Universalisme atau kesemestaan adalah istilah yang mengacu terhadap kerangka-kerangka kefilsafatan mengenai alam semesta (hal-hal apa saja yang diterapkan untuk segala macamnya di alam semesta). Istilah ini menyadur dalil yang banyak tentang seluruh manusia berdasarkan kelengkapan wujudnya. Dari sudut pandang agama, istilah ini yakni sebuah aturan yang berlandaskan kepada kepatuhan semua makhluk kepada kehendak dan perlindungan dari Sang Pencipta serta menandaskan hal-hal yang tak kalah pentingnya yakni dengan mengingatkan bahwa seorang manusia pun bisa saja akan terlenakan hingga Tuhan tidak lagi menghendaki kehadiran manusia tersebut, menolaknya dan melupakannya sepenuhnya.
Dalam keyakinan pokok agama Baha'i, dikatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah mengutus semua tokoh berdirinya agama-agama di penjuru jagat raya sebagai suatu rangkaian tindakan dari istilah yang disebut sebagai wahyu yang berkelanjutan. Sebagaimana hasilnya, beberapa agama yang lebih banyak dianuti kebanyakan manusia lebih cenderung dipandang sebagai asal-muasal suatu keilahian dan upaya untuk mendakwahkan agama-agama yang demikian senantiasa berkesinambungan. Berdasarkan sudut pandang dari agama ini, terdapat perpaduan/ketunggalikaan antar setiap tokoh berdirinya berbagai agama. Namun, wahyu-wahyu yang diturunkan dikemas dalam sekumpulan pengajaran yang kemajuannya lebih ditonjolkan lagi sepanjang sejarah keberadaan manusia dan tak ada satupun yang terkesan berupa penyatuan antar aliran kepercayaan.[1]
Dengan adanya pandangan yang bersemesta ini, kesatuan manusia seluruhnya dijadikan sebagai salah satu inti ajaran aliran kepercayaan Baha'i.[2] Ajaran agama Baha'i menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah menyifatkan secara khusus antar sesama manusia tanpa menghiraukan rumpun bangsa, warna kulit dan agama karena manusia itu diciptakan sesuai masing-masing rupa yang ditentukan oleh Tuhan.[3] Maka dari itu, semua manusia diharuskan menerima kesetaraan perlakuan dan kesempatan karena sudah ditetapkan untuk diciptakan sebagai makhluk yang saling berkedudukan sederajat di mana pun dan kapanpun[2] sehingga agama Baha'i tanpa ragu memasyrakatkan pembinaan rasa kesatuan antar manusia seluruhnya serta sepantasnya berwawasan ke depan yang harus merangkul dunia dan seharusnya semua makhluk ciptaan Tuhan menyayangi segala sesuatu yang ada di seluruh dunia lebih ketimbang sekadar menyayangi dalam arti memiliki rasa berkebangsaan (nasionalisme) terhadap negaranya masing-masing.[3]
Bagaimanapun juga, ajaran Baha'i bukannya menyetarakan antara kesatuan dan keseragaman, melainkan menggadang-gadang semboyan aturan dasar bersatu dalam keanekaragaman (serupa sekaligus setara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika) yang menjunjung tinggi adanya penganekaragamanan hal-hal pada setiap rumpun bangsa manusia.[4] Selain itu, melakukan pengaryaan (operasi/operation) di seluruh dunia dengan bersendikan kebersediaan membantu dalam berbagi sudut pandangan antar manusia dan bangsa di muka bumi ini akan mencapai puncaknya dengan memiliki pandangan dan wawasan berkehadapan yang berpenerapan makarya (importance of practical application) di saat-saat terus bergerak majunya segala hal ihwal keduniaan ke arah depan tanpa henti dan juga menjunjung tinggi keniscayaan/kepastian akan terwujudnya perdamaian dunia.[5]
Agama Kristen
Istilah ini dalam dunia Kristen yaitu memercayai bahwa semua manusia pada akhirnya akan mendapat bagian pada keselamatan oleh YesusKristus.[6][7] Keselamatan yang didapatkan itu adalah anugerah Allah.[7]Bahasa Yunani mengenal istilah ini dengan apocatastasis.[7] Kata ini umumnya dipakai pada masa patristik.[7] Kata ini juga memiliki keterkaitan dengan kata Yunanikatholikos, yang berarti universal.[7] Istilah ini pertama kali muncul di Inggris sekitar abad ke-17, di Eropa dan di Amerika sekitar abad ke-18.[7]
Pada kitab-kitab Perjanjian Baru, Paulus menulis bahwa orang Kristen yang percaya ditentukan dari semula.[6] Dengan kata lain, orang yang diselamatkan itu juga sudah ditentukan.[6] Akan tetapi, Paulus juga menyatakan bahwa bukan hanya bangsa-bangsa lain (bukan Yahudi) yang akan diselamatkan (Roma 11:25), melainkan juga akhirnya seluruh Israel akan diselamatkan (Roma 11:26).[6] Pernyataan ini menjadi pendukung terhadap ajaran Universalisme.[6]
Pertentangan juga dapat ditemukan di dalam Alkitab bagian Perjanjian Baru.[6] Pada Surat 1 Yohanes 5: 12 dan Injil Matius 25:41 menyatakan bahwa salib itu bukan hanya penyataan kasih Allah, melainkan juga sebagai penghukuman atas semua yang tidak menerima kasih.[6]
^ abSmith, Peter (2008). Pengenalan Aliran Kepercayaan Baha'i (An Introduction to Baha'i Faith). Cambridge: Perantara Penyiaran Berita Perguruan Tinggi Cambridge (Cambridge University Press). hlm. 138. ISBN0-521-86251-5.
^Smith, Peter (2008). Pengenalan Aliran Kepercayaan Baha'i (An Introduction to the Baha'i Faith). Cambridge: Perantara Penyiaran Berita Perguruan Tinggi Cambridge (Cambridge University Press). hlm. 139. ISBN0-521-86251-5.
^Smith, Peter (2000). "peace". Pengambilan Inti Sari Lingkup Pengetahuan Mengenai Aliran Kepercayaan Baha'i (A concise encyclopedia of the Bahá'í Faith). Oxford: Oneworld Publications. hlm. 266–267. ISBN1-85168-184-1.