Mesin hanya digunakan untuk bermanuver di pelabuhan[1]
Samudra Raksa (Bahasa Jawa kuno: Pelindung samudra)[4] adalah kapal yang dibuat pada tahun 2003 yang dibuat berdasarkan relief kapal di candi Borobudur. Pada akhir abad ke-20, Philip Beale, seorang pelaut Inggris, menjadi tertarik pada penggambaran kapal di Borobudur dan memutuskan untuk merekonstruksinya. Dibantu oleh pemerintah dan badan-badan internasional, ia mengorganisir tim ekspedisi yang membangun kapal dan, dari tahun 2003 hingga 2004, berlayar dari Indonesia ke Madagaskar dan ke Ghana, membuktikan bahwa perdagangan jarak jauh orang Jawa pernah bisa dilakukan. Museum Samudra Raksa dibangun di Taman Arkeologi Borobudur untuk menampung kapal, dibuka pada tahun 2005, dan menyediakan pameran lain untuk menafsirkan sejarah maritim kuno Indonesia.
Deskripsi
Panjang lunasnya adalah 17,29 m dan lambungnya sekitar 19 m (secara keseluruhan) dengan lebar 4,25 m dan tinggi lambung 2,25 m. Dalam sarat air saat berlayar adalah sekitar 1,5 m. Kapal ini didorong oleh dua layar tanja' ("layar persegi panjang yang miring"). Papan lambung dibuat dari bungur (kadang disebut "benteak") dan deknya terbuat dari kayu jati.[5] Rekonstruksi kapal Borobudur tidak dibangun dengan perisai tinggi di haluan dan buritan seperti di relief karena mereka menghalangi pandangan sampai batas yang bertentangan dengan Peraturan untuk Pencegahan Tabrakan di Laut.[6]
Kapal itu diberi nama Lallai Beke Ellau (bahasa Bajo untuk "berlari bersama matahari") oleh pembuatnya.[7] Kapal memiliki 2 buah motor yang terpasang pada sisi-sisinya, fungsinya untuk bermanuver pada saat kapal hendak berangkat atau pada saat kapal kehabisan angin.[2]
Ekspedisi Kapal Borobudur
Bas relief Borobudur diketahui banyak menampilkan adegan kehidupan sehari-hari Jawa Kuno abad ke-8, mulai dari adegan kehidupan bangsawan di keraton hingga rakyat kebanyakan di pedesaan. Menampilkan candi, pasar, arsitektur, satwa dan tumbuhan, perhiasan, pakaian, termasuk kendaraan seperti joli (tandu), kereta kuda, gajah tunggang, dan perahu. Pada tahun 1982, Philip Beale seorang mantan anggota Angkatan Laut Britania Raya berkebangsaan Britania, mengunjungi Borobudur untuk mempelajari perahu tradisional dan tradisi bahari Nusantara. Ia terpikat dengan sepuluh relief di dinding Borobudur yang menggambarkan perahu kuno.[8] Sejak saat itu ia berencana untuk membangun kembali kapal kuno ini dan melakukan napak tilas perjalanan perdagangan bahari purba.[9] Dengan hanya membawa data terbatas — lima gambar relief — Philip Beale berencana untuk menggelar ekspedisi napak tilas pelayaran purba dari Jakarta, Indonesia menuju Madagaskar, dan kalau memungkinkan akan diteruskan hingga melampaui Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika hingga menyusuri pantai barat Afrika.
Penelitian cermat dan perancangan gambar kapal dilakukan oleh kelompok pengrajin galangan kapal tradisional Indonesia yang berpengalaman. Tim ini dibentuk dan dilatih untuk membangun kapal dengan menggunakan teknologi dan teknik perkapalan tradisional. Galangan kapal tradisional ini terletak di Kepulauan Kangean, yang terletak sekitar 60 mil (96,5 km) sebelah utara Bali. Nick Burningham, seorang pakar perahu tradisional Indonesia dan arkeologi kelautan mengawasi dan menjadi konsultan pembuatan kapal ini. Kapal ini dibuat oleh Assad Abdullah al-Madani dan rekan-rekannya,[10] ia adalah seorang pembuat perahu tradisional Indonesia yang berpengalaman, dengan hanya berbekal beberapa gambar dan model skala kecil kapal Borobudur dari kayu balsa yang dibuat Nick Burningham, ia berhasil menciptakan kembali kapal kuno ini. Kapal ini dinamai Samudra Raksa (pembela samudra) dan diresmikan di Pelabuhan Benoa, Bali pada 15 Juli 2003 oleh Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Republik Indonesia I Gede Ardika bersama dengan Philippe Delanghe, Spesialis budaya kantor UNESCO perwakilan Jakarta.
Ekspedisi ini memakan waktu selama 6 bulan sejak Agustus 2003 sampai Februari 2004. Perjalanan dimulai di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada 30 Agustus 2003, diresmikan oleh Presiden Megawati Sukarnoputri, dan tiba di pelabuhan Tema, Accra, Ghana pada 23 Februari 2004. Pelayaran epik ini membuktikan hubungan perdagangan bahari purba antara Indonesia dan Afrika (khususnya pesisir Afrika Timur dan Madagaskar). Jalur perdagangan komoditas kayu manis ini mengambil jalur melintasi Samudra Hindia dan singgah di Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, hingga Ghana.[11]
Kini Kapal Samudra Raksa dipamerkan dan tersimpan di Museum Samudra Raksa, terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah utara candi Agung Borobudur, masih dalam kompleks taman purbakala Borobudur. Museum Kapal Samudra Raksa diresmikan oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Prof. Dr. Alwi Shihab pada tanggal 31 Agustus 2005. Museum ini menjadi tonggak sejarah untuk mengenang dan menghargai seluruh kru dan semua pihak yang berjasa dalam keberhasilan Ekspedisi Kapal Borobudur.
Pada perangko
Kapal ini telah digambarkan pada perangko: Salah satunya menggambarkan relief di candi Borobudur, dan satunya lagi untuk mengenang ekspedisi kapal Borobudur tahun 2003–2004.
^Untuk arti samudra dan rakṣa, lihat Zoetmulder, P. J. (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. hlm. 1492 dan 1644. ISBN9024761786.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Burningham, Nick (2019). "Chapter 6: Shipping of the Indian Ocean World". Dalam Schottenhammer, Angela. Early Global Interconnectivity across the Indian Ocean World, Volume II: Exchange of Ideas, Religions, and Technologies. Cham: Palgrave Macmillan. hlm. 141–201.
Pareanom, Yusi Avianto (2005). Jalur Kayu Manis, Ekspedisi Kapal Samudraraksa Borobudur. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.