Tiongkok-Jepang Kedua
Pertempuran Beiping–Tianjin (Hanzi sederhana: 平津作战; Hanzi tradisional: 平津作戰; Pinyin: Píng Jīn Zùozhàn), juga dikenal sebagai "Operasi Peking-Tientsin" atau oleh bangsa Jepang disebut Insiden Tiongkok Utara (北支事変code: ja is deprecated , Hokushi jihen) (25-31 Juli 1937) adalah serangkaian pertempuran dari Perang Sino-Jepang Kedua yang terjadi di dekat kota Beiping (sekarang Beijing) dan Tianjin. Pertempuran ini dimenangkan oleh Jepang.
Tentara Garnisun Tiongkok Jepang [a]
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang[d][5]
Tentara Rute Ke-29 [6][e]
Korps Ke-53 - Jenderal Wan Fulin[f]
Dalam Insiden Jembatan Marco Polo pada 8 Juli 1937, Tentara Garnisun Tiongkok Jepang menyerang kota Wanping (宛平鎮) setelah keluar ultimatum yang mengizinkan mereka mencari seorang prajurit yang dinyatakan hilang. Wanping, sebuah daerah dekat Jembatan Lugou dan berada pada jalur kereta api utama di barat Beiping, dianggap cukup penting dan strategis. Sebelum Juli 1937, tentara Jepang telah berulang kali menuntut penarikan tentara Tiongkok dari tempat itu.
Jenderal Tiongkok Song Zheyuan memerintahkan pasukannya untuk mempertahankan posisi mereka dan berusaha untuk menghindari perang melalui diplomasi.
Tanggal 9 Juli Jepang menawarkan gencatan senjata dengan salah satu syarat adalah Divisi Ke-37 Tiongkok, yang telah terbukti anti Jepang, diganti dengan divisi lain dari Tentara Rute Ke-29 Tiongkok. Syarat ini disetujui oleh Tiongkok pada hari yang sama. Tetapi, sejak tengah malam hari itu pula, pelanggaran gencatan senjata oleh Jepang mulai meningkat dan bala bantuan Jepang terus berdatangan. Letnan Jenderal Kanichiro Tashiro, komandan Tentara Garnisun Tiongkok Jepang jatuh sakit dan meninggal pada 12 Juli. Ia digantikan oleh Letnan Jenderal Kiyoshi Katsuki.
Ketika serangan Jepang ke Beiping dimulai, Jenderal Ma Bufang, seorang pemeluk agama Islam dari kelompok Ma, dalam sebuah pesan telegram melaporkan pada pemerintah Tiongkok bahwa ia siap untuk bertempur melawan Jepang.[7] Segera setelah Insiden Jembatan Marco Polo, Ma Bufang mempersiapkan satu divisi kavaleri di bawah komando Jenderal Ma Biao, yang juga seorang muslim, untuk dikirim ke timur melawan Jepang, yang terdiri atas muslim Salar Turk, muslim Dongxiang, muslim Hui, penganut Buddha Tibet, dan tentara Han.[8] Ma Buqing dan Ma Bufang membahas rencana pertempuran melawan Jepang melalui telepon dengan Chiang Kai-shek. Sebagian kavaleri elite Ma Bufang dikirim melawan Jepang. Muslim Salar etnis Turk menjadi mayoritas dalam divisi kavaleri yang dikirim oleh Ma Bufang.[9]
Sementara itu, Perdana Menteri Jepang, Konoe, pada tanggal 8 Juli mengadakan rapat kabinet luar biasa di Tokyo dan memutuskan untuk mencoba meredakan permusuhan dan menyelesaikan masalah secara diplomatis. Tetapi, Kepala Staf Angkatan Darat Kekaisaran Jepang mengizinkan pengiriman divisi infanteri dari Tentara Terpilih, dua brigade independen gabungan dari Tentara Kwangtung, dan satu resimen udara sebagai bala bantuan. Pengiriman ini dibatalkan pada tanggal 11 Juli di tengah berita bahwa negosiasi sedang dilakukan oleh komandan Tentara Jepang Wilayah Tiongkok Utara dengan Tentara Rute Ke-29 Tiongkok di