialisme historis adalah sebuah ilmu palsu yang tak dapat dibuktikan secara universal. Mereka juga menganggap bahwa metode ini hanya akan mendehumanisasikan analisis-analisis sosial politik dan jelas karenanya menjadi tidak layak digunakan sebagai sebuah metodologi universal.

Determinisme

Sebuah interpretasi yang simpel dari materialisme historis menyatakan bahwa apabila memang Marxisme benar tentang kelas-kelas yang saling berkontradiksi di bawah beroperasinya sistem kapitalisme, maka sebuah revolusi kelas pekerja tak akan terelakkan lagi. Beberapa Marxis, khususnya mereka para pemimpin Internasional Kedua, meyakini hal ini. Bagaimanapun juga, tingkat di mana revolusi harus dilakukan oleh mereka yang telah sadar akan posisi kelasnya, menjadi sebuah perdebatan tersendiri di kalangan kaum Marxis, yang mana sebagian berpendapat bahwa pernyataan Karl Marx yang terkenal, "Aku bukan seorang Marxis", adalah sebuah penolakan konsep determinisme. Perdebatan ini diperdalam dengan terjadinya Perang Dunia I, saat partai-partai sosial demokrat dari Internasional Kedua mendukung upaya-upaya negara untuk terlibat di dalam perang. Sementara di sisi lain, para Marxis yang menjadi oposisi perang, seperti Rosa Luxemburg, menyalahkan Internasional Kedua sebagai sebuah "pengkhianatan" atas doktrin sosialisme yang pada gilirannya dianggap hanya berupaya untuk mereformasi negara kapitalis.

Sementara sebagaimana mayoritas anarkis menolak metode dialektika historis materialis, para anarkis tersebut juga tidak memiliki klaim tentang bagaimana sebuah revolusi akan terjadi. Mereka melihat bahwa revolusi dapat terjadi hanya apabila memang masyarakat menghendakinya.

Catatan

  1. ^ Dengan catatan penting, bahwa dua kubu yang dibahas dalam tulisan ini adalah kecenderungan-kecenderungan dalam anarkisme dan Marxisme klasik

Lihat pula

Bacaan lebih lanjut

  • Barker, John H. Individualism and Community: The State in Marx and Early Anarchism (Individualisme dan Komunitas: Negara dalam pandangan Marx dan Anarkisme Klasik). New York: Greenwood Press, 1986. ISBN 0-313-24706-4
  • D'Agostino, Anthony. Marxism and the Russian Anarchists (Marxisme dan Kaum Anarkis Rusia). San Francisco: Germinal Press, 1977. ISBN 0-918064-03-1.
  • Dolgoff, Sam (ed.). Bakunin on Anarchism (Bakunin dalam Anarkisme). Montreal: Black Rose Books, 2002. ISBN 0-919619-05-3 (Hardcover), ISBN 0-919619-06-1 (Paperback)
  • Paul Thomas, Karl Marx and the Anarchists (Karl Marx dan Kaum Anarkis). London: Routledge, 1985. ISBN 0-7102-0685-2
  • Vincent, K. Steven. Between Marxism and Anarchism: Benoit Malon and French Reformist Socialism (Antara Marxisme dan Anarkisme:Benoit Malon dan Kaum Sosialis Reformis Prancis). Berkeley: University of California Press, 1992. ISBN 0-918064-03-1

Pranala luar