Monumen Tentara Genie Pelajar Malang, atau disebut juga Monumen TGP Malang, merupakan tugu peringatan atas gugurnya para pejuang kemerdekaan dari kesatuan Tentara Genie Pelajar (TGP) saat berlangsungnya Agresi Militer Belanda. Monumen didirikan pada tanggal 17 Juli 1989. Posisinya terletak di belakang Stadion Gajayana Malang, Jl. Semeru, Kota Malang, Jawa Timur.[1]
TGP merupakan organisasi militer resmi binaan angkatan bersenjata Indonesia (Pada masa itu masih bernama TKR atau Tentara Keselamatan Rakyat, yang diresmikan 7 Januari 1946 menggantikan Tentara Keamanan Rakyat[2]) pada era perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Peran TGP tidak boleh dianggap remeh meskipun umur anggota-anggotanya belasan tahun dan masih berstatus pelajar. Mereka memiliki keterampilan khusus yang diterapkan saat perang meletus di Kota Malang. Berbeda dengan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), maupun Tentara Pelajar (TP) yang kemampuannya bersifat umum (misal, menembak), TGP diisi oleh pelajar-pelajar dari sekolah kejuruan teknik.[3] Keahlian-keahlian khusus yang mereka miliki adalah, membuat jebakan, merakit bahan peledak untuk kemudian memasang dan meledakkannya. Mereka juga terampil dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan konstruksi (misalkan membangun jembatan darurat). Tidak hanya itu saja, anak-anak muda ini mampu memproduksi senjata maupun granat yang bahan-bahannya diambil dari bom-bom Belanda yang gagal meledak.[4]
Sejarah Monumen
Monumen ini terdiri dari dua buah patung yang menggambarkan dua orang pejuang anggota TGP: Ada yang menenteng senjata laras panjang, sedang yang lainnya ada yang memegang mortir dengan bertulisan Trek-Bom dengan pistol di pinggangnya. Di kaki patung terdapat nama-nama eks anggota pasukan muda itu. Nama Trek-Bom merupakan sebutan lain dari Satuan TGP.[1]
Tidak jauh dari monumen TGP berdiri, terdapat gedung sekolah bernama Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kristen, tepatnya di Jl. Semeru 42. Inilah alasan mengapa monumen bersejarah ini didirikan di Jl. Semeru. Itu karena memang di sekolah tersebut TGP resmi dibentuk,[5] tepatnya pada tanggal 2 Februari 1947, dipimpin oleh Sunarto (pangkat terakhir Mayor Jenderal Purnawirawan).[4] Mundur ke belakang, Pasukan yang dipimpin Sunarto ini awalnya adalah bagian dari Tentara Keamanan Rakjat (TKR) Tehnik (Nantinya berubah menjadi BKR Pelajar) pimpinan Hasanudin yang dibentuk di Surabaya. Mereka terjun langsung dalam pertempuran 28 Oktober dan 10 November 1945 di Surabaya.
Pada tanggal 14 Oktober 1946 pemerintah revolusioner Indonesia dengan Belanda mengadakan gencatan senjata. Dalam periode ini para pelajar pejuang, termasuk yang dipimpin Sunarto, kembali bersekolah meneruskan studi mereka yang sempat tertunda. Dalam periode gencatan senjata tersebut dimanfaatkan mereka untuk merekrut anggota-anggota baru, sekaligus menerima pelatihan dasar militer dari sekolah prajurit Angkatan Laut di Malang. Tempat belajar mereka berpindah-pindah. Terakhir mereka bersekolah di Gedung SMP Kristen, Jl Semeru 42, Malang.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan aksi polisionil resmi, atau kemudian lebih dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. mereka menolak kesepakatan bersama dengan Indonesia dikenal dengan nama Perjanjian LinggarJati (25 Maret 1947).[6] Pasukan TGP lalu diaktifkan kembali untuk ikut dalam pertempuran. Mereka terlibat dalam aksi penghancuran (bumi hangus) beberapa fasilitas umum di Kota Malang, seperti Lapangan Terbang Bugis, Jembatan Kereta Api Kendalpayak & Sempal Wadak, Pabrik Gula Krebet dan masih banyak lagi.[5]
Selesai Konferensi Meja Bundar 2 November 1949, pada tanggal 7 Desember 1949 Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia (Republik Indonesia Serikat, atau disingkat RIS) yang menandakan berakhirnya konflik bersenjata antara Indonesia-Belanda.[7] Dua puluh hari kemudian (27 Desember 1949), digelar apel di Madiun untuk pasukan TGP. Dalam kesempatan yang sama diadakan juga acara pemakaman kembali pejuang-pejuang TGP yang gugur. Total ada 41 pejuang pelajar yang wafat selama perang mempertahankan kemerdekaan RI sejak 1947 sampai dengan tahun 1949.[5]