Model kemanusiaan:
Tradisi ritual:
Tradisi bakti:
Sekte dan majelis Konghucu:
Konfusianisme atau Konghucu, juga dikenal sebagai Ruisme atau Klasikisme (Hanzi: 儒家; Pinyin: Rújiā)[2], adalah sebuah sistem pemikiran dan perilaku yang berasal dari Tiongkok kuno, dan secara beragam dideskripsikan sebagai sebuah tradisi, filosofi (humanistik atau rasionalistik), agama, teori pemerintahan, atau cara hidup.[3] Konfusianisme berkembang dari ajaran-ajaran filsuf Tiongkok, Konfusius (551-479 SM), pada masa yang di kemudian hari disebut sebagai masa Seratus Aliran Pemikiran. Konfusius menganggap dirinya sebagai penyampai nilai-nilai budaya yang diwarisi dari dinasti Xia (sekitar 2070-1600 SM), Shang (sekitar 1600-1046 SM), dan Zhou Barat (sekitar 1046-771 SM).[4] Konfusianisme sempat ditindas pada masa dinasti Qin yang legalis dan otokratis (221-206 SM), namun tetap bertahan. Selama dinasti Han (206 SM - 220 M), pendekatan Konfusianisme mengungguli “proto-Taoist” Huang-Lao sebagai ideologi resmi, sementara kaisar-kaisarnya mencampurkan keduanya dengan teknik-teknik realis dari Legalisme.[5]
Menurut He Guanghu, Konfusianisme dapat diidentifikasi sebagai kelanjutan dari agama resmi dinasti Shang-Zhou (1600-256 SM), atau agama asli Tiongkok yang telah berlangsung tanpa gangguan selama tiga ribu tahun.[6] Kedua dinasti tersebut menyembah “dewa tertinggi”, yang disebut Shangdi (上帝, "Dewa Tertinggi") atau Di (帝) pada saat dinasti Shang dan Tian (天, "Surga") pada saat dinasti Zhou. Shangdi dianggap sebagai nenek moyang pertama dari keluarga kerajaan Shang, nama lain dari Shangdi adalah “Leluhur Tertinggi” (上甲; Shàngjiǎ).[7] Teologi Shang memandang banyaknya dewa alam dan leluhur sebagai bagian dari Di. Di bermanifestasi sebagai Wufang Shangdi (五方上帝) dengan angin (風; fēng) sebagai kehendak kosmiknya. Setelah dinasti Zhou menggulingkan Shang, nama untuk Ketuhanan tertinggi berubah menjadi Tian.[8] Sementara dinasti Shang mengidentifikasi Shangdi sebagai dewa nenek moyang mereka untuk menyatakan klaim mereka atas kekuasaan berdasarkan hak ilahi, Zhou mengubah klaim ini menjadi sebuah legitimasi yang didasarkan pada kekuatan moral, Mandat Surga. Dalam teologi Zhou, Tian tidak memiliki keturunan duniawi, tetapi memberikan bantuan ilahi kepada para penguasa yang berbudi luhur. Raja-raja Zhou menyatakan bahwa kemenangan mereka atas Shang adalah karena mereka berbudi luhur dan mencintai rakyatnya, sementara Shang dianggap tiran sehingga dicabut kekuasaannya oleh Tian.[4]
Pada abad ke-6 SM, kekuatan Tian dan simbol-simbol yang mewakilinya di bumi (arsitektur kota, kuil, altar dan bejana ritual, dan sistem ritual Zhou) menjadi “menyebar” dan diklaim oleh penguasa-penguasa yang berbeda di negara-negara Zhou untuk melegitimasi ambisi-ambisi ekonomi, politik dan militer. Komunikasi dengan yang ilahi tidak lagi menjadi hak istimewa eksklusif keluarga kerajaan Zhou, tetapi dapat dibeli oleh siapa saja yang mampu membeli upacara yang rumit dan ritus-ritus lama dan baru yang diperlukan untuk mengakses otoritas Tian.[9]
Selain sistem ritual Zhou yang memudar, apa yang dapat didefinisikan sebagai tradisi 'liar' (野; yě), atau tradisi di luar sistem resmi, berkembang sebagai upaya untuk mengakses kehendak Tian. Ketika otoritas politik pusat runtuh setelah runtuhnya Zhou Barat, penduduk kehilangan kepercayaan pada tradisi resmi, yang tidak lagi dianggap sebagai cara yang efektif untuk berkomunikasi dengan Surga. Tradisi "Sembilan Bidang" (九野) dan Yijing (易經) berkembang pesat.[10] Para pemikir Tiongkok, dihadapkan pada tantangan terhadap legitimasi ini, berbeda pendapat dalam “Seratus Aliran Pemikiran”, masing-masing menempatkan lensa filosofisnya sendiri untuk memahami proses-proses di dunia.
