Tjerita Sie Po Giok, atawa Peroentoengannja Satoe Anak Piatoe[a] (lebih dikenal dengan judul pendek Sie Po Giok) adalah novel anakHindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1911 yang ditulis oleh Tio Ie Soei dalam bahasa Melayu Pasar. Novel ini mengisahkan Sie Po Giok, seorang yatim cilik yang menghadapi serangkaian tantangan ketika tinggal bersama pamannya di Batavia (sekarang Jakarta). Cerita yang disebut-sebut sebagai satu-satunya sastra anak buatan penulis Tionghoa Melayu ini dianggap luas mempromosikan peran gender tradisional dan mempertanyakan identitas Tionghoa Indonesia.
Alur
Sie Po Giok yang berusia 11 tahun menjadi yatim piatu selama beberapa bulan dan saat ini tinggal bersama pamannya, Sie Thian Bie, istri pamannya, dan tujuh anaknya di rumah mereka di Batavia (sekarang Jakarta). Ia sensitif, berkelakuan baik, dan sopan, tetapi merasa tidak nyaman karena merasa membebani keluarga kelas menengah tersebut. Selain itu, dua putra Thian Bie—Po Houw dan Po Soeij—membenci Po Giok. Akan tetapi, Po Giok bisa menenangkan diri bersama putri tertua Thian Bie, Kim Nio (9 tahun).
Suatu hari, ketika Thian Bie bersiap meninggalkan kota, ia memberitahu anak-anaknya bahwa seseorang telah mencuri buah dari kebun keluarga dan mereka harus mengawasinya. Malamnya, Po Giok melihat anak tetangga yang kadang bekerja untuk mereka, Ho Kim Tjiang (17 tahun), mencuri beberapa buah jambu. Saat Po Giok berusaha memergoki Kim Tjiang, ia meminta Po Giok diam atau menghadapi amarah Kim Tjiang. Po Giok berjanji tidak akan beritahu siapapun. Setelah Thian Bie pulang, ia sangat terkejut, tetapi Po Giok tetap diam. Beberapa hari kemudian, akhirnya Po Giok memberanikan diri memberitahu pamannya tentang kelakuan Kim Tjiang. Thian Bie lalu menangkap bocah tersebut dan memecatnya. Kim Tjiang pulang dan mengadu ke ibunya dan mereka berjanji akan balas dendam. Sementara itu, Po Giok dicap pengecut karena tidak segera melaporkan pencurinya.
Konflik antara Po Giok dan Po Houw memburuk setelah Po Giok terus mengalahkan prestasi sepupunya di sekolah. Setelah keduanya berkelahi, Po Houw dihukum oleh guru mereka. Saat Thian Bie memberitahu anak-anaknya untuk tidak makan sawo yang disimpannya sebagai hadiah pernikahan, Po Houw menjadi sangat tergoda. Ketika tidak ada yang melihat, ia diam-diam mencuri satu buah dan memakannya, lalu menyelipkan kulitnya ke jendela terdekat yang menembus ke kamar Po Giok. Setelah kulit sawo tersebut ditemukan, Po Giok dituduh mencurinya dan ia gagal melawan tuduhan tersebut sekukuh apapun argumennya.
Keesokan paginya, Thian Bie yang mabuk akibat pesta pada malam sebelumnya memaksa Po Giok berdoa untuk orang tuanya, kemudian mengambil tongkat rotan dan memukuli Po Giok setengah mati[1] karena menolak mengakui pencurian tersebut. Selama beberapa hari selanjutnya, Po Giok pingsan dan tidak bisa bersekolah. Ia kembali dijauhi oleh keluarga adopsinya. Pada akhirnya, Thian Bie mengetahui bahwa Po Houw-lah yang mencuri buah tersebut. Ketika Thian Bie bersiap memukuli bocah tersebut, Po Giok menuntut agar Po Houw tidak disakiti dan permintaannya dituruti Thian Bie. Po Houw justru dipaksa makan terpisah dari keluarga. Po Houw dan Po Soeij perlahan memperbaiki sikapnya terhadap sepupu mereka setelah menyadari kemurnian hatinya.
