Hormat bendera adalah penghormatan yang dilakukan oleh warga negara terhadap bendera negara yang menjadi salah-satu simbol negara. Di Indonesia, masyarakat sipil dengan pakaian sipil (yang tidak berseragam) tidak mengangkat tangan saat memberi hormat kepada bendera, tetapi melakukan penghormatan dengan cara berdiri
tegak di tempat masing-masing dengan sikap sempurna, meluruskan lengan ke bawah, mengepalkan telapak tangan, dan ibu jari
menghadap ke depan merapat pada paha disertai pandangan lurus ke
depan.[1] Sedangkan personel militer, kepolisian, dan/atau anggota dari suatu organisasi berseragam lainya melakukan penghormatan dengan cara yang telah ditetapkan oleh organisasi tersebut.[2]
Tatacara sikap saat pengibaran dan penurunan bendera di Indonesia yang populer di masyarakat adalah penghormatan bergaya militer dengan cara mengangkat tangan kanan sebatas kepala, cara ini menjadi lumrah dan populer karena dilazimkan pada upacara bendera setiap hari senin dan hari besar di sekolah-sekolah dan instansi pemerintah. Sikap berdiri sempurna tanpa mengangkat tangan kadang disalahpahami sebagai sikap yang menyalahi aturan.[3] Kurang populernya sikap berdiri tanpa mengangkat tangan, membuat sebagian masyarakat mempertanyakan sikap Wapres Jusuf Kalla yang tidak mengangkat tangan terhadap bendera merah putih pada peringatan Kemerdekaan RI ke-70 tanggal 17 Agustus 2015 di Istana Merdeka, meski sebenarnya hal tersebut juga telah dilakukannya ketika masih menjadi wapres di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sikap serupa juga sebelumnya dilakukan oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta pada saat upacara tahun 1945.[4][5] Beberapa dokumentasi sejarah pada masa awal kemerdekaan juga menampakkan sikap berdiri tanpa mengangkat tangan oleh warga sipil adalah hal yang lumrah dan benar.
Aturan tatacara ketika pengibaran dan penurunan bendera di Indonesia diatur pada Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1958 pasal 20 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia secara lengkap di tautan berikut.
Pada waktu upacara penaikan atau penurunan Bendera Kebangsaan, maka semua orang yang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak, berdiam diri, sambil menghadapkan muka kepada bendera sampai upacara selesai. Mereka yang berpakaian seragam dari sesuatu organisasi memberi hormat menurut cara yang telah ditentukan oleh organisasinya itu. Mereka yang tidak berpakaian seragam, memberi hormat dengan meluruskan lengan kebawah dan melekatkan tapak tangan dengan jari-jari rapat pada paha, sedang semua jenis penutup kepala harus dibuka, kecuali kopiah, ikat kepala, serban dan kudung atau topi-wanita yang dipakai menurut agama atau adat-kebiasaan.
— Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1958
Tata cara untuk masyarakatsipil yang berpakaian sipil jika memberi sikap hormat adalah dengan cara:
Berdiri tegak di tempat masing-masing dengan sikap sempurna, meluruskan lengan ke bawah, mengepalkan telapak tangan, dan ibu jari menghadap ke depan merapat pada paha disertai pandangan lurus ke depan.[6]
— UU RI Nomor 24 tahun 2009
Masyarakat sipil yang berpakaian sipil (terutama wanita) tidak diwajibkan melakukan penghormatan tangan sebagaimana yang dilakukan oleh personil berseragam.
Upacara
Upacara bendera merupakan suatu ritual peninggalan masa penjajahan Jepang. Pada masa Perang Dunia Kedua, sekolah-sekolah di seluruh wilayah yang diduduki oleh tentara Jepang diwajibkan mengadakan upacara bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan setiap hari sebagai simbol hormat kepada Kaisar. Hal ini kemudian diadopsi juga pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, dengan mengganti lagu kebangsaan Jepang dengan Indonesia Raya dan bendera Merah Putih. Hal ini berlanjut dengan upacara setiap hari Senin pada instasi dan sekolah-sekolah di Indonesia.[7]
Dalam buku Japan in Asia, 1942–1945 (1981), terdapat catatan akademis oleh Yohanna Johns yang merupakan salah seorang murid di sekolah perguruan pada masa penjajahan Jepang di Padang Panjang, Sumatera Barat.[7]
"Rutinitas sehari-hari memiliki gaya militer: kami dibangunkan oleh bel pada pukul 5.30 pagi, kemudian mengambil bagian dalam upacara pengibaran bendera di mana kami menyanyikan Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang. Kemudian kami menghadapi matahari terbit, berdiri dengan perhatian dan membacakan tindakan dedikasi kepada Kaisar (Tennō Heika) yang telah kami hafal. Kemudian kami melakukan Saikeire. Ini diikuti dengan latihan fisik (taisō)".
— Catatan akademisi milik Yohanna Johns dalam buku "Japan in Asia, 1942–1945 (1981)", bab “The Japanese as Educators in Indonesia: A Personal View”.