Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka, Carakan,[1] atau Dentawyanjana,[2] adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di pulau Jawa. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Jawa, tetapi dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sunda, Madura, Sasak, dan Melayu, serta bahasa historis seperti Sanskerta dan Kawi. Aksara Jawa merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Bali.
Aksara Jawa aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Jawa sejak abad 18 M, tepatnya pasca dibuatnya Babad Tanah Jawi (1722 M), oleh pujangga Mataram Islam, hingga pertengahan abad ke-20 M, sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur,[3][4] dan Cirebon serta Indramayu[5] sebagai bagian dari muatan lokal, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
Aksara Jawa adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 20 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua)[6] namun umum diselingi dengan sekelompok tanda baca yang bersifat dekoratif.
Sejarah
Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian epigrafis secara mendetail. Akar paling tua dari aksara Jawa adalah aksara Brahmi di India yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8 M.
Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke- 8 hingga 15 M. Aksara Kawi menjadi huruf formal, sekaligus bukti era keemasan ilmu pengetahuan Jawa, sejak masa keemasan Raja Airlangga dari Kerajaan Medang Kahuripan, dilanjutkan pada era Kerajaan Singasari, hingga pada masa akhir Kerajaan Majapahit.
Terbukti, sangat banyak prasasti berbahasa Kawi. Pada akhir masa Kerajaan Majapahit, masih banyak terdapat prasasti berbahasa Kawi. Contohnya adalah Prasasti Pamintihan (1473 M). Prasasti yang dikeluarkan Raja terakhir Majapahit bernama Raja Singhawikrama Wardhana ini, jadi bukti empiris bahwa sampai abad 15 M, huruf resmi masyarakat Jawa adalah huruf Kawi.
Pada abad 14 M, di tengah penggunan huruf Kawi, masyarakat Jawa juga mulai mengenal huruf Al Jawi (Arab-Jawa). Hal ini ditandai keberadaan Prasasti Trengganu (1386 M), yang secara jelas menyebut istilah-istilah berbahasa Jawa seperti Bhumi dan Dewata Mulia menggunakan huruf Arab. Prasasti Trengganu bersamaan dengan keberadaan Maulana Malik Ibrahim dan Syekh Jumadil Kubro berada di Pulau Jawa.
Pada abad 15 M hingga 16 M, penggunaan huruf Jawi (perpaduan Jawa dan Arab) mulai populer di Pulau Jawa. Khususnya lewat bermacam karya tulis yang ditulis Sunan Ampel, Sunan Bonang dan Sunan Giri. Penggunaan huruf Jawi mengalami puncak popularitas pada era Kesultanan Pajang yang sempat menjadikannya huruf resmi. Ini dibuktikan dari keberadaan Naskah Merapi-Merbabu yang di dalamnya terdapat catatan berhuruf paduan antara Arab dan Jawa.
Huruf Hanacaraka atau huruf Jawa Baru, secara empiris muncul pertamakali pada karya Babad Tanah Jawi (1722 M), yang ditulis para pujangga Mataram Islam era Pakubuwana I. Huruf inilah yang kelak dikenal secara luas sebagai huruf Hanacaraka. Selama ratusan tahun sejak abad 18 M, huruf Hanacaraka masih digunakan hingga saat ini.
Media
Serat Yusuf dalam naskah lontar, koleksi Tropenmuseum
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu. Aksara Kawi yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam bentuk prasasti batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media lontar, yakni daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.[7]
Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku kodeks. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15, bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.[8] Terdapat dua jenis kertas yang umum ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: kertas produksi lokal yang disebut daluang, dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa: dluwang) adalah kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon saéh (Broussonetia papyrifera, disebut juga pohon glugu). Secara tampak, daluang cukup mudah dibedakan dengan kertas biasa dari warna cokelatnya yang khas dan tampilannya yang berserat-serat. Daluang yang dibuat dengan telaten akan memiliki permukaan yang mulus dan tahan lama dari macam-macam bentuk degradasi (terutama serangga), sementara daluang yang tidak bagus memiliki permukaan yang tidak rata dan mudah rusak. Daluang umum digunakan dalam naskah yang ditulis di keraton dan pesantren Jawa antara abad ke-16 dan 17.[8][9]
Sebagian besar kertas impor yang digunakan di naskah-naskah Nusantara didatangkan dari Eropa. Pada awalnya, kertas Eropa hanya digunakan oleh sebagian kecil juru tulis Jawa karena harganya yang mahal–kertas yang dibuat dengan teknik Eropa pada masa itu hanya bisa diimpor dalam jumlah terbatas.[a] Dalam administrasi kolonial sehari-hari, penggunaan kertas Eropa perlu disuplementasikan dengan kertas daluang Jawa serta kertas impor Tiongkok setidaknya hingga abad ke-19.[9] Seiring meningkatnya jumlah kertas impor dan pengiriman yang lebih berkala, juru tulis di keraton dan permukiman urban makin memilih kertas Eropa sebagai media tulis utama sementara daluang kian diasosiasikan dengan naskah yang dibuat di pesantren dan desa.[8] Bersamaan dengan meningkatnya impor kertas Eropa, teknologi cetak aksara Jawa juga mulai dirintis oleh sejumlah tokoh Eropa dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1825. Dengan adanya teknologi cetak, materi beraksara Jawa dapat diperbanyak secara massal dan menjadi lumrah digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa pra-kemerdekaan, seperti surat-surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.[10]
Penggunaan
Penggunaan Aksara Jawa
Halaman pembuka Serat Jatipustaka yang disalin pada tahun 1830, koleksi Museum Denver
Halaman pembuka Babad Tanah Jawi yang disalin pada tahun 1862, koleksi Perpustakaan Kongres Amerika
Sampul majalah Kajawèn edisi 65, tanggal 16 Agustus 1933
Dokumen kekancingan yang dikeluarkan Keraton Yogyakarta pada tahun 1935, koleksi Museum Dewantara Kirti Griya
Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh tradisi lisan yang kuat, teks sastra tradisional Jawa hampir selalu disusun dalam bentuk tembang yang dirancang untuk dilantukan, sehingga teks Jawa tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tetapi juga dari irama dan nada pelantunan.[11] Pujangga sastra Jawa umumnya tidak dituntut untuk menciptakan cerita dan karakter baru, peran pujangga adalah untuk menulis dan menyusun ulang cerita-cerita yang telah ada ke dalam gubahan yang sesuai dengan selera lokal dan perkembangan zaman. Akibatnya, karya sastra Jawa seperti Cerita Panji bukanlah sebuah teks dengan edisi otoriter yang menjadi rujukan teks lainnya, melainkan kumpulan variasi cerita dengan benang merah tokoh Panji.[12] Genre sastra dengan akar paling kuno adalah wiracarita atau epos Sanskerta seperti Ramayana dan Mahabharata yang telah disadur sejak periode Hindu-Buddha dan memperkenalkan tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, dan puluhan karakter lainnya yang kini akrab dalam masyarakat Jawa. Sejak masuknya Islam di Jawa, tokoh-tokoh dari sumber Timur Tengah seperti Amir Hamzah dan Nabi Yusuf juga menjadi salah satu subjek yang sering dituliskan. Terdapat pula tokoh-tokoh lokal yang sering kali mengambil latar semi legendaris di Jawa masa lampau, misal Pangeran Panji, Damar Wulan, dan Calon Arang.[13]
Ketika kajian mendalam mengenai bahasa dan sastra Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada abad ke-19, timbullah keinginan untuk menciptakan aksara Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Upaya paling awal untuk menghasilkan aksara Jawa cetak dirintis oleh Paul van Vlissingen yang aksara Jawa cetaknya pertama kali digunakan dalam surat kabar Bataviasch Courant edisi bulan Oktober 1825.[14] Meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang patut dipuji pada masa itu, aksara Jawa cetak Vlissingen dinilai memiliki gubahan bentuk yang canggung, sehingga upaya awal ini kemudian diteruskan oleh berbagai pihak seiring dengan berkembanganya kajian sastra Jawa.[15] Pada tahun 1838, Taco Roorda menyelesaikan fon cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah berdasarkan langgam penulisan Surakarta[b] dengan sedikit campuran elemen tipografi Eropa. Rancangan Roorda disambut dengan baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama untuk mencetak segala tulisan yang beraksara Jawa. Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan fon Jawa yang digubah Roorda, menjadi lumrah beredar di khalayak umum dan diterapkan pula dalam berbagai materi selain sastra. Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan industri percetakan yang selama seabad ke depan menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari dalam aksara Jawa, dari surat administratif, buku pelajaran, hingga media massa populer seperti majalah Kajawèn yang seluruh kolom dan artikelnya dicetak dengan aksara Jawa.[10][17] Pada tingkat pemerintahan, salah satu bentuk penerapan aksara Jawa adalah penggunaannya sebagai salah satu teks legal multi-bahasa dalam uang kertasGulden yang disirkulasikan De Javasche Bank.[18]
