Homoseksualitas telah dikaji oleh ilmu psikologi. Berdasarkan konsensus ilmiah yang ada saat itu, ketertarikan sesama jenis adalah hal yang lumrah dan merupakan ragam orientasi seksual manusia.[1] Saat itu juga banyak bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa menjadi gay, lesbian, atau biseksual itu sejalan dengan kesehatan kejiwaan yang normal.[2]American Psychiatric Association menghapus homoseksualitas dari DSM-II (daftar penyakit kejiwaan) pada tahun 1973. Setelah meninjau data-data yang ada, American Psychological Association juga melakukan hal yang sama pada tahun 1975. Pada tahun 1993, National Association of Social Workers mengakui bukti-bukti ilmiah yang telah dihasilkan dan mengambil sikap yang sama dengan American Psychiatric Association dan American Psychological Association.[3]World Health Organization, yang pernah memasukkan homoseksualitas ke dalam ICD-9 pada tahun 1977, turut menghilangkan homoseksualitas dari ICD-10 pada tanggal 17 Mei 1990,[4] hingga saat ini dengan alasan stigma daripada kesehatan biologis, HIV/AIDS angka dua hingga tiga kali lipat daripada heteroseksual di Amerika Serikat[5][6] atau 70%,[7] hingga keselamatan biologis.
Sebagian besar orang yang memiliki orientasi gay, lesbian, atau biseksual mengikuti psikoterapi dengan alasan yang serupa dengan orang-orang yang berorientasi heteroseksual, misalnya kesulitan dalam hubungan, kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, stres, dan lain-lain. Orientasi seksual mereka bisa berdampak besar ataupun kecil, tergantung pada orangnya. Walaupun begitu, kaum LGB menghadapi risiko yang lebih tinggi akibat prasangka dan stigma yang dikenakan terhadap mereka oleh masyarakat.[8] Namun, LGB mempunyai kesulitan nyata hubungan seksual, yang merupakan gangguan terdapat di ICD-10 kemudian dihapus pada tahun 2014 karena alasan stigma daripada kesehatan, keselamatan dan keamanan biologis.[9] Dan terkadang, kelompok orientasi LGB ini mempunyai rasa tidak nyaman, bersalah, atau tidak sejalan keinginan individu disebut ego-distonik, kebingungan identitas seperti gejala pikiran hingga seksual lain bernama HOCD/SO-OCD bahkan P-OCD yang masih bisa disembuhkan. Sebaliknya, berlawanan dengan ego-distonik ini, ego-sintonik yakni diterima untuk tujuan ego dan kebutuhan psikologis yang terkait dari orang tersebut (misalnya, delusi, psikosis).[10]
Pada tahun 2018, studi psikometri skala besar mengenai psikopatologi gangguan perilaku seksual menemukan diantara orientasi seksual, dengan hasil kategori orientasi seksual LGB yang paling tinggi memiliki psikologi abnormal gangguan kontrol impuls saraf otak dalam hal seksual, atau kegagalan mental untuk mengontrol dorongan impuls, perilaku hingga suasana hati ataupun emosional.[11] Penamaan ini memiliki istilah lain seperti penyebutan Gangguan perilaku seksual kompulsif. Pada ICD-11, penamaan ini resmi serta merupakan turunan dari Gangguan kontrol impuls yang juga merupakan turunan dari Gangguan mental, perilaku, atau perkembangan saraf.[12] Pada pandangan neurologis, kondisi tertentu dapat dianggap dari gangguan otak frontal. Pre-frontal Cortex dapat menyebabkan OCD, Obsesi murni, gejala kompulsif dan terkadang obsesi berkoneksi dengan delusi, dan delusi berkoneksi dengan obsesi.[13] Gangguan otak ini dapat berefek hingga Brain fog atau kondisi hilang ingatan.
Pengujian invarians pengukuran dilakukan untuk memastikan perbandingan berbasis gender dan orientasi seksual bermakna. Hasil menunjukkan ketika gender dan orientasi seksual dipertimbangkan (yaitu, laki-laki heteroseksual vs. laki-laki LGBTQ vs. perempuan heteroseksual vs. perempuan LGBTQ), laki-laki LGBTQ memiliki rata-rata laten yang lebih tinggi secara signifikan pada faktor HBI. Hasil juga menunjukkan laki-laki LGBTQ memiliki skor tertinggi pada kemungkinan indikator hiperseksualitas lainnya (misalnya, frekuensi masturbasi, jumlah pasangan seksual, atau frekuensi menonton terlarang). Temuan ini menunjukkan bahwa laki-laki LGBTQ mungkin merupakan kelompok yang paling berisiko terlibat dalam perilaku hiperseksual, dan perempuan LGBTQ berada pada risiko yang lebih tinggi untuk terlibat dalam aktivitas hiperseksual karena masalah koping.
Dari studi dan penelitian sebelumnya ditemukan golongan orientasi non-hetero atau menyimpang atau beresiko berlawanan biologianatomi, memang memiliki kegagalan mental kontrol impuls yang lebih parah dibanding heteroseksual.[14][15][16]
^"Your Guide to HOCD: Causes, Misconceptions & Treatments". Impulse (dalam bahasa Inggris). 2022-05-03. ...To the untrained eye, HOCD/Sexuality OCD can look a lot like a sexual identity crisis or someone struggling with the idea of coming out. Yet there are several difference between the two.
Someone in the middle of a sexual identity crisis will experience thoughts and images that align to their true sexual orientation; these thoughts are ego-syntonic and parallel to one’s desires. Conversely, those suffering from HOCD/Sexuality OCD get no pleasure or enjoyment from their thoughts – they are opposite of their true desires.
Furthermore, someone repressing their sexuality may have a past marked by sexual experiences that speak to their true orientation. They prefer to date and have romantic encounters that align to this orientation. And they typically report feeling different than their peers in childhood.line feed character di |quote= pada posisi 190 (bantuan)