Sejarah Papua mengacu kepada sejarah bagian barat Pulau PapuaIndonesia dan pulau-pulau kecil lainnya di baratnya. Bagian timur pulau tersebut merupakan Papua Nugini.
Permukiman manusia diperkirakan telah mulai antara 42.000 dan 48.000 tahun yang lalu.[1] Perdagangan antara Pulau Papua dan pulau-pulau Indonesia yang berdekatan terdokumentasi sejak abad ketujuh, dan kekuasaan nusantara di Pulau Papua sampai dengan abad ke-13. Belanda mengklaim wilayah tersebut dan mulai pekerjaan misionaris pada abad kesembilan belas. Wilayah ini dimasukkan ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1960-an. Menyusul mulainya reformasi di seluruh Indonesia tahun 1998, Papua dan provinsi-provinsi di Indonesia lainnya mendapat otonomi daerah yang lebih besar. Pada 2001, status "Otonomi Khusus" diberikan kepada wilayah ini, walaupun sampai saat ini, pelaksanaannya bersifat parsial.[2] Wilayah ini terbagi menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2003.
Sejarah prakolonial Belanda
Permukiman orang Papua di wilayah tersebut diperkirakan telah mulai antara 42.000 dan 48.000 tahun yang lalu.[1]Suku bangsa Austronesia yang bermigrasi melalui Asia Tenggara Maritim mendiaminya beberapa ribu tahun yang lalu. Kelompok-kelompok ini telah mengembangkan beragam budaya dan bahasa di tempat; terdapat lebih dari 300 bahasa dan dua ratus dialek tambahan di wilayah ini.
Pada awal abad ketujuh, Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatra (abad ke-7 hinga abad ke-13) terlibat dalam hubungan dagang dengan Pulau Papua, seperti kayu cendana, burung cenderawasih, dan juga budak sebagai upeti yang kemudian dijual hingga sampai Tiongkok.[3] Kekuasaan kerajaan Majapahit (1293-1527) yang berpusat di Jawa menjangkau hingga pinggiran barat Pulau Papua.[4]Kakawin Majapahit abad ke-14 Nagarakretagama menyebutkan Wwanin atau Onin sebagai salah satu wilayah yang dikenal di timur, saat ini dikenal sebagai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, dan juga Seran yang menurut sejarawan mengacu pada Sran atau Kowiai[5] di Kabupaten Kaimana, keduanya terletak di Semenanjung Bomberai.[6] Onin dan Sran mungkin adalah nama lokal tertua dalam catatan sejarah untuk merujuk kepada bagian barat Pulau Papua.[7]
Interaksi dengan orang Eropa
Selepas Malakadirebut pada tahun 1511, Afonso de Albuquerque mengutus António de Abreu dan Francisco Serrão ke Kepulauan Rempah, nama lain daripada daerah Maluku. Selepas mereka kembali dari sana, mereka dapati catatan soal keberadaan sejumlah masyarakat yang rasnya amat berbeda dengan orang Melayu, setelah mengumpulkan pelbagai catatan peta-peta Jawa dan Melayu, penuturan para saudagar lokal, dan budak-budak yang mereka dapatkan dari jazirah pulau itu. Barulah dari sini, de Abreu menulis peta dengan mengindikasikan suatu pulau di timur Maluku yg dinamai "Papoia". Kemungkinan daerah yang ia tunjuk adalah Halmahera atau malah gugusan Kepulauan Raja Ampat.[8] Pada 13 Juni 1545, Ortiz de Retez, yang memimpin San Juan, meninggalkan pelabuhan di Tidore, sebuah pulau di Hindia Timur dan berlayar hingga mencapai pantai utara Pulau Papua, di mana dia berpetualang sepanjang muara Sungai Mamberamo. Dia merebut kepemilikan daratan tersebut bagi Raja Spanyol, dalam proses yang memberi nama pulau tersebut dengan yang nama dikenal saat ini. Dia menyebutnya Nueva Guinea karena kemiripan penduduk lokal dengan orang-orang di pantai Guinea di Afrika Barat.
Sejarah pascakolonial Belanda
Soekarno (Orde Lama)
Sejak merdeka dari jajahan Belanda pada tahun 1945 di bawah kepemimpinan Sukarno, Indonesia berseteru dengan Belanda dalam mempertahankan Papua Barat dan menghapus keberadaan pemerintah kolonial Belanda di Papua.