Po Giok kemudian mendengar dari gurunya bahwa pamannya yang telah lama hilang, Tjan Haij Boen, ingin mengangkatnya sebagai anak. Saat Haij Boen bertemu Po Giok dan Thian Bie, mereka sepakat Po Giok dibawa Haij Boen ke Tiongkok beberapa bulan lagi setelah menyelesaikan sekolahnya. Sayangnya, sebelum rencana ini bisa dilaksanakan, Kim Tjiang yang gagal mencari pekerjaan di Batavia akibat pencurian sebelumnya membakar rumah keluarga Sie. Ketika Kim Tjiang kabur sambil membawa barang-barang berharga mereka, Po Giok menyelamatkan Kim Nio dari rumah itu. Keduanya cedera parah namun selamat. Sesuai waktu yang disepakati, Po Giok berangkat dengan Haij Boen ke Tiongkok dan menjadi orang kaya sampai 20 tahun selanjutnya.
Penulisan
Sie Po Giok ditulis oleh Tio Ie Soei, jurnalis kelahiran Batavia keturunan Tionghoa. Ini adalah novel pertamanya.[2] Ceritanya terdiri dari delapan bab dan memiliki beberapa catatan kaki yang memperjelas konten novel, termasuk satu catatan di akhir novel yang memberitahukan nasib Thian Bie dan anak-anaknya.[3]
Tema
Sim Chee Cheang dari Universiti Malaysia Sabah mengelompokkan Sie Po Giok sebagai satu dari beberapa karya Tionghoa Melayu yang tampaknya bertujuan "memperkenalkan nilai moral sesuai ajaran Konfusius" dengan menekankan "kebobrokan moral" warga Tionghoa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan menggunakan Konfusianisme untuk mengatasinya.[4] Ia menulis bahwa selain Tjerita Oeij Se (1903) karya Thio Tjin Boen, Lo Fen Koei (1903) Gouw Peng Liang, Njai Alimah (1904) Oei Soei Tiong, dan Pembalesan Kedji (1907) Hauw San Liang, Sie Po Giok juga benar-benar "melihat 'masa lalu', mempertanyakan dan mengkritisi masa lalu dan identitas Tionghoa."[4] Menurut Sim, tema semacam ini diperlihatkan melalui kerja keras tokoh utama yang sia-sia untuk menemukan kebahagiaan dengan menerapkan kepercayaan tradisional.[5]
Sim juga mencatat adanya sifat kepatuhan yang dominan di dalam tokoh wanitanya, sejenis pemaksaan peran gender tradisional. Ia menulis bahwa bibi Po Giok hanya ditampilkan sedang menyiapkan makanan atau meminta suaminya agar berhenti memukuli Po Giok. Sementara itu, Kim Nio hanya mampu mendukung Po Giok secara emosional, tetapi tidak bisa melindunginya secara fisik dan tidak mampu menghentikan pemukulan oleh ayahnya atau kebencian saudara-saudaranya.[6]
Rilis dan tanggapan
Sie Po Giok awalnya dicetak dalam bentuk serial di harian Tionghoa Sin Po[7] dan sukses besar. Cerita ini kemudian dijadikan novel pada tahun 1911 (beberapa sumber menyebutkan 1912[4]) dan diterbitkan oleh Hoa Siang In Giok, rumah penerbitan milik saudara ipar Tio.[8] Edisi keduanya diterbitkan Goan Hong & Co. tahun 1921.[9] Pada tahun 2000, buku ini dicetak ulang sesuai Ejaan yang Disempurnakan di volume pertama Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, sebuah antologi sastra Tionghoa Melayu.[2]
Dalam sejarah sastra Tionghoa Melayu yang disusunnya, Nio Joe Lan menulis bahwa Sie Po Giok adalah satu-satunya buku yang diproduksi penulis Tionghoa yang layak dibaca anak-anak. Ia berpendapat bahwa Tio menulis kata pengantar yang eksplisit dan mengandung pernyataan yang ditujukan pada pembaca wanita.[7] Karya-karya lain yang ditujukan pada pembaca muda bersifat mendidik (edukasi), seperti belajar abjad.[10]
Catatan
^EYD: Cerita Sie Po Giok, atau Peruntungannya Satu Anak Piatu
Nio, Joe Lan (1962). Sastera Indonesia-Tionghoa (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Agung. OCLC3094508.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Tio, Ie Soei (2000). "Sie Po Giok". Dalam A.S., Marcus; Benedanto, Pax. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 1. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 175–250. ISBN978-979-9023-37-7.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)