Kemunduran
Seiring dengan meningkatnya permintaan bacaan masyarakat pada awal abad ke-20, penerbit Jawa mengurangi produksi materi beraksara Jawa karena alasan ekonomis: mencetak materi apa pun dengan aksara Jawa pada waktu itu memerlukan hingga dua kali lebih banyak bidang kertas dibanding mencetak materi yang sama dengan alih aksara Latin, sehingga produksi bacaan beraksara Jawa memakan lebih banyak waktu dan biaya.[c] Dalam rangka menekan biaya dan menjaga agar harga buku tetap terjangkau bagi masyarakat, berbagai penerbit seperti Balai Pustaka kian mengutamakan penerbitan materi berhuruf Latin.[21] Meskipun begitu, masyarakat Jawa di awal abad ke-20 cenderung tetap menggunakan aksara Jawa dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kegiatan surat-menyurat, misal, penggunaan aksara Jawa dianggap lebih halus dan sopan daripada penggunaan huruf Latin, terutama dalam surat untuk orang yang lebih tua. Berbagai penerbit, termasuk Balai Pustaka sendiri, tetap mencetak buku, koran, dan majalah dalam aksara Jawa karena adanya minat pembaca yang memadai meski perlahan-lahan menurun. Penggunaan aksara Jawa baru mengalami kemunduran yang signifikan ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942.[22] Beberapa penulis melaporkan adanya aturan Jepang yang melarang penggunaan aksara Jawa dalam ranah publik.[d] Namun tidak dipungkiri bahwa penggunaan aksara Jawa memang mengalami kemunduran yang signifikan pada zaman pendudukan Jepang. Program-program pendidikan pemerintahan yang baru didirikan setelah Indonesia merdeka berfokus pada pendidikan Bahasa Indonesia dan pemberantasan buta huruf Latin, sehingga penggunaan aksara tidak kembali sebagaimana semula pada periode pasca-kemerdekaan.[24][25]
Penggunaan kontemporer
Perbandingan gaya aksara Jawa untuk papan nama instansi pemerintahan
Gagrag Surakarta. Aksara Jawa diletakkan di atas huruf Latin (Perwal Solo No. 3/2008).
Gagrag Yogyakarta. Huruf Latin diletakkan di atas aksara Jawa (Pergub DIY No. 70/2019).
Dalam ranah kontemporer, aksara Jawa hingga kini masih menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian kecil Jawa Barat. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa, dan aksara Jawa dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Akan tetapi, banyak upaya kontemporer untuk menerapkan aksara Jawa hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional; tidak ada lagi, sebagai contoh, publikasi berkala seperti majalah Kajawèn yang isi substansialnya menggunakan aksara Jawa. Kebanyakan masyarakat Jawa hanya sadar akan keberadaan aksara Jawa dan mengenal beberapa huruf, tetapi jarang ada yang mampu membaca atau menulisnya secara substansial,[26][27] sehingga sampai tahun 2019 tidak jarang ditemukan papan nama di tempat umum yang penulisan aksara Jawa-nya memiliki banyak kesalahan dasar.[28][29] Beberapa kendala dalam upaya revitalisasi penggunaan aksara Jawa termasuk perangkat elektronik yang sering kali mengalami kendala teknis untuk menampilkan aksara Jawa tanpa galat, sedikitnya instansi dengan kompetensi memadai yang dapat dikonsultasikan, dan kurangnya eksplorasi tipografi yang menarik bagi masyarakat.[26][30] Meskipun begitu, upaya revitalisasi terus digeluti oleh sejumlah komunitas dan tokoh masyarakat yang aktif memperkenalkan kembali aksara Jawa dalam penggunaan sehari-hari, terutama dalam sarana digital.[30]
Bentuk
Aksara
Aksara adalah huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Jawa memiliki sekitar 45 aksara dasar, tetapi tidak semuanya digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi digunakan sementara beberapa lainnya hanya digunakan pada konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Jawa dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.
Wyanjana
Aksara wyanjana (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Jawa pada awalnya memiliki 33 aksara wyanjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa Sanskerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[31][32]
^3 /ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Jawa "kathah"
^4 /ɖa/ sebagaimana dha dalam kata bahasa Jawa "padha"
^5 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ dalam bahasa Kawi
Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:
^6 /ɕa/ mendekati pengucapan sya dalam kata "syarat"
Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara wyanjana dalam deret Sanskerta-Kawi. Aksara Jawa modern hanya menggunakan 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara nglegena (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦼꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai aksara murda (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) untuk menuliskan gelar dan nama yang dihormati, baik nama tokoh legenda (misal Bima ditulis ꦨꦶꦩ) maupun nyata (misal Pakubuwana ditulis ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ).[33] Dari 20 aksara nglegena, hanya 9 aksara yang mempunyai bentuk murda, oleh karena itu penggunaan murda tidak identik dengan penggunaan huruf kapital di dalam ejaan Latin;[33] apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan murda tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya bersifat pilihan, sehingga nama seperti Gani dapat dieja ꦒꦤꦶ (tanpa murda), ꦓꦤꦶ (dengan murda di awal), atau ꦓꦟꦶ (seluruhnya menggunakan murda) tergantung dari latar belakang dan konteks penulisan yang bersangkutan. Sisa aksara yang tidak termasuk nglegena maupun murda adalah aksara mahaprana. Aksara mahaprana tidak memiliki fungsi dalam penulisan Jawa modern dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta-Kawi.[31][e]
^1 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan
^2 ca murda hanya teratestasi dalam bentuk pasangan,[4] bentuk aksara dasarnya merupakan rekonstruksi kontemporer
^3 ra agung, memiliki fungsi yang serupa dengan aksara murda lainnya namun tidak dikenal secara luas karena penggunaannya yang terbatas di lingkungan kraton[31]
Swara
Aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Pada awalnya, aksara Jawa memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sanskerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[32]
Sebagaimana aksara wyanjana, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara swara dalam deret Sanskerta-Kawi, dan kini hanya aksara untuk vokal pendek yang umumnya diajarkan. Dalam penulisan modern, aksara swara digunakan untuk menggantikan aksara wyanjana ha ꦲ (yang pelafalannya bisa jadi ambigu karena berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/) pada nama atau istilah asing yang pelafalannya perlu diperjelas.[37]
Pa cerek ꦉ, pa cerek dirgha ꦉꦴ, nga lelet ꦊ, dan nga lelet raswadi ꦋ adalah konsonan silabis yang dalam bahasa Sanskerta-Kawi dianggap sebagai huruf vokal.[36][38] Ketika digunakan untuk bahasa selain Sanskerta, pelafalan keempat aksara ini sering kali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Jawa modern, hanya pa cerek dan nga lelet yang digunakan; pa cerek dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara nga lelet dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Dalam pengajaran modern, aksara ini sering kali dipisahkan dari aksara swara menjadi kategori sendiri yang disebut aksara gantèn. Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+pepet (ꦫꦼ → ꦉ) serta la+pepet (ꦭꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.[39]
Rékan
Aksara rékan (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦫꦺꦏꦤ꧀) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis bunyi asing.[40] Aksara ini pada awalnya dikembangkan untuk menuliskan kata serapan dari bahasa Arab, kemudian diadaptasi untuk kata serapan dari bahasa Belanda, dan dalam penggunaan kontemporer juga digunakan untuk menulis kata-kata bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagian besar aksara rékan dibentuk dengan menambahkan diakritik cecak telu pada aksara yang bunyinya dianggap paling mendekati dengan bunyi asing yang bersangkutan. Sebagai contoh, aksara rékan fa ꦥ꦳ dibentuk dengan menambahkan cecak telu pada aksara wyanjana pa ꦥ. Kombinasi wyanjana dan ekuivalen bunyi asing tiap rékan bisa jadi berbeda antarpenulis karena ketiadaan persetujuan bersama dan lembaga bahasa yang mengatur.