Konfusius (551-479 SM) muncul pada periode perombakan politik dan pencarian ajaran spiritual yang bisa diandalkan. Dia dididik dalam tradisi Shang-Zhou, yang ia sebarkan dan rumuskan kembali dengan berfokus pada pengembangan diri dan prinsip mengasihi orang lain.[4][11] Seiring dengan runtuhnya pemerintahan Zhou, nilai-nilai tradisional ditinggalkan dan mengakibatkan periode kemerosotan moral. Konfusius menganggap dirinya sebagai penerus nilai-nilai dari periode sebelumnya yang menurutnya telah ditinggalkan di masa itu.[4] Dalam pandangannya, kekuatan Tian meresap, dan merespons secara positif terhadap hati yang tulus yang didorong oleh kemanusiaan dan kebenaran, kesopanan dan altruisme. Konfusius memahami kualitas-kualitas ini sebagai fondasi yang diperlukan untuk memulihkan harmoni sosial-politik. Seperti banyak orang sezamannya, Konfusius melihat praktik ritual sebagai cara yang manjur untuk mengakses Tian, tetapi dia berpikir bahwa simpul penting adalah masuk ke dalam keadaan batin yang penuh khidmat sebelum terlibat dalam tindakan ritual.[12] Konfusius dikatakan telah mengubah dan menyusun ulang kitab-kitab klasik yang diwarisi dari dinasti Xia-Shang-Zhou, dan menyusun Catatan Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur / Chun Qiu (春秋).[13]
Di jaman Kaisar Pertama yaitu Qin Shihuangdi (秦始皇帝), Konfusianisme dianggap sebagai heterodoks karena dianggap menjadi rival dari ideologi dari Kaisar Qin.[14] Baru pada dinasti Han (206 SM-220 M) Konfusianisme mendapatkan posisi sebagai ajaran yang dijaga sebagai bagian dari peninggalan kebudayaan Tiongkok. Dong Zhongshu (董仲舒) adalah tokoh yang berperan penting karena pengaruhnya pada Kaisar Wu (武帝) sehingga menjadikan ajaran Konfusius menjadi subyek ajaran di akademi kerajaan di tahun 124.[15] Pada saat Konfusianisme diadopsi menjadi sistem pendidikan di kerajaan,ada pengaruh dari berbagai tradisi, seperti kosmologi spekulatif dari filsafah Yin-Yang, Ajaran Huang-Lao, dan bahkan Legalisme.[15]
Di masa dinasti Song, Konfusianisme telah berkembang menjadi agama yang sepenuhnya ortodoks dan lebih mapan dalam hal doktrinal, ini berkat eksplorasi teori dari Zhu Xi dan para akademisi Lixue.[16]
Konfusianisme umumnya memang tidak muncul dalam bentuk agama di dunia, bahkan di berbagai negara asia seperti Korea, Jepang, Taiwan, Hongkong dan Tiongkok sekalipun. Namun di Indonesia Konghucu diakui sebagai salah satu dari 6 agama yang dianut masyarakat. Konghucu sebagai agama digagas Kang Youwei menjelang keruntuhan Dinasti Qing tahun 1900. Namun gagasan Kang Youwei tampaknya tidak diterima oleh komunitas Tionghoa perantauan di berbagai negara, apalagi di Tiongkok sendiri pemerintah merekognisi 5 agama yaitu Buddha, Tao, Kristen, Katolik, dan Islam.[17] Dalam bahasa Tionghoa, ajaran Konghucu dikenal dengan istilah Kongjiao (孔教) atau Rujiao (儒教). Alih-alih merekognisi sebagai agama, Tiongkok mendirikan Confusius Institutes di 146 negara untuk memperkenalkan bahasa mandarin dan kultur Tiongkok serta memfasilitasi pertukaran budaya. Hal yang dicurigai barat sebagai kuda troya pemerintah Cina dalam memperluas pengaruhnya secara global.
Konghucu sebagai institusi agama di Indonesia menerapkan hal-hal berikut.
