Seni jalanan adalah seni rupa yang dibuat di tempat-tempat publik, biasanya karya seni yang dibuat di luar konteks tempat-tempat seni tradisional. Istilah tersebut mulai tenar pada masa ledakan seni grafiti pada awal 1980an dan kemudian diaplikasikan kepada bentuk-bentuk sejenis. Grafiti trensil, seni poster yang ditempel atau seni stiker, dan instalasi jalanan atau pahatan adalah bentuk umum dari seni jalanan modern.
Istilah "seni perkotaan", "seni gerilya", "pasca-grafiti" dan "neo-grafiti" juga terkadang digunakan ketika merujuk kepada karya seni yang dibuat dalam konteks-konteks tersebut.[1] Karya seni grafiti yang dilukis dengan semprotan tradisional sendiri terkadang masuk dalam kategori ini, kecuali grafiti teritorial atau vandalisme murni.
Seni jalanan sedunia
Seni jalanan dapat dijumpai di seluruh dunia. Perkumpulan seniman jalanan dapat ditemui juga di kota-kota besar dan kecil di berbagai negara, yang bergerak dalam medium dan teknik yang beraneka rupa. Seniman jalanan yang tenar juga dapat menggelar pameran di pelbagai belahan dunia untuk menunjukkan karyanya.
Amerika Serikat
New York
New York adalah kota yang menarik bagi banyak seniman jalanan dunia.[2] Di Manhattan, seni jalanan "post-graffiti" tumbuh pada era 1980-an dari daerah SoHo dan Lower East Side yang kala itu masih merupakan lingkungan yang sepi. Daerah seni Chelsea juga menjadi tempat jujukan yang kadang kala juga menyelenggarakan pameran formal karya seni dari seorang seniman jalanan. Sedangkan di Brooklyn, lingkungan Williamsburg dan Dumbo, khususnya yang dekat dengan dekat laut, dikenali sebagai area seni jalanan.[3]
Indonesia
Pada tahun 2000-an, kelompok-kelompok seniman jalanan mulai banyak bermunculan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Jogja. Bomber adalah sebutan untuk para pembuat seni jalanan ini. Mereka lebih banyak berkegiatan pada malam hari untuk menghindari para petugas keamanan.[4]
Surabaya
Pada tahun 2011, Serikat Mural Surabaya didirikan untuk mencegah pergesekan antarkelompok mural di Surabaya. Perserikatan ini kemudian menjamah kepentingan yang lebih luas dengan menyatukan suara para penggiat seni jalanan. Mural kemudian menjadi wahana menyuarakan kritik sosial dan narasi di tempat umum Surabaya. Akan tetapi, sejak diselenggarakannya Preparatory Committee III UN Habitat di Surabaya pada tahun 2016, Pemerintah Kota Surabaya secara aktif menertibkan seni jalanan dengan hanya menyetujui karya-karya yang sehaluan dengan agenda pemerintahan. Karya seni jalanan yang bertentangan dengan itu dilarang oleh pemerintah Kota Surabaya. Beberapa seniman mural pun sempat ditahan Satpol PP Surabaya karena kedapatan sedang membuat karya seni jalanan tanpa izin. Hal tersebut kemudian memicu gerakan Street Art Melawan yang dipelopori oleh Serikat Mural Surabaya.[5]
Referensi
^"Neo-graffiti" is a term coined by Tokion Magazine in the title of its Neo-Graffiti Project 2000, which featured "classic" subway graffiti artists working in new media; others have called this phenomenon "urban art." A discussion by the Wooster Collective on terminology can be found at WoosterCollective.com.
Bou, Louis (2006), NYC BCN: Street Art Revolution, HarperCollins, ISBN 978-0-06-121004-4
Bou, Louis (2005), Street Art: Graffiti, stencils, stickers & logos, Instituto Monsa de ediciones, S.A., ISBN 978-84-96429-11-6
Chaffee, Lyman (1993). Political Protest and Street Art: Popular Tools for Democratization in Hispanic Cultures. Westport, CT: Greenwood Press. ISBN0-313-28808-9.
Rasch, Carsten (2014), Street Art: From around the World – stencil graffiti – wheatpasted poster art – sticker art – Volume I, Hamburg, ISBN 978-3-7386-0931-8
Riggle, Nicholas Alden (2010), "Street Art: The Transfiguration of the Commonplaces," Journal of Aesthetics and Art Criticism, Vol. 68, Issue 3 (248–257).