Terdapat lima aksara rekan menurut Padmasusastra[41] dan Dwijasewaya:[42] kha, dza, fa, za, dan gha, tetapi menurut Hollander, terdapat sembilan:[43]
^1 aksara "ka Sasak", aslinya hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sasak
Diakritik
Diakritik (sandhangan ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀) adalah tanda yang melekat pada aksara untuk mengubah vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Jawa juga dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung dari fungsi dan penggunaannya.
Swara
Sandhangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) adalah sandhangan yang digunakan untuk mengubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya, sebagaimana berikut:[44]
^5 bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta, dalam kajian Kawi umum diromanisasi menjadi ö
Sebagaimana aksara swara, hanya sandhangan vokal pendek yang umumnya diajarkan dan digunakan dalam bahasa Jawa kontemporer, sementara sandhangan vokal panjang digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi.
Panyigeging wanda
Sandhangan panyigeging wanda (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦥꦚꦶꦒꦼꦒꦶꦁꦮꦤ꧀ꦢ) digunakan untuk menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:[45]
^1 umumnya hanya ditemukan dalam salinan lontar Bali untuk menuliskan kata keramat seperti ong ꦎꦀ
^2 tidak digunakan untuk suku kata tertutup yang terjadi di tengah kata atau kalimat (lihat pasangan)
Wyanjana
Sandhangan wyanjana (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan dengan semivokal dalam satu suku kata, sebagaimana berikut:[46]
Sandhangan Wyanjana
-re
-y-
-r-
-l-
-w-
ꦽ
ꦾ
ꦿ
꧀ꦭ
꧀ꦮ
keret
pengkal
cakra
panjingan la
gembung
kre
kya
kra
kla
kwa
ꦏꦽ
ꦏꦾ
ꦏꦿ
ꦏ꧀ꦭ
ꦏ꧀ꦮ
Pasangan
Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik pangkon. Akan tetapi, pangkon normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk pasangan (ꦥꦱꦔꦤ꧀). Berbeda dengan pangkon, pasangan tidak hanya mematikan konsonan yang diiringinya tetapi juga menunjukkan konsonan selanjutnya. Sebagai contoh, aksara ma (ꦩ) yang diiringi bentuk pasangan dari pa (꧀ꦥ) menjadi mpa (ꦩ꧀ꦥ). Bentuk pasangan setiap aksara ada di tabel berikut:[47]
tanda bulat (◌) pada karakter bukanlah bagian dari pasangan, tetapi mengindikasikan posisi aksara yang diiringinya
^1 kerap digunakan sebagai bagian dari pepadan yang tidak memiliki fungsi fonetis
^2 pasangan dalam tabel ini merupakan bentuk yang digunakan dalam penulisan Jawa modern. Beberapa aksara memiliki bentuk pasangan yang berbeda dalam penulisan Sanskerta-Kawi
Contoh pemakaian pasangan dapat dilihat sebagaimana berikut:
komponen
penulisan
keterangan
+
+
+
+
=
a + (ka + (pangkon + sa)) + ra → a + (ka + (pasangan sa)) + ra = a(ksa)ra
+
+
+
+
=
ka + (na + (pangkon + tha) + -i) → ka + (na + (pasangan tha) + -i) = ka(nthi)
Angka
Aksara Jawa memiliki lambang bilangannya sendiri yang berlaku selayaknya angka Arab, tetapi sebagian bentuknya memiliki rupa yang persis sama dengan beberapa aksara Jawa, semisal angka 1 ꧑ dengan aksara wyanjana ga ꦒ, atau angka 8 ꧘ dengan aksara murda pa ꦦ. Karena persamaan bentuk ini, angka yang digunakan di tengah kalimat perlu diapit dengan tanda baca pada pangkat atau pada lingsa untuk memperjelas fungsinya sebagai lambang bilangan. Semisal, "tanggal 17 Juni" ditulis ꦠꦁꦒꦭ꧀꧇꧑꧗꧇ꦗꦸꦤꦶ atau ꦠꦁꦒꦭ꧀꧈꧑꧗꧈ꦗꦸꦤꦶ. Pengapit ini dapat diabaikan apabila fungsi lambang bilangan sudah jelas dari konteks, misal nomor halaman di pojok kertas. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[48][49]
Angka
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
꧐
꧑
꧒
꧓
꧔
꧕
꧖
꧗
꧘
꧙
Tanda baca
Teks tradisional Jawa ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan memiliki sejumlah tanda baca yang disebut pada (ꦥꦢ).
Sebagai pemisah antar kalimat, aksara Jawa menggunakan pada lungsi (꧉) apabila suku kata terakhir terbuka (tidak ada pangkon), tetapi menggunakan pada lingsa (꧈) apabila suku kata terakhir tertutup (menggunakan pangkon). Sebaliknya, sebagai pemisah antar anak kalimat, aksara Jawa menggunakan pada lingsa (꧈) apabila suku kata terakhir tertutup, tetapi menggunakan pemisah spasi apabila suku kata terakhir terbuka. Peraturan penulisan ini berbeda dengan penggunaan titik dan koma pada penulisan Latin, dan tidak jarang tidak dipahami dengan baik oleh pengguna aksara Jawa.
Selain itu, dalam aksara Jawa tidak memiliki padanan untuk tanda baca tanda tanya, tanda seru, tanda hubung, simbol-simbol matematika (termasuk garis miring), dan titik koma. Oleh karena itu, suatu kalimat yang ditulis dalam aksara Jawa dapat diketahui sebagai kalimat interogatif (tanya) atau imperatif (perintah) dari konteksnya saja.