Tahun 1962, Belanda setuju untuk melepaskan wilayah administrasi PBB sementara, menandatangani Perjanjian New York, diantaranya memuat ketentuan referendum yang akan diadakan sebelum 1969. PBB memprakarsai referendum ini, yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 untuk menentukan pandangan penduduk lokal untuk masa depan Papua dan Papua Barat, dengan hasil mendukung integrasi Papua Barat ke Indonesia.[9]
Soeharto (Orde Baru)
Pada era Orde Baru dimulai sejak 1965, terjadi sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang melibatkan militer Indonesia. Pada era tersebut pelanggaran HAM tak hanya terjadi di Papua, tetapi juga di Aceh, Papua, Talangsari, Pulau Buru, Tanjung Priok, Kepulauan Maluku, hingga peristiwa Trisakti.[10] Pelanggaran HAM orde baru ini dianggap mencederai harkat dan martabat bangsa Indonesia. Pada tahun 1998, rakyat bergerak secara masif, dipelopori oleh mahasiswa, untuk menjatuhkan rezim militer Suharto.[11]
Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, yang terpilih menjadi presiden keempat Indonesia, mewujudkan wacana diplomasi yang dicetuskan Habibie. Gus Dur melakukan dua langkah penting yaitu mengganti nama Irian Jaya (yang dicetuskan Frans Kaisiepo dan Markus Kaisiepo) menjadi Papua, serta memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora yang disebut Bintang Pagi dibawah bendera Merah Putih. Meski keputusannya banyak ditentang, Gus Dur tidak mempermasalahkan seandainya bendera Bintang Kejora dikibarkan di bawah bendera Merah Putih. Ormas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan Gus Dur menganggap bendera Bintang Kejora karya Nicolaas Jouwe tersebut sebagai umbul-umbul budaya atau spanduk yang dikibarkan dalam berbagai perayaan.[12]
Tak hanya itu, ia juga memberikan ruang bagi kelompok yang menginginkan separatisme Papua dari Indonesia dengan melakukan dialog secara aman. Hal ini sesuai dengan agenda Gus Dur kala ke Papua. Di mana ia ingin bertemu dengan berbagai elemen di Papua dan melihat matahari terbit pertama milenium kedua tanggal 1 Januari 2000 pagi.[13] Melalui pertemuan ini terbentuklah Kongres Rakyat Papua yang didanai pemerintah Indonesia pada Mei-Juni 2000 di GOR Jayapura. Kongres kemudian membentuk komisi-komisi. Hasil dari Komisi Hak Papua kemudian diadopsi oleh tim asistensi Otsus untuk kemudian dijabarkan dan menjadi UU Otonomi Khusus Papua,[14] yang disahkan oleh pemerintahan berikutnya.
Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Mengikuti misi ayahnya dalam mengembangkan orang Papua, Megawati memprakarsai beberapa rencana untuk membangun jalan, jembatan dan infrastruktur keras lainnya.
Kebijakan pemimpin Papua harus Orang Asli Papua (OAP).
Pemberian dana otsus tiap tahun yang mencapai 8,36 triliun (2019).[15]
Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Selama menjabat sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan tiga agenda strategis yaitu rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU ‘Otonomi Khusus Plus’, agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan rencana melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif.[15]
Selama sepuluh tahun masa kepresidenan SBY, SBY masih belum puas dengan kemajuan di Papua.[16] Dia berharap bahwa kepresidenan Jokowi akan terus fokus pada beberapa hal seperti peningkatan kepercayaan publik pada masyarakat akar rumput Papua, kemajuan keamanan di Pegunungan Tengah karena masih terganggu dan pembentukan dialog Jakarta-Papua sangat diperlukan untuk memperkuat kondisi politik di Papua.[17]
Sumbangsih:
Mewajibkan semua perusahaan di Papua untuk mempekerjakan 70% Orang Asli Papua (OAP).
Pemerintahan Joko Widodo memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan SDM sebagai kerangka besar solusi konflik di Papua.[19] Jokowi menerapkan kebijakan BBM satu harga. Jokowi menilai BBM satu harga adalah bentuk “keadilan” bagi warga Papua. Infrastruktur lain yang juga tengah dibangun Jokowi adalah serat optik Palapa Ring. Pada 2020, Jokowi menargetkan internet sudah dapat dinikmati hingga Papua Barat.
Pada kunjungannya ke Papua setelah dinobatkan menjadi presiden periode kedua, Jokowi berjanji akan Jokowi akan segera mengeksekusi pembangunan serta perbaikan jalan dari Kabupaten Arfak menuju Manokwari sepanjang 139 kilometer.[20] Bandara pegunungan, pasar, rumah sakit dan puskesmas Kabupaten Arfak sudah masuk dalam daftar infrastruktur yang akan dibangun Jokowi.[20]
Jokowi beserta rombongan mendarat di Papua pada 26 Oktober 2019. Keesokan harinya, Jokowi mengunjungi Kabupaten Pegunungan Arfak dan Manokwari. Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2019, Jokowi meresmikan Jembatan Youtefa yang menjadi ikon baru Jayapura. Jembatan Youtefa adalah jembatan terpanjang di Papua dengan 1.800 meter dan lebar 17 meter.
Jokowi juga meresmikan Papuan Youth Creative Hub, di Jayapura, Provinsi Papua dengan memberdayakan anak muda untuk menjadikan inovasi, kreativitas dan teknologi alat yang dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat Papua dan di Indonesia.[21]
Referensi
^ abGillespie, Richard (2002). "Dating the First Australians"(PDF). Radiocarbon. 44 (2): 455–72. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2003-07-18. Diakses tanggal 24 May 2010.