lokasi, dan dengan diplomat Jepang di ibu kota Tiongkok, Nanjing. Tetapi, meskipun Jenderal Sung Che-yuan, Komandan Tentara Ke-29 dan kepala Dewan Politik Hebei-Chahar dilaporkan telah mencapai kesepakatan berdamai pada 18 Juli, Tentara Jepang mempercepat pengiriman bala bantuan dengan alasan kurangnya kesungguhan dari pemerintah pusat Tiongkok. Mobilisasi ini sangat ditentang oleh Jenderal Kanji Ishihara dengan alasan bahwa eskalasi yang tidak diperlukan dalam konflik dengan Tiongkok akan membahayakan posisi Jepang di Manchukuo vis-à-vis Uni Soviet. Atas desakan Ishihara pengiriman ditunda. Sementara itu, Konoe mengadakan kontak pribadi dengan Sun Yat-sen dalam upaya untuk membangun penyelesaian diplomatik langsung dengan pemerintah pusat Kuomintang di Nanjing. Diplomasi rahasia ini gagal ketika unsur-unsur di dalam militer Jepang menahan utusan Konoe pada tanggal 23 Juli dan mobilisasi bala bantuan dimulai pada 29 Juli.
Seminggu kemudian, Komandan Tentara Jepang Wilayah Tiongkok Utara melaporkan bahwa, setelah kehabisan cara untuk penyelesaian damai, ia memutuskan untuk menggunakan kekuatan "menghukum" Tentara Rute Ke-29 Tiongkok dan meminta persetujuan dari Tokyo. Pada saat bersamaan, perintah mobilisasi dikeluarkan untuk empat divisi infanteri tambahan.
Meskipun gencatan senjata, banyak pelanggaran yang terjadi, termasuk penembakan Wanping oleh artileri Jepang pada 14 Juli.
Tanggal 25 Juli bala bantuan Jepang dalam formasi Divisi Ke-20 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang tiba dan pertempuran kembali meletus. Pertempuran pertama di Langfang, sebuah kota di jalur kereta api antara Beiping dan Tianjin, antara pihak Jepang dan tentara Tiongkok. Yang kedua terjadi pada 26 Juli ketika brigade Jepang berusaha untuk memaksa masuk melalui Gerbang Guanghuamen di Beiping untuk "melindungi warga negara Jepang". Pada hari yang sama, pesawat-pesawat Jepang membom Langfang.
Jepang kemudian mengeluarkan ultimatum bagi Jenderal Sung yang meminta penarikan semua pasukan Cina dari pinggiran Beiping hingga barat Sungai Yongding dalam waktu 24 jam. Sang jenderal menolak dan memerintahkan pasukannya untuk bersiap menghadapi Jepang, serta meminta bala bantuan besar dari pemerintah pusat, tapi tidak diberikan.
Tanggal 27 Juli, Jepang mengepung pasukan Cina di Tongzhou, satu batalyon Tiongkok dihancurkan dan mundur ke Nanyuan. Pesawat-pesawat Jepang juga membom pasukan Cina di luar Beiping dan mengamati Kaifeng, Zhengzhou, dan Luoyang.
Tanggal 28 Juli, Divisi Ke-20 AD Kekaisaran Jepang dan tiga brigade gabungan independen melancarkan serangan terhadap Beiping, yang didukung dengan kekuatan udara jarak dekat. Serangan utama ditujukan pada Nanyuan dan serangan tambahan pada Beiyuan. Pertempuran sengit pun terjadi. Dua jenderal Tiongkok, yaitu Tong Linge, Wakil Komandan Tentara Rute Ke-29 dan Zhao Dengyu, komandan Divisi Ke-132 terbunuh, dan pasukan mereka banyak yang luka dan tewas. Tetapi, satu brigade dari Divisi Ke-38 Tiongkok di bawah pimpinan Jenderal Liu Chen-san memaksa Jepang kembali ke daerah Langfang dan satu brigade dari Korps Ke-53 dan sebagian dari Divisi Ke-37 Tiongkok memperoleh kembali stasiun kereta api di Fengtai.