Berbagai bentuk pada sebagaimana berikut:
Pada
lingsa
lungsi
adeg
adeg-adeg
pisèlèh
rerenggan
pangkat
rangkap
surat
koreksi
andhap
madya
luhur
guru
pancak
tirta tumètès
isèn-isèn
꧈
꧉
꧊
꧋
꧌...꧍
꧁...꧂
꧇
ꧏ
꧃
꧄
꧅
꧋꧆꧋
꧉꧆꧉
꧞꧞꧞
꧟꧟꧟
Dalam pengajaran modern, tanda baca yang paling sering digunakan adalah pada adeg-adeg, pada lingsa, dan pada lungsi, yang masing-masing berfungsi untuk membuka paragraf (sebagaimana pillcrow), memisahkan kalimat (sebagaimana koma), dan mengakhiri kalimat (sebagaimana titik). Pada adeg dan pada pisèlèh umumnya digunakan untuk mengapit sisipan di tengah teks seperti kurung atau petik, sementara pada pangkat berfungsi seperti titik dua. Pada rangkap kadang digunakan sebagai tanda pengulangan kata yang dalam bahasa Indonesia informal setara dengan penggunaan angka 2 untuk kata berulang (misal kata-kata ꦏꦠꦏꦠ → kata2 ꦏꦠꧏ).[50]
Beberapa tanda baca tidak memiliki ekivalen dalam ejaan latin dan sering kali bersifat dekoratif, karena itu bentuk dan penggunaannya cenderung bervariasi antarpenulis, semisal rerenggan yang kadang digunakan untuk mengapit judul. Dalam surat-menyurat, seperangkat tanda baca digunakan di awal surat sebagai tanda pembuka dan kadang digunakan pula sebagai penanda status sosial dari sang pengirim surat; dari pada andhap yang rendah, pada madya yang menengah, hingga pada luhur yang tinggi. Pada guru kadang digunakan sebagai pilihan netral yang tidak memiliki konotasi sosial, sementara pada pancak digunakan untuk mengakhiri surat. Namun perlu diperhatikan bahwa bentuk dan fungsi ini merupakan kaidah yang digeneralisasi. Sebagaimana rerenggan, tanda baca pemulai dan pengakhir surat dalam prakteknya bersifat dekoratif dan opsional, dengan beragam susunan bentuk yang bervariasi antara daerah dan juru tulis.[50]
Ketika terjadi kesalahan dalam penulisan naskah, beberapa juru tulis keraton menggunakan tanda koreksi khusus alih-alih mencoret bagian yang salah: tirta tumétès yang ditemukan di naskah-naskah Yogyakarta, dan isèn-isèn yang ditemukan di naskah Surakarta. Tanda koreksi ini langsung dibubuhkan mengikuti bagian yang salah sebelum penulis melanjutkan dengan penulisan yang benar. Semisal seorang juru tulis ingin menulis pada luhur ꦥꦢꦭꦸꦲꦸꦂ namun terlanjur menulis pada hu ꦥꦢꦲꦸ sebelum ia sadar kesalahannya, maka kata ini dapat dikoreksi menjadi pada hu···luhur ꦥꦢꦲꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ atau ꦥꦢꦲꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ.[51]
Pepadan
Selain tanda baca biasa, salah satu ciri khas penulis aksara Jawa adalah pepadan (ꦥꦼꦥꦢꦤ꧀), yakni seperangkat tanda baca penanda sajak yang bentuk dan pengerjaannya sering kali memiliki nilai artisik tinggi. Beberapa bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:
Pepadan
pada kecil
pada besar
꧅
꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅
Perangkat tanda baca pepadan dapat dikenal dengan berbagai nama dalam teks-teks tradisional. Behrend (1996) membagi pepadan ke dalam dua kelompok umum: pada kecil yang merupakan tanda baca tunggal, serta pada besar yang sering kali disusun berderet dari beberapa tanda baca. Pada kecil digunakan untuk menandakan pergantian bait yang biasanya muncul setiap 32 hingga 48 suku kata tergantung metrum yang digunakan. Pada besar digunakan untuk menandakan pergantian tembang (diikuti pula oleh metrum, irama, dan citra pelantunan) yang biasanya muncul tiap 5 hingga 10 halaman, meski hal ini sangat tergantung dari susunan naskah yang bersangkutan.[52] Pedoman penulisan aksara Jawa sering kali membagi pada besar menjadi tiga jenis pada, purwa pada ꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅ yang digunakan di awal tembang pertama, madya pada ꧅ ꦟ꧀ꦢꦿ ꧅ yang digunakan di pergantian tembang, dan wasana pada ꧅ ꦆ ꧅ yang digunakan di penutup tembang terakhir.[50] Namun karena bentuknya yang sangat bervariasi antarnaskah, tiga tanda baca ini sering kali melebur dan dianggap satu dalam praktek penulisan sebagian besar naskah Jawa.[53]
Pepadan adalah elemen aksara yang paling menonjol dalam naskah Jawa dan hampir selalu ditulis dengan kemampuan artisik tinggi yang meliputi kaligrafi, pewarnaan, hingga penyepuhan dengan kertas emas.[54] Dalam sejumlah naskah mewah, bentuk pepadan bahkan bisa menjadi petunjuk untuk tembang yang digunakan; pepadan dengan elemen sayap atau figur burung yang menyerupai gagak (dhandhang dalam bahasa Jawa) merujuk pada tembang dhandhanggula, sementara pepadan dengan elemen ikan mas merujuk pada tembang maskumambang (secara harfiah berarti "emas mengambang di air"). Salah satu pusat penulisan naskah dengan gubahan pepadan yang paling indah adalah skriptoriumKadipaten Pakualaman di Yogyakarta.[53][55]
Pengurutan
Aksara Jawa modern umum diurutkan menggunakan deret Hanacaraka yang dinamakan berdasarkan lima aksara pertama dalam deret tersebut.[f] Dalam urutan tersebut, ke-20 aksara dasar yang digunakan dalam bahasa Jawa modern membentuk sebuah pangram yang sering kali dikaitkan dengan legenda Aji Saka.[56][57] Asal-usul deret ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi deret Hanacaraka diperkirakan telah digunakan oleh masyarakat Jawa setidaknya sejak abad ke-15 ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.[58][59] Terdapat berbagai macam tafsiran mengenai makna filosofis dan esoteris yang konon terkandung dalam urutan hanacaraka.[60][61]
Deret Hanacaraka
ꦲꦤꦕꦫꦏ
ꦢꦠꦱꦮꦭ
ꦥꦝꦗꦪꦚ
ꦩꦒꦧꦛꦔ
(h)ana caraka ada dua utusan
data sawala yang berselisih pendapat
padha jayanya sama kuatnya
maga bathanga inilah mayat mereka
Deret hanacaraka bukanlah satu-satunya cara untuk mengurutkan aksara Jawa. Untuk penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi yang memerlukan 33 aksara dasar, aksara Jawa dapat diurutkan berdasarkan tempat pelafalannya (warga) menurut prinsip fonologi Sanskerta yang pertama kali dijabarkan oleh Pāṇini.[32][58] Deret ini, yang kadang disebut deret Kaganga berdasarkan tiga aksara pertamanya, merupakan deret standar dalam aksara-aksara turunan Brahmi yang masih bisa digunakan untuk menulis bahasa Sanskerta, seperti aksara Dewanagari, Tamil, dan Khmer.
Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, lambung kiwa tèmbong putih, leksanira prayoga, aran wulan krahinan, tinekanan sasedyanira ipun, yèn bundhel langkung utama
Kucing yang berwarna hitam semua tetapi perut sebelah kirinya terdapat tèmbong (bercak) putih disebut wulan krahinan. Kucing ini membawa kebaikan berupa tercapainya semua keinginan. Lebih baik jika ekornya buṇḍel (membulat).
Aja sira ngingu kucing, lurik ireng buntut panjang, punika awon lamaté, sekelan sring tukaran, aran dhadhang sungkawa, pan adoh rijeki nipun, yèn bundhel nora ngapa
Kucing dengan bulu lurik hitam berekor panjang jangan dipelihara. Kucing itu disebut dhadhang sungkawa. Kehidupanmu akan sering bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila ekornya buṇḍel, maka tidak masalah.
Berikut adalah cuplikan dari Kakawin Rāmāyaṇa yang dicetak pada tahun 1900 dengan bahasa dan ejaan Kawi.[63][64]
Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwekang sari kadi jalada.
Air jernih telaga bagaikan langit, seekor kura-kura mengambang di dalamnya bagai bulan, bintangnya adalah bunga-bunga yang bertebaran, menyebarkan sarinya bagaikan awan.
