SS Tjisalak

SS Tjisalak
Sejarah
Pemilik Java-China-Japan Lijn
Diluncurkan 1917
Nasib Ditenggelamkan pada tahun 1944
Ciri-ciri umum
Tonase 5.787 ton

SS Tjisalak adalah kapal barang Belanda berbobot 5.787 ton yang dibangun tahun 1917 untuk Java-China-Japan Lijn dipakai oleh Sekutu untuk mengirim persediaan antara Australia dan Ceylon selama Perang Dunia II. Pada tanggal 26 Maret 1944, kapal ini tenggelam akibat torpedo yang ditembakkan kapal selam Jepang I-8. Awak Tjisalak langsung dibantai dan menjadi salah satu peristiwa kejahatan perang laut terkenal sepanjang masa.

Penenggelaman

Tjisalak sedang berlayar dari Melbourne dan Colombo dengan muatan tepung dan surat.[1] 80 orang awaknya terdiri dari pelaut dagang Belanda, Cina, dan Inggris, dibantu 10 prajurit Angkatan Laut Kerajaan yang bertugas mengendalikan meriam kapal. Lima penumpang (termasuk perawat Palang Merah Amerika Serikat, Mrs. Verna Gorden-Britten) dan 22 pelaut Laskar juga ikut menumpang ke India setelah kapal mereka tenggelam. Tjisalak telah berlayar selama 19 hari sampai sang kapten menerima pesan nirkabel mendadak dari Perth. Pesan tersebut membuatnya bingung dan ia memutuskan mengubah jalur pelayarannya dengan kecepatan 10 knot (19 km/h; 12 mph) demi menghemat bahan bakar. Pada pukul 05:45 tanggal 26 Maret 1944, Tjisalak dihantam oleh sebuah torpedo yang berasal dari I-8.[2]

Seorang penumpang, Letnan Dawson dari Australia, tewas di tempat, dan kapal pun mulai miring ke kiri. Semua awak dan penumpang diperintahkan segera meninggalkan kapal. Sebagian besar awak menaiki sekoci dan rakit kapal, namun prajurit Britania dan operator meriam Belanda, perwira kedua Jan Dekker, bertahan di atas kapal untuk menunggu munculnya kapal selam Jepang dan menembaknya. I-8 membalas dengan senjata deknya sehingga awak Tjisalak terpaksa meninggalkan kapal.

Pembantaian

105 penyintas diangkat oleh tentara Jepang dan dikumpulkan di dek I-8. Kapten Hen diperintahkan naik ke menara kapal selam untuk menemui komandan Jepang Tatsunosuke Ariizumi. Para penyintas melaporkan bahwa Hen sempat berkata "No, no, I don't know." Saat itu pula, seorang pelaut Cina terpeleset jatuh ke laut dan langsung ditembak.

Tentara Jepang kemudian mengikat para penyintas secara berpasang-pasangan dan mengawal mereka ke bagian ekor kapal selam, lalu menyerang mereka dengan berbagai macam senjata. Empat orang lompat atau terpeleset dari kapal selam saat diserang. Mereka berhasil menyelamatkan diri dari tembakan membabi-buta tentara Jepang yang duduk di belakang menara kapal. Empat orang tersebut adalah Kepala Perwira Frits de Jong, Wakil Perwira Jan Dekker, Operator Nirkabel Kedua James Blears, dan Teknisi Ketiga Cees Spuybroek. Seorang anggota Laskar bernama Dhange juga selamat dari pembantaian tersebut.

Setelah menyisakan 20 orang, tentara Jepang mengikat mereka dengan tali panjang dan mendorong mereka dari atas kapal supaya tenggelam. Dhange, orang paling belakang di barisan tali ini, berhasil membebaskan diri sebelum tenggelam.[3]

Penyintas

Para penyintas berenang beberapa kilometer melintasi laut terbuka ke lokasi tenggelamnya Tjisalak. Mereka menemukan rakit kosong di sana. Tiga hari kemudian, mereka melihat sebuah kapal dari jauh yang perlahan mendekati mereka. Kapal tersebut merupakan kapal Liberty SS James O. Wilder asal Amerika Serikat. Setelah sempat keliru menembak, SS James O. Wilder menyelamatkan para penyintas dan membawa mereka ke Colombo.

Karena menyandang status pelaut dagang, para penyintas Tjisalak tidak berhak mendapatkan perawatan di rumah sakit militer maupun rumah sakit sipil Britania. Mereka harus membayar sendiri perawatannya.

Pasca-peristiwa

Awak I-8 juga melakukan kekerasan serupa terhadap awak kapal Liberty SS Jean Nicolet dan mungkin kapal-kapal lain yang tidak menyisakan korban selamat. Kapten Ariizumi bunuh diri setelah Jepang menyerahkan diri pada Agustus 1945. Tiga awak lainnya dilacak dan ditangkap karena ikut serta dalam pembantaian ini. Dua orang dijatuhi hukuman penjara yang masa tahanannya diringankan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1955. Satu orang lagi diberi kekebalan karena bersedia bersaksi melawan rekan-rekannya.

Referensi

  1. ^ Ben-Yehuda, Nachman (15 July 2013). Atrocity, Deviance, and Submarine Warfare: Norms and Practices During the World Wars. University of Michigan Press. hlm. 1. ISBN 978-0-472-11889-2. 
  2. ^ Watt, Donald Cameron (1985). The Tokyo war crimes trial: index and guide. Garland. ISBN 978-0-8240-4774-0. 
  3. ^ Edwards, Bernard (1991). Blood and Bushido: Japanese Atrocities at Sea 1941-1945. Upton-upon-Severn, Worcestershire: The Self-Publishing Association, Ltd. ISBN 1-85421-134-X. 

Pranala luar

2°30′S 78°40′E / 2.500°S 78.667°E / -2.500; 78.667