Rencana ini mengenai sebuah majalah berita utama di Indoneisa. Untuk Untuk akhbar hampir bernama sama hasil turunan majalah ini, sila lihat
Koran Tempo.
TEMPO adalah sebuah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya meliputi berita dan politik dan diterbitkan oleh Tempo Media Group. Majalah ini merupakan majalah terbitan bebas pertama - yakni yang tidak ada hubungan dengan pemerintah Indonesia sepertimana yang menjadi kelaziman pada zaman itu.
Sejarah
1970–1980
Tempo didirikan oleh Goenawan Mohamad dan Yusril Djalinus dengan edisi pertamanya terbit pada 6 Mac 1971.[3] Terbitnya edisi tersebut tidak bisa lepas dari peranan prakarsa sekumpulan anak muda pada tahun 1969, antara lain iaitu Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Christianto Wibisono (Oey Kian Kok) dan Usamah, dan awalnya majalah itu bernama "Ekspres".[4] Namun dikarenakan adanya perbedaan prinsip antara jajaran redaksi dan pihak pemilik modal utama, maka Goenawan dan kelompoknya keluar dari Ekspres pada tahun 1970.
Dalam waktu yang kurang lebih sama, Harjoko Trisnadi sedang mengalami masalah. Majalah Djaja, milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), yang dikelolanya sejak 1962 macet terbit. Menghadapi kondisi tersebut, karyawan Djaja menulis surat kepada Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, meminta agar Djaja diswastakan dan dikelola Yayasan Jaya Raya, sebuah yayasan yang berada di bawah Pemerintah DKI. Lalu terjadi rembugan tripartite antara Yayasan Jaya Raya, yang dipimpin Ir. Ciputra (Tjie Tjien Hoan) orang-orang bekas majalah Ekspres, dan orang-orang bekas majalah Djaja. Disepakatilah berdirinya majalah Tempo di bawah PT. Grafiti Pers sebagai penerbitnya.
Dan pada tahun 1971, dengan peran serta dari Harjoko Trisnadi (Kho Tiang Hoen), Fikri Jufri, Lukman Setiawan (Tjen Jan Loek), dan Bur Rasuanto, Goenawan yang kemudian dianggap sebagai "pendiri", menerbitkan majalah Tempo untuk pertama kalinya.[5]
Pemakaian nama Tempo, tidak lepas dari saran dari para pengecer. Di mana kata ini mudah untuk diucapkan dan memiliki jarak penerbitan yang cukup longgar, yakni mingguan. Selain itu, namanya, dianggap mirip-mirip dengan majalah terkenal dari Amerika, Time.[4] Dengan rata-rata umur pengelola yang masih 20-an, ia tampil beda dan diterima masyarakat. Dengan mengedepakan peliputan berita yang jujur dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik dan jenaka, majalah ini diterima masyarakat.
1981–2000, semasa Zaman Orde Baru
Pada tahun 1982, untuk pertama kalinya majalah ini seita, karena dianggap terlalu tajam mengkritik rejim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar. Saat itu tengah dilangsungkan kampanye dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya diperbolehkan terbit kembali setelah menandatangani semacam "janji" di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu ( zaman Soeharto ada Departemen Penerangan antara fungsi lainnya mengawal ketat medan pers yang wujud di Indonesia)[4].
Makin sempurna mekanisme internal keredaksiannya, makin mengental semangat jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula daya kritik Tempo terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian melumut. Puncaknya, pada Juni 1994, untuk kedua kalinya majalah ini disita oleh pemerintah melalui Menteri Penerangan Harmoko. Ia dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal bekas dari Jerman Timur. Laporan ini dianggap membahayakan "stabilitas negara", di mana laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan yang kecewa pada sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menyetujui pembredelan Tempo, Editor, dan Detik, kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Selepas Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di Tempo -dan tercerai berai akibat bredel- berembuk ulang. Mereka bicara ihwal perlu-tidaknya majalah Tempo terbit kembali. Hasilnya, Tempo harus terbit kembali. Maka, sejak 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali.[4]
Pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdanago menjual sahamnya ke publik dan lahirlah PT Tempo Inti Media Tbk. (PT.TIM) sebagai penerbit majalah Tempo yang baru. Pada tahun yang sama, Koran Tempo muncul sebagai suatu media saingan dalam media harian.
2001–sekarang
Sebaran informasi di bawah bendera PT TIM Tbk, terus berkembang dengan munculnya pproduk-produk baru seperti majalah Tempo edisi bahasa Inggeris, Travelounge (2009) dan Tempo Interaktif, yang kemudian menjadi tempo.co serta Tempo News Room (TNR), kantor berita yang berfungsi sebagai pusat berita media Group Tempo. Tempo juga mencoba menembus bisnis televisi dengan mendirikan Tempo TV, kerja sama dengan kantor berita radio KBR68H.
Yang juga penting di dalam naungan Kelompok Tempo Media adalah kehadiran percetakan PT Temprint. Percetakan ini mencetak produk-produk Kelompok Tempo dan produk dari luar.
Kontroversi
Perseteruan dengan Polri
Pada bulan Juni 2010, Majalah Tempo menerbitkan edisi 28 Juni-4 Juli 2010 dengan sampul berjudul "Rekening Gendut Perwira Polisi" yang menggambarkan seorang polisi sedang menggiring celengan babi. Edisi ini menceritakan beberapa jenderal polisi yang memiliki rekening berisi uang miliaran rupiah. Polri memprotes sampul tersebut,[6] dan meminta Majalah Tempo meminta maaf.[7]
Pada 8 Juli 2010, kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk berdamai di luar jalur pengadilan. Pertemuan yang dimediasi oleh Dewan Pers dilakukan di Gedung Dewan Pers, di mana pihak Polri diwakili oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang, sementara Tempo diwakili oleh Pemred Tempo, Wahyu Muryadi.[8]
Catatan kaki
Buku
- Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia, Equinox Publishing dan ISEAS, Janet Steele.
Pautan luar