3.404 warga sipil tewas (365 pada 2016–2021)[10] 14.200–14.400 tewas; 51.000–54.000 terluka secara keseluruhan[10] 1,6 juta warga Ukraina terlantar secara internal; lebih dari 1 juta warga mengungsi ke luar negeri per Maret 2016
Perang di Donbas adalah konflik bersenjata yang berlangsung di wilayah Donbas, Ukraina. Semenjak Maret 2014, demonstrasi oleh kelompok pro-Rusia dan anti-pemerintah pecah di Oblast Donetsk dan Oblast Luhansk setelah pergerakan Euromaidan berhasil menjatuhkan pemerintahan Viktor Yanukovych yang pro-Rusia. Demonstrasi tersebut kemudian berubah menjadi konflik bersenjata antara pasukan separatis Republik Donetsk dan Republik Luhansk melawan tentara pemerintah Ukraina.[12][13] Para separatis sebagian besar dipimpin oleh warga Rusia.[1] Sukarelawan dari Rusia dilaporkan meliputi 15%[14] hingga 50-80% kombatan pro-Rusia.[15][1]
Sejarah
Pada bulan Maret 2014, pasca Revolusi Maidan di Ukraina, protes kaum anti-revolusi dan pro-Rusia dimulai di oblast Donetsk dan Luhansk, yang secara kolektif disebut "Donbas". Ini dimulai ketika Rusia menginvasi dan menganeksasi Krimea. Kelompok separatis bersenjata yang didukung Rusia merebut gedung-gedung pemerintah Ukraina dan mendeklarasikan republik Donetsk dan Luhansk (DPR dan LPR) sebagai negara yang merdeka, yang menyebabkan konflik dengan pasukan pemerintah Ukraina.[16] Rusia secara diam-diam mendukung kelompok separatis dengan pasukan dan persenjataan. Rusia hanya mengakui mengirim "spesialis militer",[17][18] tetapi kemudian mengakui separatis tersebut sebagai veteran perang Rusia.[19] Setelah satu tahun pertempuran, konflik berkembang menjadi perang parit. Terdapat 29 gencatan senjata yang gagal.[20][21][22] Sekitar 14.000 orang tewas dalam perang tersebut, yakni 6.500 pasukan proksi Rusia dan Rusia, 4.400 pasukan Ukraina, dan 3.400 warga sipil di kedua sisi garis depan.[23] Sebagian besar korban sipil terjadi pada tahun pertama.[23]
Pada April 2014, Ukraina melancarkan serangan balasan yang disebut "Operasi Anti-Teroris"[24] (ATO), kemudian berganti nama menjadi "Operasi Pasukan Gabungan" (JFO).[25][26] Pada akhir Agustus 2014, Ukraina berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah yang dikuasai separatis dan hampir merebut kembali kendali atas perbatasan Rusia–Ukraina.[27] Sebagai tanggapan, Rusia diam-diam mengirim pasukan, tank, dan artileri ke Donbas.[28][29] Pejabat Ukraina menyebut ini sebagai "invasi siluman" Rusia.[29][30] Campur tangan Rusia ini membantu separatis pro-Rusia menguasai sebagian besar wilayah yang direbut kembali pemerintah Ukraina.[25][31]Aleksandr Borodai, mantan "Perdana Menteri" DPR mengatakan 50.000 "relawan Rusia" telah bertempur dalam lima bulan pertama.[32]
Ukraina, Rusia, DPR, dan LPR menandatangani perjanjian gencatan senjata dalam Protokol Minsk pada September 2014.[33] Namun gencatan senjata ini banyak dilanggar, dan pertempuran sengit kemnali berlanjut pada Januari 2015, di mana separatis merebut Bandara Donetsk. Gencatan senjata baru, Minsk II, disepakati pada 12 Februari 2015. Setelah itu, separatis kembali memperbarui serangan mereka di Debaltseve dan memukul mundur militer Ukraina.[34]
Setelah jatuhnya Debaltseve, pertempuran terus berlanjut tetapi garis depan tidak berubah. Kedua belah pihak memperkuat posisi mereka dengan membangun jaringan parit, bungker, dan terowongan, yang mengakibatkan perang parit statis.[35][36] Kebuntuan menyebabkan perang ini disebut sebagai "konflik beku",[37] tetapi Donbas tetap menjadi zona perang dengan puluhan orang tewas setiap bulannya.[38] Per tahun 2017, rata-rata 1 orang tentara Ukraina tewas dalam pertempuran setiap tiga hari,[39] dengan perkiraan 40.000 separatis dan 6.000 tentara Rusia di wilayah tersebut.[40][41] Pada akhir 2017, pengamat OSCE telah menghitung sekitar 30.000 orang dengan perlengkapan militer menyeberang dari Rusia di dua pos pemeriksaan perbatasan yang diizinkan untuk dipantau,[42] dan mendokumentasikan konvoi militer yang menyeberang dari Rusia secara diam-diam.[43]
Semua pihak menyetujui rencana untuk mengakhiri perang pada Oktober 2019,[44] tetapi tidak kunjung terselesaikan.[45][20] Selama tahun 2021, korban tewas di Ukraina meningkat tajam dan pasukan Rusia berkumpul di dekat perbatasan Ukraina.[46] Kemudian Rusia secara resmi mengakui DPR dan LPR sebagai negara merdeka pada 21 Februari 2022 dan mengerahkan pasukan ke wilayah tersebut. Pada tanggal 24 Februari, Rusia memulai invasi penuh ke Ukraina, dengan perang di Donbas dimasukkan ke dalamnya.
^"Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-28. Diakses tanggal 2023-05-03.Parameter |name= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)