Ratna Asmara (1913 – 10 Agustus 1968) adalah seorang aktris dan sutradara berkebangsaan Indonesia. Setelah menjadi aktif dalam dunia sandiwara, pada tahun 1940 dia membintangi Kartinah, yang digarap suaminya, Andjar Asmara. Setelah main peran dalam beberapa film lain, dia menjadi sutradara wanita Indonesia pertama dengan Sedap Malam pada tahun 1950. Biarpun karyanya cenderung diabaikan, karya sutradara wanita Indonesia lain sudah mendapatkan penghargaan luas.
Karier awal
Ratna dan suaminya Andjar Asmara bergabung dengan kelompok sandiwara Dardanella pada awal tahun 1930-an;[1][2] dengan kelompok tersebut dia dikenal untuk kualitas suaranya.[3] Pada akhir tahun 1930-an dia bergabung dengan kelompok Bolero yang dipimpin suaminya, sehingga menjadi bintang Bolero.[2]
Ketika Andjar diminta The Teng Chun untuk menyutradarai sebuah film untuk Java Industrial Film (JIF), Ratna juga ikut.[4] Mereka mendapatkan honor sebanyak 1.000 gulden untuk kegiatan mereka dalam film pertama ini, Kartinah (1940), yang digarap Andjar dan dibintangi Ratna. Film ini, yang menceritakan kisah cinta antara seorang suster (yang dimainkan Ratna) bersama bosnya, juga merupakan film perang pertama di Hindia Belanda karena terjadi dalam lingkungan Badan Persiapan Serangan Udara (Luch Bischermen Diens).[5][6]
Ratna juga berperan dalam film Andjar lain, yaitu Noesa Penida (sebuah kisah cinta di Bali) dan Ratna Moetoe Manikam, sebuah kisah cinta antara tiga dewi dan satu manusia.[7][8] Selama Revolusi Nasional yang dimulai dengan kemerdekaan Indonesia, Ratna membintangi satu film lagi: Djauh di Mata pada tahun 1948.[9]
Sutradara
Pada tahun 1950 Ratna diminta Djamaluddin Malik untuk menyutradarai film Sedap Malam untuk perusahaan Persari; Djamaluddin menjadi produser, dan Andjar menulis skenario. Film ini menjadikan Ratna sebagai sutradara wanita Indonesia pertama.[7] Ini disusul dengan dua film untuk Djakarta Film milik orang Tionghoa: Musim Bunga di Selabintana (Spring in Selabintana) pada tahun 1951 dan Dr Samsi pada tahun 1952. Andjar menulis skenario untuk kedua film itu.[7]
Pada tahun 1953 Ratna mendirikan Ratna Films, yang membuat satu film, Nelajan, sebelum ganti nama menjadi Asmara Films. Ratna membuat satu film lagi, Dewi dan Pemilihan Umum pada tahun 1954, yang bertepatan dengan pemilihan umum pertama pada tahun 1955.[7] Ratna sudah meninggal sebelum tahun 1981.[10]
Warisan
Setelah Ratna, hanya ada tiga sutradara perempuan Indonesia sampai akhir abad ke-20: Chitra Dewi, Sofia W.D., dan Ida Farida.[11] Sutradara ini jarang mendapat pengakuan yang sama seperti sutradara pria; selama periode ini menjadi bintang film merupakan satu-satunya cara untuk seorang wanita mendapatkan prestasi tinggi.[12] Memang, selama kariernya sebagai sutradara Ratna jarang mendapat dukungan dari sutradara pria.[13]
Krismantari, Ika (20 December 2010). "Tackling the tough questions". The Jakarta Post. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-17. Diakses tanggal 17 December 2011.
"Opera Bangsawan". Encyclopedia of Jakarta. Jakarta City Government. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-18. Diakses tanggal 18 August 2012.
Prawirawinta, Susi S (195?). Indonesia in Brief (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Endang. OCLC606488.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |year= (bantuan)