Raden Santri atau Sayyid Ali Murtadho merupakan Ulama' penyebar agama Islam di Jawa, Madura dan NTB.
Beliau adalah Putra dari Ibrahim As-Samarqandy dengan Dewi Candrawulan dan juga kakak dari Sunan Ampel.[1]
Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya dan sebagai tokoh panutan, Beliau diberi gelar Raja Pendito Wunut. Gelar tersebut merupakan anugrah rahasia yang diberikan oleh raja Majapahit untuk penguasa yang beragama Islam.
Raden Santri juga disebut sebagai Sunan Lembayung oleh masyarakat Madura, karena beliau berkeliling dakwah di daerah Madura. Sedangkan Nusa tenggara sampai dengan Bima menjuluki Raden Santri sebagai Raja Pandhita Bima.
Riwayat
Sayyid Ali Murtadho datang ke Jawa bersama ayahnya bernama Syekh Ibrahim Asmaraqandi untuk menyebarkan agama Islam. Sekaligus silaturahmi ke bibinya, Dewi Dwarawati yang menjadi istri Prabu Kertabhumi.
Kapal Raden Santri beserta rombongan tiba di sebelah timur Bandar Tuban, yang disebut Gisik (sekarang bernama Gesikharjo).
Pendaratan di Gisik dilakukan sebagai salah satu bentuk kehati-hatian, dikarenakan Tuban pada saat itu menjadi Pelabuhan Internasional Majapahit.[2] Dengan cara mendarat di tempat yang tidak terlalu ramai ini, Syekh Ibrahim As-Samarqandi memulai dakwahnya.
Tidak lama setelah sampai di Tuban ayahanda Raden Santri menderita sakit kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di daerah pesisir Gesikharjo, Palang, Tuban. Setelah kematian ayahandanya Raden Santri dan Sunan Ampel didampingi oleh Abu Hurairah (Raden Burereh) menuju ke Ibukota Majapahit.
Selama setahun di Majapahit, beliau hendak balik ke Champa tapi negeri tesebut sudah hancur dan dikuasai raja Pelbegu dari kerajaan Koci. Berkat saran raja Kertabhumi, Raden Santri disuruh menetap di Gresik.[3]
Menurut Drs. H. Muhammad Kholil dalam buku “PUNJER WALI SONGO” tahun 1403 disebutkan Raden Santri
mendarat di Gresik. Beliau
melanjutkan perjalanan karena
mendapat tugas mensyiarkan Islam
wilayah Madura, Bali, lombok dan
Nusa Tenggara.
Di Madura, Sayyid Ali Murtadho
merupakan penyebar Agama Islam di Pulau Sapudi. Ia datang ke Pulau Sapudi sekitar 1400-an didampingi Puteranya bernama pangeran Pulang Jiwo.
Pulang Jiwo atau yang dikenal dengan sebutan Panembahan Blingi adalah ayah dari Adi Rasa dan
Adi Poday. “Ini Terbukti dengan
ditemukannya sebuah prasasti di
Masjid lama yang ada di Dusun
Koattas” Kata Embah Tahe selaku
tokoh sesepuh Sapudi.
Prasasti yang dimaksud berukuran 49,5 cm, lebar 34,5 cm dan tebal 8 cm ditemukan pada tahun 1988, di
Dusun Koattas, Desa Gendang Timur Kecamatan Gayam di bawah mihrab Masjid yang tertua di Pulau Sapudi. Tulisan yang ada
pada prasasti ini terdiri atas 16
baris memakai huruf Arab dan
Bahasa Jawa, yang berisi silsilah
para pendiri bangunan Masjid.
Kedatangan Sayyid Ali Murtadho
ke Pulau Sapudi untuk
menyempurnakan Agama Islam,
sebab sebelum Kedatangan Sayyid
Ali Murtadho, Islam waktu itu
hanya sebatas keyakinan semata,
belum mengenal tata cara bersuci,
Sholat dan semacamnya. Meski
saat itu Masyarakat mayoritas
masih menganut Agama Hindu. Di
pulau ini beliau memiliki murid
bernama Dewi Ratna Sarini atau
Panembahan Johar Sari, ibunda
dari Potre Koneng.
Setelah memiliki pengganti
yang menjalankan dakwah di
Pulau Sapudi, Sayyid Ali
Murtadho kembali ke Gresik untuk
mengantikan posisi Sunan
Maulana Malik Ibrahim. sementara
yang menggantikannya dalam
menyebarkan Islam di Pulau
Sapudi adalah Puteranya
Panembahan Blingi atau lebih di
kenal dengan Sunan Wirokromo.
Pulau Sapudi, hingga kini akrab
disebut Poday, karena dinisbatkan
kepada putra Panembahan Blingi,
Adi Poday, yang terletak di bagian
timur Kabupaten Sumenep, Madura dengan pembagian wilayah dua Kecamatan; Gayam dan Nonggunung.
Kemudian sekitar abad ke 15, di Madura terdapat penyiar agama Islam yang di utus oleh Raden Paku atau Sunan Giri.[4]
Mereka adalah dua orang santrinya
yang keturunan arab yang bernama
Sayyid Yusuf al-Anggawi untuk
daerah Madura bagian timur,
Sumenep dan Sayyid Abdul Mannan al-Anggawi untuk Madura bagian barat (Pamekasan, Sampang dan Bangkalan).[5][6]
Pernikahan
Raden Santri memiliki dua istri, yang pertama adalah Rara Siti Taltun dan kemudian menikah lagi dengan Dyah Retno Maningjum binti Arya Tejo.
Dari pernikahan dengan Rara Siti Taltun atau RA. Madu Retno binti Aryo Baribin Raden Santri memiliki 4 orang anak, yaitu :
1.Utsman Haji, menikah dengan Siti Syari'ah, dari pernikahan tersebut lahirlah Sunan Paddusan.
2. Haji Utsman, menikah dengan NYI Ageng Tandes dan memiliki anak yang bernama Amir Hasan (Sunan Manyuran).
3. Nyai Gede Tondo, menikah dengan Khalifah Husein (Sunan Mertayasa) dan memiliki anak yaitu : Syarif Sabil dan Kholifah Suhuroh
4. Ali Musytar ( Panembahan Blingi ) yang memiliki dua putra yaitu : Adi Rasa dan Adi Poday[1]
Pemakaman
Raden Santri wafat pada tahun 1317 saka/1449 M 15 Muharram abad ke-8 Hijriah.
Makam Beliau terletak sekitar 100 m sebelah utara alun-alun kota Gresik, tepatnya di jalan Raden Santri, Kelurahan Bedilan, Gresik.
Tepat di samping pusara Raden Santri terdapat pusara murid kesayangan Beliau, yaitu Sayyid Hasan.
Haul Beliau sering diperingati oleh masyarakat Gresik pada tanggal 15 Muharram.
Kutipan
Referensi
- Serat Walisana (Babad Para Wali), Karya Sunan Dalem. Diterjemahkan oleh Ki Tarka Sutarahardja. Penyadur R. Tanojo. Editor Naqobah Ansab Awliya’ Tis’ah (NAAT). Cetakan Pertama 2020. ISBN : 978-623-7817-04-8. Penerbit : Yudharta Press Pasuruan 2020.