Dalam rubrik surat pembaca de Preangerbode, tercatat bahwa pada tanggal 15 Oktober 1897 akan dibuka beberapa perhentian (stopplaats) baru di lintas Bandung, yakni Cimindi, Cibodas, dan Ciledug, berdasarkan pengumuman dari Staatsspoorwegen (SS). Stopplaats ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan kereta api lokal bagi kaum Inlanders (pribumi). Menanggapi pembukaan perhentian tersebut, muncul surat pembaca yang termuat dalam de Preangerbode edisi 11 Oktober 1897, bahwa perlu diadakan perhentian tambahan di antara Halte Kiaracondong dan Stasiun Bandung, yang dapat diberi nama Kaca-Kaca Wetan, Cikudapateuh, atau Cihapit, agar warga Kejaksan Ilir, Lengkong, Cianten, dan Cikawas tidak perlu menempuh jarak jauh untuk mencapai Stasiun Bandung. Juga mempertimbangkan penutupan Halte Kiaracondong, karena pada masa itu, halte ini lokasinya lebih jauh dari Bandung dan sedikit penumpang Inlanders yang naik turun di situ.[4]
Staatsspoorwegen (SS) akhirnya memutuskan bahwa nama perhentian yang disetujui adalah Tjikoedah Pateuh (Cikudapateuh). Perhentian ini dibuka bersama dengan Perhentian Gadobangkong, Andir, Rancakendal, dan Haurpugur. Rencana pembukaan perhentian-perhentian tersebut diiklankan di surat kabar de Preanger-bode pada 13 Februari 1899 oleh Eksploitasi Barat Staatsspoorwegen, yang mengumumkan bahwa perhentian-perhentian tersebut mulai beroperasi pada tanggal tanggal 20 Februari 1899.[5]
Catatan perjalanan kereta api yang berangkat dari perhentian ini adalah iklan SS yang termuat dalam de Preangerbode tanggal 2 Agustus 1900, yang memuat informasi perjalanan kereta luar biasa (KLB) untuk kelas 1, 2, dan 3 pada 4–6 Agustus 1900.[6] Karena semakin banyak yang menggunakan kereta api dari perhentian tersebut, SS memutuskan untuk meningkatkan stasiun ini menjadi Halte (setara stasiun kecil) pada tahun 1904.[7] Pada Desember 1907, SS membangun bangunan kecil sebagai ruang tunggu penumpang, hanya karena lonjakan penumpang yang terus meningkat membuat penumpang terpaksa berada di tempat terbuka.[8]
Pada tahun 1918, dilaksanakan proyek pembangunan jalur Bandung–Citeureup–Majalaya serta Citeureup-Banjaran–Pengalengan pada tahun 1921. Untuk jalur yang menuju ke perkebunan teh, maka dibangun jalur Bandung ke Kopo (Soreang) dan kemudian ke Ciwidey. Jalur kereta api yang terwujud adalah Bandung–Ciwidey dan Dayeuhkolot–Majalaya.[9]
Bangunan dan tata letak
Stasiun ini hanya memiliki dua jalur serta tidak mempunyai wesel. Dahulunya, halte ini mempunyai jalur cabang ke Ciwidey, markas kavaleri, dan lain-lain, tetapi kini semua jalur cabang tersebut sudah tidak aktif. Jalur tersebut sebenarnya tidak berawal dari stasiun ini, tetapi dimulai dari sebuah wesel percabangan di petak jalan antara stasiun ini dan Stasiun Kiaracondong.
Ke arah barat, menuju Stasiun Bandung terdapat percabangan nonaktif menuju ke TapiocaFabriek Haji HapLiongKie (Pabrik Tapioka Haji HapLiongKie). Percabangan tersebut diketahui dari peta zaman kolonial Hindia Belanda tahun 1921 yang diterbitkan oleh Leiden University.