Perbandingan dengan aksara Bali
Kerabat paling dekat dari aksara Jawa adalah aksara Bali. Sebagai keturunan langsung aksara Kawi, aksara Jawa dan Bali masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur dasar masing-masing huruf. Salah satu perbedaan mencolok antara aksara Jawa dan Bali adalah sistem tata tulis; Tata tulis Bali cenderung bersifat konservatif dan mempertahankan banyak aspek dari ejaan Kawi yang tidak lagi digunakan dalam aksara Jawa. Sebagai contoh, kata desa dalam aksara Jawa kini ditulis ꦢꦺꦱ. Dalam tata tulis Bali kontemporer, ejaan ini dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena desa adalah kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan Sanskerta aslinya: deśa ꦢꦺꦯ, menggunakan aksara sa murda alih-alih aksara sa nglegena. Seperti bahasa Jawa, bahasa Bali juga tidak lagi membedakan pelafalan seluruh aksara dalam deret Sanskerta-Kawi, termasuk antara sa nglegena dan sa murda, tetapi ejaan asli selalu dipertahankan kapan pun memungkinkan. Salah satu alasannya agar sejumlah kata serapan dari bahasa Sanskerta-Kawi yang bunyinya sama dalam bahasa Bali dapat tetap dibedakan dalam tulisan, misal antara kata pada (ꦥꦢ, tanah/bumi), pāda (ꦥꦴꦢ, kaki), dan padha (ꦥꦣ, sama), serta antara kata asta (ꦲꦱ꧀ꦠ, adalah), astha (ꦲꦱ꧀ꦡ, tulang), dan aṣṭa (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan).[65][66][67]
Perbandingan bentuk kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:
Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwékang sari kadi jalada. (Kakawin Rāmāyaṇa XVI.31)
Penggunaan dalam bahasa Madura
Aksara Jawa di dalam bahasa Madura disebut Carakan Madhurâ atau Carakan Jhâbân (aksara yang berasal dari Jawa). Apabila dalam penggunaan bahasa Jawa tiap aksara dapat merepresentasikan suara /a/ atau /ɔ/, maka dalam bahasa Madura mewakili suara /a/ atau /ɤ/. Bentuk carakan Madhurâ sendiri terdiri dari aksara ghâjâng (aksara nglegena), aksara rajâ atau murdâ (aksara murda), aksara sowara atau swara (aksara swara), dan aksara rèka'an (aksara rékan). Terdapat pula pangangghuy (sandhangan) yang terdiri dari pangangguy aksara (sandhangan swara), pangangghuy panyèghek (sandhangan panyigeging wanda), dan pangangghuy panambâ (sandhangan wyanjana).[68][69][70][71][72]
Perbandingan
Secara garis besar, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan bahasa Jawa. Meski demikian, dalam bahasa Madura tidak terdapat perbedaan penggunaan konsonan aspirat dan tanaspirat.[73]
Aksara Ghâjâng (Aksara Nglegena)
ha
na
ca
ra
ka
da
dha
ta
sa
wa
la
pa
ḍa
ḍha
ja
jha
ya
nya
ma
ga
gha
ba
bha
tha
nga
Jawa
ꦲ
ꦤ
ꦕ
ꦫ
ꦏ
ꦢ
ꦣ
ꦠ
ꦱ
ꦮ
ꦭ
ꦥ
ꦝ
ꦞ
ꦗ
ꦙ
ꦪ
ꦚ
ꦩ
ꦒ
ꦓ
ꦧ
ꦨ
ꦛ
ꦔ
ha
na
ca
ra
ka
da/dha
ta
sa
wa
la
pa
ḍa/ḍha
ja/jha
ya
nya
ma
ga/gha
ba/bha
tha
nga
Madura
ꦲ
ꦤ
ꦕ
ꦫ
ꦏ
ꦢ
ꦠ
ꦱ
ꦮ
ꦛ
ꦥ
ꦝ
ꦗ
ꦪ
ꦚ
ꦩ
ꦒ
ꦧ
ꦛ
ꦔ
Aksara rèka'an dalam bahasa Madura yang diajarkan di sekolah-sekolah hanya ada lima buah, sedangkan dalam Madoereesche Spraakkunst dan Sorat tjarakan Madurah berturut-turut terdapat tujuh dan sembilan buah:[74][75]
Aksara Rèka'an (Aksara Rékan)
ha
kha
dza
fa/va
za
gha
'a
ta
sya
la
Aksara Jawa
ꦲ꦳
ꦏ꦳
ꦢ꦳
ꦥ꦳
ꦗ꦳
ꦒ꦳
ꦔ꦳
ꦠ꦳
ꦯ꦳
ꦭ꦳
Abjad Arab
ح
خ
ذ
ف
ز
غ
ع
ط
ش
ل
Bahasa Belanda
h
ch
f/v
g
Contoh
ꦲ꦳ꦺꦴꦏꦺꦴꦩ꧀
ꦲꦏ꦳ꦺꦫꦠ꧀
ꦢ꦳ꦶꦏ꧀ꦏꦺꦂ
ꦭꦥ꦳ꦭ꧀
ꦗ꦳ꦏꦠ꧀
ꦒ꦳ꦲꦶꦧ꧀
ꦔ꦳ꦏꦺꦫꦠ꧀
ꦠ꦳ꦫꦺꦏ꧀
ꦯ꦳ꦫꦠ꧀
ꦭ꦳ꦲꦶꦧ꧀
Transliterasi
hokom
akhèrat
dzikkèr
lafal
zâkat
ghaib
'akèrat
tarèk
syarat
laib
Perbedaan lainnya yaitu penggunaan wignyan yang dalam bahasa Jawa berfungsi sebagai akhiran -h, sedangkan dalam bahasa Madura menjadi akhiran -' seperti pada tabel berikut:[68][76]
Pangangghuy (Sandhangan)
Pangangghuy aksara
Pangangghuy panyèghek
Pangangghuy panambâ
i
è
o
u
e
-ng
-r
-'
pemati
-r-
-re
-y-
-l-
-w-
ꦶ
ꦺ
ꦺꦴ
ꦸ
ꦼ
ꦁ
ꦂ
ꦃ
꧀
ꦿ
ꦽ
ꦾ
꧀ꦭ
꧀ꦮ
cèthak
lèngè
lèngè-longo
soko
petpet
cekcek
lajâr
bisat
papatèn
pèḍer
perper
sokomaljâ
la rangkep
wa rangkep
pi
pè
po
pu
pe
pang
par
pa'
p
pra
pre
pya
pla
pwa
ꦥꦶ
ꦥꦺ
ꦥꦺꦴ
ꦥꦸ
ꦥꦼ
ꦥꦁ
ꦥꦂ
ꦥꦃ
ꦥ꧀
ꦥꦿ
ꦥꦿ
ꦥꦾ
ꦥ꧀ꦭ
ꦥ꧀ꦮ
Contoh penggunaan
Berikut penggunaan carakan dalam Bab oreng megha djhoeko e'tana Djhaba sareng Madhoera (Bab orang menangkap ikan di Tanah Jawa dan Madura) disertai dengan ejaan bahasa Madura modern.[77]
1. Perahu, yang dibuat dari kayu bulat yang dilubangi. Ada yang ditambah kayu lagi di pinggir, ada yang tidak
꧒꧇ ꦥꦫꦲꦺꦴꦱꦺꦲꦺꦧꦝꦶꦝꦫꦶꦥꦥꦤ꧀ꦫꦧ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦧꦤ꧀ꦱꦢꦗ꧉
2. Parao sè èbhâḍhi papan rabten bân sadhâjâ.
2. Perahu yang dibuat dari papan dan seluruhnya.
Penggunaan dalam bahasa Sunda
Aksara Jawa di dalam bahasa Sunda disebut Aksara Sunda Cacarakan,[78]Aksara Sunda Basisir Kalér,[79]Aksara Sunda Jawa,[80] atau Cacarakan (aksara yang berasal dari Jawa) saja.[81] Dari sudut pandang tata bahasa Sunda, istilah "cacarakan" tebentuk dari kata dasar "caraka" yang mengalami proses reduplikasi dengan dwipurwa yang ditambah akhiran-an.[82] Bentuk cacarakan sendiri terdiri dari aksara ngalagena (aksara nglegena), aksara gedé (aksara murda), dan aksara panambah (aksara swara). Terdapat pula sandangan (sandhangan) dan pada (pada).[83] Penggunaan Cacarakan di masa kini telah digantikan oleh Aksara Sunda Baku yang merupakan hasil penyempurnaan dari Aksara Sunda Kuno.
