Artikel ini sebagian besar atau seluruhnya berasal dari satu sumber. Tolong bantu untuk memperbaiki artikel ini dengan menambahkan rujukan ke sumber lain yang tepercaya.
Di Bukittinggi, ia meneruskan dakwahnya. Berkat keilmuannya, ia disegani oleh masyarakat Bukittinggi. Hal ini ditandai dengan pemberian sebidang tanah dari pemuka adat setempat untuk dibangun sebuah surau. Surau itu sekaligus menjadi tempat tinggalnya yang populer dengan sebutan Surau Inyiak Syekh Bantam.
Kepopuleran Syekh Bantam membuat masyarakat Bukittinggi sepakat menyematkan namanya pada sebuah jenjang yang berada persis di samping surau. Jenjang itu dibangun pada tahun 1908 sewaktu Louis Constant Westenenk menjabat sebagai Asisten Residen Agam. Selain itu, jalan raya di depan surau juga menggunakan namanya.[1]
Pada 1890, Syekh Bantam menikah dengan gadis Minang Hj. Fatimah asal Nagari Kapa, Pasaman Barat sekarang. Pasangan ini dikaruniai tujuh orang anak yakni H. Waimunah (wafat 27 April 1946), Muhammad Thaher (wafat 19 Februari 1939), Marhamah (wafat 12 Mei 1951), Chuzaini Angku Mudo (wafat 16 Agustus 1985), Munawarah (wafat 1960), Bahar Fakhrudin (wafat 28 September 1961), dan Hj. Sya'arnah (wafat 21 Maret 2000).
Syekh Bantam meninggal dunia dalam usia 80 tahun pada 17 Januari 1927. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Jalan Veteran, Jirek, Bukittinggi.