Soekarno-Hatta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Jenderal Soedirman yang sedang didera sakit berat melakukan perjalanan ke arah selatan dan memimpin perang gerilya selama tujuh bulan.
Belanda menyatakan Indonesia sudah tidak ada. Dari kedalaman hutan Jenderal Soedirman menyiarkan bahwa Republik Indonesia masih ada, kokoh berdiri bersama Tentara Nasionalnya yang kuat.
Soedirman membuat Jawa menjadi medan perang gerilya yang luas, membuat Belanda kehabisan logistik dan waktu.
Kemanunggalan TNI dan rakyat lah akhirya memenangkan perang. Dengan ditanda tangani Perjanjian Roem-Royen, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan RI seutuhnya.[3]
Berawal dari pertanyaan sederhana sang sutradara Viva Westi tentang alasan mengapa seluruh daerah mempunyai jalan Soedirman, ia memiliki ide untuk mengangkat kisah Jenderal Soedirman dalam sebuah film. Sayangnya, idenya ditolak di berbagai rumah produksi dengan alasan tema yang kurang diminati masyarakat. Westi mengaku film yang akan digarapnya memang tidak ada drama percintaan. Justru film ini akan memberikan inspirasi soal cinta yang besar yang ditunjukan oleh Jenderal Soedirman kepada Indonesia.[4]
Saat Westi bertemu dengan Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan DaratKiki Syahnakri, ia mengungkapkan keinginannya untuk membuat film Jenderal Soedirman dan mendapatkan sambutan baik dari Kiki. Markas Besar Angkatan Darat melalui Yayasan Kartika Eka Paski mau mendanai film tersebut dengan dana 10-15 miliar. Tidak hanya dana, Yayasan tersebut juga memberi akses senjata dan lokasi syuting di hutan milik TNI Angkatan Darat.[1]
Westi memilih Adipati Dolken sebagai pemeran Soedirman. Ia menyatakan tak tahu lagi siapa yang pantas memerankan Jenderal Soedirman.[5] Westi menuturkan popularitas Adipati Dolken dinilai dapat menarik minat anak muda untuk menyaksikan film sejarah. Usia Adipati Dolken yang masih muda juga mewakili sosok Jenderal Soedirman yang saat melakukan perang gerilya masih dengan usia muda.[6]
Adipati mengaku hanya sekedar mengetahui Jendral Soedirman sebagai nama jalan. Hal itu membuatnya cukup sulit untuk memerankan karakter tersebut. Ia mengakui sulit untuk mengetahui cara berbicara pak Dirman. Beruntung, ia mendapat bantuan dari Pak Teguh yang merupakan anak dari Soedirman. Adi juga banyak mencari referensi sendiri di buku-buku dan berbagai situs di internet. Sampai syuting berlangsung pun ia masih melakukan proses itu.[5]
Proses syuting dan pendalaman karakter yang Adipati lalui selama kurang lebih enam bulan, membuat pandangannya terhadap Jenderal Soedirman berubah. Ia kini sangat mengagumi jenderal yang dikenal dengan taktik perang gerilya itu.[5] Westi mengaku mengapresiasi pendalaman karakter Adipati Dolken dan memuji Adi karena memerankan tokoh Jenderal Soedirman dengan sangat baik.[6]
Film ini tayang di bioskop Indonesia tepat 10 hari setelah peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-70 yaitu pada 27 Agustus 2015.[2] Dalam sepekan perilisannya, film ini berhasil mendapatkan jumlah penonton sebanyak 82.776 orang. Di minggu kedua penyangan, jumlah penonton berhasil sampai di angka 152.425 orang.[7]
Film Jenderal Soedirman juga kerap ditayangkan di televisi nasional setiap memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Film ini juga ditayangkan di situs streaming Netflix.[8]
Kontroversi
Setelah ditayangkan di bioskop, film ini mendapat tanggapan baik dari penonton. Namun muncul protes besar dari Didi Mahardika, cucu dari presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ia menganggap terdapat banyak kekeliruan sejarah dalam film ini.[9]
Beberapa hal yang ia permasalahkan adalah:
Adegan dialog antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soedirman atau Pak Dirman, yang mendramatisasi perbedaan antara perjuangan melalui perundingan dengan melalui perang frontal. Hal itu, disebut oleh Didi, berpotensi menghilangkan makna persatuan dan kesatuan bangsa.
Adegan Presiden dan Wakil Presiden mengaku berbohong, berdosa atas janji dengan tidak bergerilya. Hal itu bisa menimbulkan kontroversi.
Adegan tentang Bung Karno yang meminta difoto ulang ketika berangkulan dengan Pak Dirman juga bertentangan dengan fakta sejarah
Adegan tentang peran Tan Malaka beserta tentaranya memberi kesan bertentangan dengan status Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.
Adegan Pak Dirman membanting tongkat keris (tak sesuai dengan aslinya sebagai orang Jawa yang santun). Pak Dirman memakai kopiah ditodong senapan, dibentak Belanda, itu tidak jelas sumber sejarahnya.
Menanggapi protes tersebut, Westi selaku sutradara sangat terbuka dengan segala pujian termasuk kritikan yang masuk untuk film ini. ia memastikan semua hal dalam film ini telah melalui berbagai pertimbangan dan dasar-dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.[10]