Istilah Wali Negara dalam konteks sejarah Aceh lebih jelas jika dipahamkan kedalam bahasa Inggris yaitu Head of state untuk 'Wali Negara' dan Guardian untuk 'Wali Nanggroe'. Contoh lainnya, kata “Wali Negara” dan “Wali Nanggroe” hampir sama kata namun berbeda maknanya, seperti kata Country dan County dalam bahasa Inggris.[1]
Kata “Wali Nanggroe” dengan kata “Wali Negara” adalah berbeda maknanya. Sebutan “Wali Nanggroe” terlepas dari konteks sejarah Aceh, sehingga kata “Nanggroe” dalam bahasa Aceh bukan terjemahan yang tepat untuk “Negara”, karena kata “Negara” bahasa Acehnya adalah “Neugara”, sedangkan kata “Negeri” dalam bahasa Aceh adalah “Nanggroe” [2]
Sejarah Wali Negara
Dalam Undang-undang Kerajaan Aceh (Qanun Meukuta Alam Al-Asyi) disebutkan kekuasaan Sultan sederajat dengan Malikkul Adil dan Ketua Reusam. Kekuasaan tertinggi ada pada Majelis Parlemen. Majelis inilah yang memberikan hak dan kewajiban serta berkuasa penuh atas adat dan undang-undang. Karena itu, pada 25 Januari1874 mangkat Sultan Mahmud Syah, maka yang tinggal adalah Malikul Adil Teungku Imum Lueng Bata dan Ketua adat Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.
Saat perang sedang berkecamuk di Bandar Aceh, maka seluruh anggota parlemen, ketua adat, Sultan sementara (karena ketika itu Sultan Muhammad Daud Syah baru berumur 11 tahun), Malikul Adil hijrah ke negeri Pedir (Pidie), sebagai bagian dari strategi perang. Setelah tiga hari perjalanan, pada 28 Januari 1874 sampailah di Keumala, negeri Pedir dan parlemen langsung menarik semua kekuasaan adat, undang-undang ke hadapan parlemen. Anggota parlemen pada saat itu adalah Tuanku Raja Keumala, Tuanku Banta Hasyem, dan Teuku Panglima Polem, serta Teungku Chik di Tanoh Abee Syeh Abdulwahab. Pada saat itu Tuanku Raja Keumala di hadapan Majelis bertitah memberikan kekuasaan Kerajaan Aceh kepada Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman pada 28 Januari1874.
Sejak saat itulah secara legitimasi sahlah Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman selaku penanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai Mudabbirul Muluk yaitu Wali Negara Aceh Pertama.
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman memimpin negara Aceh selama 17 tahun dan beliau syahid pada 21 Januari1891. Kemudian kekuasaan dan perjuangan negara Aceh dilanjutkan oleh anak lelakinya yang tua, Teungku Muhammad Amin bin Muhammad Saman yang (syahid 1896, disusul Teungku Abdussalam bin Muhammad Saman Tiro (syahid 1898), Teungku Sulaiman bin Muhammad Saman Tiro (syahid 1902), Teungku Ubaidillah bin Muhammad Saman Tiro (syahid 1905), Teungku Mahyiddin bin Muhammad Saman Tiro (syahid 1910), dan Teungku Mu’az bin Muhammad Amin Tiro (syahid 3 Desember1911).
Perjuangan suku Aceh berlanjut sampai dengan Hindia Belanda berhasil menaklukan Aceh dan membubarkan Kesultanan Aceh. Kemudian setelah 65 tahun (terhitung dari syahid Teungku Mu’az 3 Desember 1911) perjuangan mengalami kevakuman, maka tepat pada 4 Desember1976, Tengku Hasan di Tiro mengumumkan kembali kemerdekaan Aceh sebagai perjuangan lanjutan "Successor of State" kerajaan Aceh dimasa lalu. Dari fakta sejarah, bahwa Wali Negara dimulai dari penunjukan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman sebagai penanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai Mudabbirul Muluk yaitu Wali Negara Aceh yang sah pada 28 Januari1874.[3]
Sebutan Wali Negara juga pernah dialami oleh Teungku Daud Beureueh saat mendirikan gerakan Darul Islam Aceh, yang berlanjut pada pendirian Republik Islam Aceh (RIA), tetapi suksesi Wali Negara setelah beliau almarhum tidak berlanjut. Hampir sama kejadiannya, sejak Tengku Hasan di Tiro wafat, belum ada seorang pun, baik yang berasal dari keturunan keluarga di Tiro maupun bukan, yang mengklaim dirinya sebagai pengganti Wali Negara.
Dalam buku "Acheh - New Birth of Feedom" karya Tengku Hasan di Tiro yang diterbitkan oleh parlemen InggrisHouse of Lords, 1 Mei, 1992, dalam appendix II, nama Tengku Hasan di Tiro termaktub sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke-41 yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada Tengku Hasan di Tiro (1976-2010).[4]
Gelar Wali Negara sifatnya sementara, sampai Aceh bebas (bibeueh) dari cengkeraman jajahan bangsa lain. Bila kelak sudah merdeka dan berdaulat, maka yang bersangkutan akan menyerahkan urusan kenegaraan Aceh kepada rakyatnya sendiri.[5]
Kondisi Aceh modern setelah implementasinya MoU Helsinki membuat Gelar Wali negara yang sebelumnya berdiri sendiri dipindahkan, Namun pemindahan ini tidak serta merta menghapus posisi Wali Negara Aceh, Namun pemindahan itu adalah sebagai bentuk keberlanjutan daerah aceh sebagai daerah yang dapat mengurus daerahnya sendiri dan untuk juga melestarikan adat yang ada di aceh. Secara resmi oleh Pemerintah Indonesia jabatan Wali Negara yang sebelumnya bersifat sementara, kini dijadikan sebagai undang undang dan menjadi Jabatan Tetap sesuai dengan amanat UU Nomor 11 Tahun 2006. Pada Undang undang tersebut, aceh diberikan keistimewaan yang mana salah satunya adalah adanya jabatan Wali negara secara legal formal.
Tanggapan Masyarakat
Dalam dinamika politik, informasi yang diulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari meskipun keliru akan menjadi sebuah kebenaran, meskipun ditoreh sebagai bagian dalam sejarah.[4]
Sejauh ini ada upaya penyimpangan sejarah yang dilakukan oleh beberapa pihak atas dasar kepentingan politik. Hendak menyamakan Wali Negara yang dulu dengan Wali Nanggroe sekarang, para pihak harus meminta izin kepada keluarga sultan yang dulu memberi mandat kepada wali-wali sebelumnya dalam istilah mewakili sebuah entitas bangsa. Dengan tidak adanya pertautan sejarah dengan masa lampau, maka jabatan Wali Nanggroe yang sekarang seharusnya disebut Wali Nanggroe ke-1 (satu). Bukan Wali Nanggroe ke-9 (sembilan). Sebab ini bukan Wali untuk kedaulatan bangsa Aceh. Jadi tidak ada hubungan antara Wali Negara dengan Wali Nanggroe pasca MoU Helsinki lahir yang kedudukan Aceh masih di bawah Indonesia.[5]