Namun, keadaan itu hanya sementara dan saat senja Jenderal Sung mengakui bahwa pertempuran berikutnya akan sia-sia dan menarik mundur kekuatan utama Tentara Rute Ke-29 Tiongkok ke selatan Sungai Yungging. Wali kota Tianjin, Jenderal Zhang Zizhong bertahan di Beiping untuk mengambil alih urusan politik di Provinsi Hebei dan Chahar dengan hampir tidak memiliki pasukan. Brigade Ke-29 yang baru terpisah di bawah pimpinan Jenderal Liu Ruzhen bertahan di Beiping untuk menjaga ketertiban umum.
Tanggal 29 Juli, pasukan Tentara Hopei Timur kaki tangan Jepang memberontak melawan Jepang di Tongzhou (Tongzhou). Mereka membunuh sebagian besar pembimbing mereka dan warga sipil lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak, yang berkebangsaan Jepang.[10]
Sementara itu, saat fajar 29 Juli, Divisi Ke-5 AD dan Angkatan Laut Kekaisaran secara terpisah menyerang Tianjin dan pelabuhan di Tanggu, yang dipertahankan oleh pasukan dari Divisi Ke-38 Tiongkok dan relawan di bawah komando Liu Wen-tien. Brigade Jenderal Huang Wei-kang membela Benteng Taku dengan gagah berani dan juga menyerang pangkalan udara Jepang terdekat, menghancurkan banyak pesawat. Tetapi, dengan meningkatnya bala bantuan Jepang, posisi mereka tidak bertahan dan malam itu (30 Juli) Jenderal Zhang Zizhong diperintahkan untuk mundur ke arah Machang dan Yangliuching di selatan Tianjin, meninggalkan kota dan Benteng Taku.
Pada 28 Juli, Chiang Kai-shek memerintahkan Sung Che-yuan untuk mundur ke Paoting di selatan Provinsi Hebei. Selama dua hari berikutnya, pertempuran sengit berlangsung di Tianjin, pasukan Tiongkok memberikan perlawanan keras, tetapi kemudian mereka mundur ke selatan di sepanjang jalur rel Tientsin-Pukow dan Peiping-Hankow.
Tanggal 4 Agustus, pasukan Jenderal Liu Ruzhen yang tersisa mundur ke Chahar. Setelah terisolasi, Beiping direbut oleh Jepang tanpa perlawanan pada tanggal 8 Agustus 1937. Jenderal Masakazu Kawabe memasuki kota pada 18 Agustus dengan parade militer dan memasang pengumuman di titik-titik penting bahwa ia adalah gubernur militer yang baru di kota itu. Zhang diizinkan untuk mempertahankan posisinya sebagai wali kota, tapi ia meninggalkan kota secara diam-diam seminggu kemudian.
Dengan jatuhnya Beiping dan Tianjin, Dataran Tiongkok Utara tak berdaya melawan divisi-divisi Jepang yang menduduki wilayah itu sebelum akhir tahun. Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok mundur teratur hingga Pertempuran Taierzhuang yang juga keras.
Zhang difitnah tanpa henti oleh pers Cina dan dicerca sebagai pengkhianat. Setibanya di Nanjing ia meminta maaf secara terbuka. Kemudian ia tewas saat berperang melawan Jepang, sehingga Kuomintang secara anumerta memaafkan Zhang atas peristiwa di Beiping.
|accessdate=
|accessdate=, |date=
|translators=
|last-editor=
|first-editor=