Eudaimonisme adalah pandangan hidup yang menganggap kebahagiaan sebagai tujuan segala tindak-tanduk manusia.[1] Dalam eudaimonisme, pencarian kebahagiaan menjadi prinsip yang paling dasariah.[2] Kebahagiaan yang dimaksud bukan hanya terbatas kepada perasaan subjektif seperti senang atau gembira sebagai aspek emosional, melainkan lebih mendalam dan objektif menyangkut pengembangan seluruh aspek kemanusiaan suatu individu (aspek moral, sosial, emosional, rohani).[3] Dengan demikian, eudaimonisme juga sering disebut etika pengembangan diri atau etika kesempurnaan hidup.[3]
Etimologi
Dalam bahasa Yunani eudaimonia εὐδαιμονία memiliki arti kebahagiaan.[4] Kata ini terdiri dari dua suku kata "eu" ("baik", "bagus") dan "daimōn" ("roh, dewa, kekuatan batin").[4] Secara harafiah istilah ini mengacu pada kondisi kebahagiaan oleh perlindungan roh yang murah hati.[5]
Tokoh
Sokrates
Menurut Sokrates manusia memiliki suatu cita-cita hidup, yaitu untuk mencapai kebahagiaan (eudaimonian = "jiwa yang baik").[3] Eudaimonia dapat dicapai dengan memiliki keutamaan pengetahuan akan 'yang baik'.[3] Ketika manusia memiliki pengetahuan akan 'yang baik' ini, tentu saja manusia akan melakukan hal 'yang baik' pula.[3] Kejahatan terjadi karena tidak adanya pengetahuan akan 'yang baik' itu.[3]Sokrates menyatakan bahwa 'yang baik' ini bersifat utuh dan mantap.[3] 'Yang baik' itu juga bersifat universal, artinya berlaku di mana saja, bukan semata-mata kesepakatan di suatu tempat saja.[3] Melalui ajaran tentang 'yang baik' ini, Sokrates telah meletakkan dasar bagi kesadaran suara hati dan etika otonom.[3]
Sokrates meneruskan prinsip etikanya ke bidang politik.[3] Dia berpendapat bahwa negara harus memajukan kebahagiaan para warganya dan penguasa harus mengerti akan yang baik itu.[3] Oleh sebab itulah, Sokrates sangat menyetujui sistem demokrasi yang berlaku di Atena.[3]
Plato
Sama seperti gurunya Sokrates, Plato menganggap bahwa hidup yang baik (eudaimonia) atau kebahagiaan dapat dicapai dengan berpolis atau hidup dalam negara (komunitas).[3] Dengan demikian, agar mencapai hidup yang baik atau bahagia, dituntut juga negara yang baik.[3] Ada pengaruh timbal balik antara hidup yang baik sebagai individu dan negara yang baik. Bila suatu negara hidup buruk, tidak mungkin warga negaranya hidup baik, begitu juga sebaliknya.[3]
Ide orisinil dari Plato mengenai kehidupan yang baik tampak dari teori tentang 'ide'.[3] Menurut Plato, manusia memiliki dorongan (kerinduan) untuk kembali ke asalnya, pulang menuju kerajaan ide-ide.[3] Hal ini dapat dicapai jika jiwa manusia dikuasai oleh akal budi.[2][3] Dengan akal budi, manusia akan menguasai diri, menjadi satu dengan diri sendiri, dan memiliki ketenangan.[3] Pandangannya mengenai kebahagiaan tampak dalam keutamaan-keutamaan.[2][3] Bagi Plato, selain mengarahkan diri kepada yang baik, seseorang harus melakukan kewajiban-kewajiban dalam kehidupannya sehari-hari.[3]
Oleh Plato, keutamaan-keutamaan ini digolongkan lagi menjadi empat keutamaan paling utama antara lain:[3]
Orang yang mengusahakan keempat keutamaan ini akan menciptakan kondisi supaya rohnya diangkatnya ke alam rohani. Dengan demikian, ia mencapai suatu hidup yang utuh dan bernilai.[3]