Tahun Zaman Nabi Khongcu Tahun Baru jatuh 22 Desember. 4 Februari pergantian musim dingin ke musim semi. Jadi Imlek bukan perayaan musim semi. Perkiraan tanggal 1 imlek, rentang waktunya 15 hari kedepan dan 15 hari kebelakang dari 4 Februari tersebut.Tiap 4 atau 5 tahun sekali ada bulan ke 13, untuk menggenapi agar perhitungan tersebut tidak berubah.[perlu dijelaskan]
Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai ateis dan komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Buddha, Islam, Katolik, atau Protestan. Klenteng yang merupakan tempat ibadah umat Buddha Tionghoa terpaksa mengubah nama dari Mandarin ke terjemahan Sansekertanya. Hal ini dilakukan karena penguasa Orba melarang segala hal yang terkait Tiongkok, termasuk aksara dan bahasa melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Maka Kwan Im Teng di berbagai wilayah berganti nama menjadi Wihara Avalokitesvara atau pun menggunakan bahasa Indonesia menjadi Wihara Dewi Welas Asih. Ho Tek Ceng Sin menjadi Wihara Amurwabumi dan sebagainya. Namun sebagian lainnya tetap menggunakan nama Mandarin tapi mengganti aksara Tiongkok menjadi huruf latin.
Sejak berdirinya Boen Bio di Surabaya pada 1906, lalu diikuti berdirinya organisasi Kong Kau Hwe di Surakarta 1923, Kong Tju Bio di Cirebon 1932, dan lain-lain, jumlah penganut Konghucu memang tidak berkembang sebagaimana diharapkan. Hal ini diakibatkan sejak semula, gagasan dari Kang Youwei ini di Hindia Belanda ditentang mayoritas masyarakat Tionghoa. Perdebatan di media massa pada jaman tersebut menunjukkan bahwa gagasan ini tidak menjadi arusutama. Apalagi setelah masa orde baru, kondisi sosial politik sangat tidak kondusif bagi perkembangan Agama Konghucu.
Seusai Orde Baru, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan kembali pengakuan atas identitas mereka sejak masa kepemimpinan presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan bahwa agama-agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Ajaran Konfusianisme dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao (儒教), yang berarti kepercayaan dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Konfusius memang bukanlah pencipta kepercayaan ini melainkan dia hanya menyempurnakan kepercayaan yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang dia sabdakan: "Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut." Meskipun orang-orang kadang mengira bahwa Konfusianisme adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia, sebenarnya jika seseorang ingin memahami secara benar dan utuh tentang Konfusianisme, maka ia akan mengetahui bahwa dalam Konfusianisme juga terdapat ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Konfusianisme juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut "Ren Dao" dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah "Tian" atau "Shang Di".
Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Konfusius yang lahir pada tahun 551 SM dengan nama Chiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Ia dikenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Konfusius banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Ia wafat pada tahun 479 SM.
Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan penunggu tetapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disembah, yang dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.
Ajaran ini dikembangkan oleh muridnya Mengzi ke seluruh Tiongkok dengan beberapa penyempurnaan.
1. Tian
2. Xing
3. Ren
Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui) dalam agama Khonghucu:
Lima Sifat Kekekalan (Wu Chang):[19]
1. Ren - Cinta Kasih
2. Yi - Kebenaran/ Keadilan/ Kewajiban
3. Li - Kesusilaan/ Kepantasan
4. Zhi - Bijaksana
5. Xin - Dapat dipercaya
Lima hubungan norma etika dalam bermasyarakat merupakan bentuk dasar interaksi manusia. Dengan menjalani kehidupan yang sesuai dengan asas Wu Lun, seseorang akan menikmati keselarasan dalam kepribadiannya maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.[19]
Delapan Kebajikan (Ba De):[19]
Kitab suci agama Konghucu dibagi menjadi dua kelompok:
Selain itu masih ada satu kitab lagi: Xiao Jing (Kitab Bakti).
Berdasarkan kitab Zhong Yong agama adalah bimbingan hidup karunia Tian/Tuhan Yang Maha Esa (Tian Shi) agar manusia mampu membina diri hidup di dalam Dao atau Jalan Suci, yakni "hidup menegakkan Firman Tian yang mewujud sebagai Watak Sejati, hakikat kemanusiaan". Hidup beragama berarti hidup beriman kepada Tian dan lurus satya menegakkan firmanNya.
Para nabi (儒教聖人) dalam Ru Jiao terbagi dalam beberapa zaman seperti yang tercantum di bawah ini.