Perbandingan
Secara garis besar, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan bahasa Jawa. Penggunaan aksara murda dan aksara gedé juga relatif sama. Meski demikian, dalam bahasa Sunda tidak terdapat da dental dan ta retrofleks. Bentuk huruf nya juga berbeda (perhatikan tabel berwarna kuning).[83]
Aksara Ngalagena (Aksara Nglegena)
ha
na
ca
ra
ka
da
ta
sa
wa
la
pa
dha
ja
ya
nya
ma
ga
ba
tha
nga
Jawa
Nglegena
ꦲ
ꦤ
ꦕ
ꦫ
ꦏ
ꦢ
ꦠ
ꦱ
ꦮ
ꦭ
ꦥ
ꦝ
ꦗ
ꦪ
ꦚ
ꦩ
ꦒ
ꦧ
ꦛ
ꦔ
Pasangan
꧀ꦲ
꧀ꦤ
꧀ꦕ
꧀ꦫ
꧀ꦏ
꧀ꦢ
꧀ꦠ
꧀ꦱ
꧀ꦮ
꧀ꦭ
꧀ꦥ
꧀ꦝ
꧀ꦗ
꧀ꦪ
꧀ꦚ
꧀ꦩ
꧀ꦒ
꧀ꦧ
꧀ꦛ
꧀ꦔ
Sunda
Ngalagena
ꦲ
ꦤ
ꦕ
ꦫ
ꦏ
ꦣ
ꦠ
ꦱ
ꦮ
ꦭ
ꦥ
ꦗ
ꦪ
ꦤ꧀ꦚ
ꦩ
ꦒ
ꦧ
ꦔ
Pasangan
꧀ꦲ
꧀ꦤ
꧀ꦕ
꧀ꦫ
꧀ꦏ
꧀ꦝ
꧀ꦠ
꧀ꦱ
꧀ꦮ
꧀ꦭ
꧀ꦥ
꧀ꦗ
꧀ꦪ
꧀ꦚ
꧀ꦩ
꧀ꦒ
꧀ꦧ
꧀ꦔ
Gedé
ꦟ
ꦖ
ꦑ
ꦡ
ꦯ
ꦦ
ꦘ
ꦓ
ꦨ
Pasangan
꧀ꦟ
꧀ꦖ
꧀ꦑ
꧀ꦡ
꧀ꦯ
꧀ꦦ
꧀ꦘ
꧀ꦓ
꧀ꦨ
Aksara panambah (ꦔ꦳ꦏ꧀ꦱꦫꦥꦤꦩ꧀ꦧꦃ) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Walau mirip dengan aksara swara, cacarakan hanya mengambil bentuk aksara swara i (ꦆ) dari aksara Jawa, sisanya diganti dengan nga cecek tilu (ꦔ꦳) + sandangan. Selengkapnya dapat dilihat sebagaimana berikut:[83]
Bahasa Sunda mengenal tujuh fonem vokal.[84] Walau begitu, cacarakan tidak membedakan vokal eu [ɨ] dan e [ə].[g] Sandangan dapat dilihat dalam tabel berikut:[85][80][83]
Sandangan
-a
-i
-u
-é
-o
-e/-eu
-ng
-r
-h
-r-
-y-
pemati
-
ꦶ
ꦸ
ꦺ
ꦴ
ꦼ
ꦁ
ꦂ
ꦃ
ꦿ
ꦾ
꧀
-
panghulu
panyuku
panéléng
panolong
pamepet
panyecek
panglayar
pangwisad
panyakra
pamingkal
pamaéh
ka
ki
ku
ké
ko
ke/keu
kang
kar
kah
kra
kya
k
ꦏ
ꦏꦶ
ꦏꦸ
ꦏꦺ
ꦏꦴ
ꦏꦼ
ꦏꦁ
ꦏꦂ
ꦏꦃ
ꦏꦿ
ꦏꦾ
ꦏ꧀
Contoh penggunaan
Berikut penggunaan cacarakan dalam Dongéng-dongéng Pieunteungeun (Dongeng-dongeng Sebagai Cerminan) disertai dengan ejaan bahasa Sunda modern.[86]
Aksara Jawa resmi dimasukkan ke dalam Unicode sejak Oktober 2009 dengan dirilisnya Unicode versi 5.2. Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF. Terdapat 91 kode yang mencakup 53 huruf, 19 tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.
Faksimil peta Kerajaan Timbanganten dari Desa Ciéla, Garut, mungkin dari 1500an ke atas.
Salah satu halaman Serat Damar Wulan yang disalin pada tahun 1804, koleksi British Library
Lembar obligasi pemerintahan Hindia Belanda seharga 5 Gulden/Rupiah tahun 1846, dengan nominal yang dieja dengan huruf Latin, abjad Pégon, dan aksara Jawa
Koran Bromartani, koran pertama berbahasa dan beraksara Jawa yang pertama terbit pada tahun 1855.
Detail tombol-tombol mesin tik aksara Jawa bermerek Royal Bar-Lock yang pernah dipakai oleh Keraton Surakarta dari tahun 1917 hingga 1960, koleksi Museum Penerangan
Mobil yang digunakan Dinas Kesehatan Rakyat (Dienst der Volks Gezondheid) sekitar tahun 1925
Prasasti Pakubuwana X yang memperingati pembangunan sejumlah gapura di Surakarta pada tahun 1938
Penggunaan aksara Jawa pada papan nama jalan di Surakarta. Terdapat kesalahan penulisan pada kata brigjen yang seharusnya ditulis dengan diaktrik taling agar dibaca brigjèn. Papan nama di jalan yang sama namun ruas yang berbeda juga menunjukkan ketidakseragaman ejaan.
Dekorasi kontemporer dengan elemen desain aksara Jawa
^VOC berupaya untuk mendirikan pabrik kertasnya sendiri di Jawa yang beroperasi antara tahun 1665–1681. Namun pabrik tersebut tidak mampu memenuhi semua permintaan kertas di Jawa, sehingga suplai kertas terus mengandalkan pengiriman dari Eropa.[9]
^Bagi kalangan Eropa abad ke-19, tulisan tangan Surakarta disetujui sebagai langgam aksara Jawa yang paling indah sehingga tokoh seperti J.F.C. Gericke menyarankan agar langgam Surakarta dijadikan panutan untuk membuat rancangan aksara Jawa yang layak.[16]
^Sebagaimana dituturkan oleh direktur Balai Poestaka D.A. Rinkes pada tahun 1920 dalam kata sambutan katalog buku-buku Jawa koleksi Bataviaasch Genootschap:
Bovendien is voor den druk het Latijnsche lettertype gekozen, hetgeen de zaak voor Europeesche gebruikers aanzienlijk vergemakkelijkt, voor Inlandsche belangstellended geenszins een bezwaar oplevert, aangezien de Javaansche taal, evenals bereids voor het Maleisch en het Soendaneesch gebleken is, zeker niet minder duidelijk in Latijnsch type dan in het Javaansche schrift is weer te geven. Daarbij zijn de kosten daarmede ongeveer ⅓ van druk in Javaansch karakter, aangezien drukwerk in dat type, dat bovendien niet ruim voorhanden is, 1½ à 2 x kostbaarder (en tijdroovender) uitkomt dan in Latijnsch type, mede doordat het niet op de zetmachine kan worden gezet, en een pagina Javaansch type sleechts ongeveer de helft aan woorden bevat van een pagina van denzelfden tekst in Latijnsch karakter.[20]
Selain itu, huruf Latin dipilih untuk pencetakan [buku berbahasa Jawa], hal ini tidak hanya memudahkan bagi pembaca Eropa, tetapi juga tidak dikeluhkan oleh pembaca Pribumi, karena bahasa Jawa, sebagaimana bahasa Melayu dan bahasa Sunda, terbukti tetap dapat dipahami dengan baik ketika ditulis menggunakan huruf Latin dan tidak kalah jelas dibanding penulisan yang menggunakan aksara Jawa. Dengan begitu, biaya dapat ditekan hingga ⅓ dari biaya cetak aksara Jawa, mengingat bahwa mencetak dengan aksara Jawa, yang peralatannya tidak selalu tersedia, bisa jadi 1½ hingga 2 kali lipat memakan lebih banyak biaya (dan waktu) dibanding mencetak dengan huruf Latin, dan mengingat pula aksara Jawa tidak dapat dicetak menggunakan mesin setting, dan selembar teks beraksara Jawa hanya dapat memuat sekitar setengah jumlah kata dibanding lembar teks sama yang telah dialihaksarakan menjadi huruf Latin.