Aristoteles
Sama seperti kedua gurunya Sokrates dan Plato, Aristoteles pun mengakui bahwa tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).[3] Dengan mencapai kebahagiaan, manusia tidak memerlukan apa-apa lagi.[2][3] Menurutnya, sangatlah tidak masuk akal jika sudah mencapai kebahagiaan, manusia masih mencari hal lain dalam hidupnya.[3] Pandangan Aristoteles mengenai mencapai tujuan akhir tersebut sejalan dengan pandangan Sokrates mengenai rasio.[3] Menurutnya, pengetahuan saja tidak cukup, orang harus melakukan tindakan.[3] Tindakan yang dilakukan bukanlah tindakan sembarang, tetapi tindakan yang mencerminkan kemampuan manusia.[3] Inilah yang disebut dengan rasio.[2][3]Rasio membuat dua buah pola kehidupan manusia, antara lain:[3]
1. Theoria
Theoria artinya memandang (theorein), yaitu merenungkan suatu realitas secara mendalam. Hal ini melibatkan jiwamanusia (''logos'' atau roh). Menurut Aristoteles, kegiatan ini adalah kegiatan yang paling luhur dan membahagiakan.[3]
2. Praxis
Praxis menjelaskan kebahagiaan dalam relasi antar manusia.[3]Praxis diwujudkan melalui tindakan-tindakan dalam sebuah komunitas (keluarga, masyarakat, negara) untuk sebuah pencapaian kebahagiaan bersama.[2]Praxis yang benar dijelaskan dalam sebuah buku ''Ethica Nikomacheia'' yang di dalamnya dirumuskan tentang keutamaan etis.[3] Keutamaan etis dirumuskan sebagai jalan tengah antara yang ekstrem dan berlawanan.[3][6] Misalnya keberanian sebagai jalan tengah dari pengecut dan gegabah.[3] Selain keutamaan etis, terdapat juga keutamaan akal budi yang mengupayakan kesempurnaan dari akal budi itu sendiri seperti kebijaksanaan dan kepintaran.[2][3]
Epikuros
Bagi Epikuros, kebahagiaan adalah apa yang menghasilkan kenikmatan.[2][3] Kenikmatan diartikan sebagai tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan hidup.[3] Pandangan Epikuros mengenai kenikmatan bukan semata-mata kenikmatan indrawi, tetapi ketenangan jiwa yang disebut dengan ''ataraxia''.[2][3] Untuk mencapai ketenangan ini manusia harus menjauhi kehidupan ber''polis'' (berkumpul), karena hal ini bisa mengusik ketenangan.[3] Selain itu, manusia harus menjadi seorang yang bijak, yang mampu mengkalkulasikan kenikmatan-kenikmatan yang bisa diraih dan bersifat jangka panjang.[2][3] Dengan demikian, pandangan Epikuros mengenai kebahagiaan menjurus kepada kenikmatan yang individualistik, karena yang dibahas adalah kenikmatan untuk diri sendiri.[2]
Kaum Stoa
Aliran Stoa didirikan oleh Zenon dari Kition sekitar tahun 300 SM.[2]Kaum Stoa memiliki pandangan yang berlawanan dengan Epikuros mengenai kebahagiaan.[3] Kebahagiaan menurut Kaum Stoa adalah keberhasilan manusia mempertahankan diri dengan cara menyesuaikan diri terhadap hukum kodrat.[2] Dalam pengertian ini, perbuatan baik dilihat sebagai penyesuaian dengan hukum kodrat.[2] Sementara itu, perbuatan buruk dilihat sebagai penolakan pada penyesuaian diri terhadap hukum kodrat.[2] Dengan demikian, pencapaian harmoni dengan alamlah yang menjadi kebahagiaan (eudaimonia).[3]
Referensi
^Henk ten Napel.2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 130.
^ abcdefghijklmnoFranz Magnis-Suseno.1987, 13 Tokoh Etika, sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 11-60.