—Poerwa Soewignja dan Wirawangsa (1920:4), disadur oleh Molen (1993:83)
^Meski dokumentasi atau catatan perintah resmi dari larangan tersebut tidak diketahui. Sebagai perbandingan, pemerintahan Jepang yang menduduki Kamboja pada periode waktu yang sama justru menghapus upaya penggunaan huruf Latin yang dimulai pemerintahan kolonial Kamboja Prancis dan mengembalikan penggunaan aksara Khmer sebagai aksara resmi Kamboja.[23]
^Contoh kata dengan aksara mahaprana yang digunakan dalam penulisan Kawi misal aṣṭa (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan)[34] dan nirjhara (ꦤꦶꦂꦙꦫ, air terjun).[35]
^Setara dengan kata "alfabet" yang berasal dari nama dua huruf pertama dalam alfabet Yunani (A-B, alfa-beta) serta kata "abjad" yang berasal dari empat huruf pertama dalam abjad Arab (ا-ب-ج-د, alif-ba-jim-dal).
^Salah satu contohnya dapat dilihat dalam buku Dongéng-dongéng Pieunteungeun di mana kata deui ditulis sebagai ꦝꦼꦆ de-i.
^ abcTeygeler, R (2002). "The Myth of Javanese Paper". Dalam R Seitzinger. Timeless Paper (dalam bahasa Inggris). Rijswijk: Gentenaar & Torley Publishers. ISBN9073803039. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-14. Diakses tanggal 2020-05-08.
^Lowenberg, Peter (2000). "Writing and Literacy in Indonesia". Studies in the Linguistic Sciences. 30 (1): 135–148. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-10-05. Diakses tanggal 2021-11-09.
^ abWahab, Abdul (Oktober 2003). Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah(PDF). Kongres Bahasa Indonesia VIII. Kelompok B, Ruang Rote. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. hlm. 8-9. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2023-04-17. Diakses tanggal 2020-05-07.
^ abcdPoerwadarminta, W J S (1930). Serat Mardi Kawi(PDF). 1. Solo: De Bliksem. hlm. 9-12. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2023-04-16. Diakses tanggal 2020-05-05.
^Kern, Hendrik (1900). Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht. ’s Gravenhage: Martinus Nijhoff.
^Santoso, Soewito (1980). Rāmāyaṇa Kakawin. II. New Delhi: International Academy of Indian Culture. hlm. 398.
^Tinggen, I Nengah (1993). Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha. hlm. 7.
^Medra, I Nengah (1998). Pedoman Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. hlm. 44. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-09-28. Diakses tanggal 2020-05-21.
^ abHamzah, Bambang Hartono; Sayunani, Isya; Gani, Abdul; Dradjid, H.M. (2014). Ghazali, A. Syukur; Poerno, Heru Asri, ed. Sekkar Anom I (dalam bahasa Madura). Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. hlm. 148.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |first4= tanpa |last4= di Authors list (bantuan); Parameter |first6= tanpa |last6= di Authors list (bantuan)
^Sukardi, A. (2005). Kasustraan Madura Kembang Sataman (dalam bahasa Madura) (edisi ke-2). Jember: Dinas Pendidikan Kabupaten Jember.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Hamzah, Bambang Hartono; Sayunani, Isya; Gani, Abdul; Dradjid, H.M. (2015). Sekkar Anom 2 (dalam bahasa Madura). Surabaya: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. hlm. 155.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |first4= tanpa |last4= di Authors list (bantuan); Parameter |first5= tanpa |last5= di Authors list (bantuan)
^Ashadi, Moh. Makhfud; al Farouk, Ghazi (1992). Kosa Kata Basa Madura (dalam bahasa Madura). Surabaya: Sarana Ilmu.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Koesoemo, R. Sosro Danoe; M. Partosoegondo (1922). Bab oreng megha djhoeko e'tana Djhaba sareng Madhoera (dalam bahasa Madura). Balai Poestaka.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Moesa (.R.Hadji.), Moehamad (1867). Dongeng-dongeng pingĕntĕngĕn (dalam bahasa Sunda). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-17. Diakses tanggal 2020-05-08.
Coolsma, Sierk (1985) [1904]. Tata Bahasa Sunda. Diterjemahkan oleh Widjajakusumah, Rusyana, Husein, Yus. Jakarta: (Penerbit Asli) Fa. A.W. Sijthoff. OCLC13986971.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Ekadjati, Edi S. (1999). Direktori Edisi Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara. ISBN9794613347.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Molen, Willem van der (1993). Javaans Schrift. Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden (dalam bahasa Belanda). Semaian 8. Leiden: Rijksuniversiteit te Leiden. ISBN90 73084 09 1.
Rosyadi (1997). Pelestarian Dan Usaha Pengembangan Aksara Daerah Sunda(PDF). Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Darusuprapta (2002). Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara bekerja sama dengan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Tingkat I Jawa Tengah, dan Daerah Tingkat I Jawa Timur. ISBN979-8628-00-4.
Bahasa Sanskerta dan Kawi
Poerwadarminta, W J S (1930). Serat Mardi Kawi. 1. Solo: De Bliksem.
Poerwadarminta, W J S (1931). Serat Mardi Kawi. 2. Solo: De Bliksem.
Poerwadarminta, W J S (1931). Serat Mardi Kawi. 3. Solo: De Bliksem.
Serat Selarasa (1804) koleksi British Library no. MSS Jav 28
Usana BaliDiarsipkan 2020-06-19 di Wayback Machine. (1870) salinan Jawa dari sebuah lontar Bali berjudul sama, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia no. CS 152
Part of a series on theCulture of Kenya History Pleistocene Neolithic African iron age Swahili city states Portuguese and Omani period British Colonial Period Early post Independence Moi Era Recent history PeopleHistoric peoples Koobi Fora Hominins Olorgesailie Aechulean hand axe culture Savanna Pastoral Neolithic Culture Eburran industry Elmenteitan culture Sirikwa culture Urewe culture Shungwaya Modern ethnicities Kikuyu Luhya Banyala Bukusu Gisu Idakho Isukha Khayo Kisa Marachi Maragoli Ma...
Malá Studená dolina Das Tal Malá Studená dolina Das Tal Malá Studená dolina Lage Prešovský kraj, Slowakei Gewässer Malý Studený potok Gebirge Hohe Tatra, Tatra, Karpaten Geographische Lage 49° 10′ 46″ N, 20° 12′ 48″ O49.17944444444420.213333333333Koordinaten: 49° 10′ 46″ N, 20° 12′ 48″ O Malá Studená dolina (Slowakei) Länge 4,5 km Klima Hochgebirgsklima Vorlage:Infobox Gletscher/Wartung/Bil...
SenegalJulukanLes Lions de la Teranga(Lions of Teranga)AsosiasiFederasi Sepak Bola SenegalKonfederasiCAF (Afrika)Pelatih Aliou CissèKaptenKalidou KoulibalyPenampilan terbanyakIdrissa Gueye (102)Pencetak gol terbanyakSadio Mané (37)Stadion kandangStade Leopold SenghorKode FIFASENPeringkat FIFATerkini 20 (26 Oktober 2023)[1]Tertinggi18 (Oktober 2022, Juni 2023)Terendah99 (Juni 2013)Peringkat EloTerkini 35 8 (18 Oktober 2023)[2] Warna pertama Warna kedua Pertandingan internasio...
Estonian military unit Combat Service Support BattalionInsignia of the CSS BattalionActive1 August 2014 – presentCountry EstoniaBranch Estonian Land ForcesTypeCombat service supportRoleSupporting units of 2nd Infantry brigadeSizeBattalionPart of 2nd Infantry BrigadeGarrison/HQTaara Army BaseCommandersCurrentcommanderLieutenant colonel Kalmer KruusMilitary unit The Combat Service Support Battalion (Estonian: Lahinguteeninduspataljon) of the 2nd Infantry Brigade is a battalion size ...
1985 State of Origin seriesWon by New South Wales (1st title)Series margin2-1Points scored81Attendance90,937 (ave. 30,312 per match)Top points scorer(s) Michael O'Connor (29)Top try scorer(s) Michael O'Connor (2) Dale Shearer (2) ← 1984 State of Origin series 1986 → The 1985 State of Origin series was the fourth time the annual three-match series between New South Wales and Queensland was contested entirely under 'state of origin' selection rules. It was the year that New South Wales...
Обґрунтування добропорядного використання для статті «Небо кличе» [?] Опис Постер до фільму «Небо кличе» Джерело http://www.kinopoisk.ru/picture/743813/ Автор www.kinopoisk.ru Час створення н. Мета використання Ілюстрація предмету статті Замінність немає Обсяг використаного матеріалу Н...
هذه المقالة يتيمة إذ تصل إليها مقالات أخرى قليلة جدًا. فضلًا، ساعد بإضافة وصلة إليها في مقالات متعلقة بها. (أبريل 2019) موريس ر. شتاين معلومات شخصية الميلاد سنة 1926 (العمر 96–97 سنة) مواطنة الولايات المتحدة الحياة العملية المدرسة الأم جامعة بافالوجامعة كولومبيا ال
American campaign medal AwardAsiatic-Pacific Campaign MedalObverseTypeService medalPresented byDepartment of War and Department of the NavyEligibilityServed in the U.S. armed forces for at least 30 days in the Asiatic-Pacific Theater between December 7, 1941, and March 2, 1946.StatusInactiveFirst awardedDecember 7, 1941Last awardedMarch 2, 1946Service ribbon and campaign streamer. PrecedenceEquivalentAmerican Campaign MedalEuropean-African-Middle Eastern Campaign Medal Photograph of an Asiati...
ASKfmJenis usahaJejaring SosialJenis situsSocial Q&A websiteBahasa50 bahasa[1]Didirikan16 Juni 2010; 13 tahun lalu (2010-06-16)MarkasDublin, IrlandiaWilayah operasiSeluruh DuniaPemilikNoosphere Ventures[2]PendiriMark TerebinSektorInternetSloganWhere the world wants to know about you[3]Situs webwww.ask.fmPeringkat Alexa▲ 283 (Juni 2015[update])[4]IklanYesPengguna150 juta (9 Februari 2015)[5]Diluncurkan16 Juni 2010; 13 tahun lalu (...
مخطوطة عن تشريح العين لحنين بن إسحق من كتابه المسائل في العين، محفوظة في المكتبة الوطنية في القاهرة، ومؤرخة منذ عام 1200م تقريبا. في تاريخ الطب، يشار بمصطلح الطب الإسلامي أو الطب العربي أو طب العرب إلى الطب الذي تطور في العصر الذهبي للإسلام، وكتب بلغة عربية، والتي كانت لغة ال...
Ocean liner known for rescuing survivors of RMS Titanic The RMS Carpathia under way History United Kingdom NameRMS Carpathia NamesakeCarpathian Mountain Range OwnerCunard Line Port of registryLiverpool Route Transatlantic: Liverpool–Queenstown–Boston Transferred to Liverpool–Queenstown–New York summers Trieste–Fiume–New York winters BuilderC.S. Swan & Hunter, Wallsend, England [1] Yard number274 Laid down10 September 1901 Launched6 August 1902 CompletedFebruary 1903 Ma...
artikel ini tidak memiliki pranala ke artikel lain. Tidak ada alasan yang diberikan. Bantu kami untuk mengembangkannya dengan memberikan pranala ke artikel lain secukupnya. (Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini) Halaman artikel ini diterjemahkan, sebagian atau seluruhnya, dari halaman di en.wikipedia yang berjudul « Henry Stanley, 3rd Baron Stanley of Alderley ». Lihat pula sejarah suntingan halaman aslinya untuk melihat daftar penulisnya. Henry Edward...
Ini adalah nama Batak Toba, marganya adalah Panjaitan. Dr.Hinca I. P. Panjaitan XIIIS.H., M.H., ACCS.Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik IndonesiaPetahanaMulai menjabat 14 Februari 2018PendahuluRudi Hartono BangunDaerah pemilihanSumatera Utara IIISekretaris Jenderal Partai DemokratMasa jabatan30 Mei 2015 – 15 April 2020Ketua UmumSusilo Bambang YudhoyonoAgus Harimurti YudhoyonoPendahuluEdhie Baskoro YudhoyonoPenggantiTeuku Riefky HarsyaKetua Umum PSSI Pelaksana tugasMas...
In Greek mythology, Argeus (Ancient Greek: Ἀργεύς means the hunter) or Argius (Ἀργεῖος Argeius or Argeios) or may refer to the following personages: Argeius or Argus, a king of Argos around 1600 BCE, and successor to Apis, king of Argos, according to Tatian. Argius, an Egyptian prince as one of the sons of King Aegyptus.[1] His mother was a Phoenician woman and thus full brother of Agaptolemus, Cercetes, Aegius, Aegius, Archelaus and Menemachus. In some accounts, he co...
This article has multiple issues. Please help improve it or discuss these issues on the talk page. (Learn how and when to remove these template messages) This article relies largely or entirely on a single source. Relevant discussion may be found on the talk page. Please help improve this article by introducing citations to additional sources.Find sources: Amiga Force – news · newspapers · books · scholar · JSTOR (September 2023) This article needs add...
Local chief executive Governor of MasbateIncumbentAntonio Khosince June 30, 2016AppointerElected via popular voteTerm length3 yearsInaugural holderVicente TriviñoFormation1898 The governor of Masbate (Filipino: Punong Panlalawigan ng Masbate), is the chief executive of the provincial government of Masbate. List of governors of Masbate (1898-present) Governor[1] Term 1 Vicente Triviño 1898-1900 2 Bonifacio Serrano 1900-1905 3 Isabelo Burdeos 1905-1908 4 Enrique Legaspi 1916-1919...
Legendary 14th century Habsburg bailiff Artistic depiction of Gessler's assassination by Swiss folk hero William Tell. Albrecht Gessler, also known as Hermann,[1] was a legendary 14th-century Habsburg bailiff (German: Landvogt) at Altdorf,[2] whose brutal rule led to the William Tell rebellion and the eventual independence of the Old Swiss Confederacy.[3][4] Legend According to the Chronicon Helveticum by Aegidius Tschudi (1505–1572), in 1307 Gessler raised a...
Puerto Rican writer (born 1970) In this Spanish name, the first or paternal surname is Arroyo and the second or maternal family name is Pizarro. Yolanda Arroyo PizarroYolanda Arroyo Pizarro in 2019BornYolanda Arroyo Pizarro (1970-10-29) October 29, 1970 (age 53)Guaynabo, Puerto RicoNationalityPuerto RicanOccupation(s)Novelist, short story writer and essayist Yolanda Arroyo Pizarro (born October 29, 1970) is a Puerto Rican novelist, short story writer and essayist. Biography Yolan...
French actor This biography of a living person needs additional citations for verification. Please help by adding reliable sources. Contentious material about living persons that is unsourced or poorly sourced must be removed immediately from the article and its talk page, especially if potentially libelous.Find sources: Samir Boitard – news · newspapers · books · scholar · JSTOR (November 2013) (Learn how and when to remove this template message) You ...
Dance school in Beijing, China This article does not cite any sources. Please help improve this article by adding citations to reliable sources. Unsourced material may be challenged and removed.Find sources: Beijing Dance Academy – news · newspapers · books · scholar · JSTOR (May 2020) (Learn how and when to remove this template message) Beijing Dance Academy北京舞蹈学院TypePublicEstablished1954; 69 years ago (1954)PresidentGuo ...