Pramodawardhani (juga dikenal sebagai Çrī Sanjiwana) adalah putri mahkota Wangsa Sailendra yang menjadi permaisuri Rakai Pikatan, raja ke-7 Kerajaan Medang.[1]
Peresmian Borobudur
Nama Pramodawardhani ditemukan dalam prasasti Kayumwungan tanggal 26 Maret 824 sebagai putri Maharaja Samaratungga. Menurut prasasti itu, ia meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Bangunan ini umumnya ditafsirkan sebagai Candi Borobudur.
Pernikahan dengan Rakai Pikatan
Berdasarkan Prasasti Wantil, diketahui bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan menikah dengan seorang putri beragama lain.
Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana, sementara Rakai Pikatan sendiri memeluk agama Hindu Siwa.
Pramodawardhani adalah putri Samaratungga yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun 824.
Naskah Wangsakerta juga menjelaskan bahwa Dari pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani dikaruniai Putra bernama Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (Prasasti Wantil) dan Putri bernama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu (Prasasti Plaosan).
Berkat jasanya dalam menumpas musuh negara bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni, Rakai Kayuwangi pun bisa menjadi raja sesudah Rakai Pikatan.
Pengangkatan Rakai Kayuwangi, seorang putra bungsu, menjadi raja tersebut kelak menimbulkan kecemburuan di hati Rakai Gurunwangi, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan tahun 887.
Hubungan dengan Balaputradewa
Balaputradewa adalah raja Kerajaan Sriwijaya putra Samaragrawira. Prof. N.J. Krom menganggap Samaragrawira identik dengan Samaratungga, sehingga Balaputradewa secara otomatis dianggap sebagai saudara Pramodawardhani.
Dr. De Casparis kemudian menyusun teori bahwa telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga, antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Akhirnya Balaputradewa dikalahkan Rakai Pikatan suami Pramodawardhani. Ia kemudian menyingkir ke Pulau Sumatra dan menjadi raja Kerajaan Sriwijaya.
Teori De Casparis tersebut berpedoman pada prasasti Wantil tahun 856 yang menyebutkan adanya peperangan antara Rakai Pikatan melawan seorang musuh yang bersembunyi dalam benteng timbunan batu. Pada prasasti Wantil ditemukan istilah Walaputra yang ditafsirkan sebagai nama lain Balaputradewa.
(Pendapat Casparis telah terbantahkan dengan penemuan prasasti Wukiran dan Tafsir ulang prasasti Wantil Menurut Prof. Boechari)
Sementara itu Prof. Slamet Muljana berpendapat bahwa Balaputradewa bukan saudara Pramodawardhani. Pendapat ini berpedoman pada prasasti Kayumwungan yang menyebut Samaratungga hanya memiliki seorang anak perempuan (yaitu Pramodawardhani). Menurut Slamet Muljana, Balaputradewa lebih tepat sebagai adik Samaratungga, dan keduanya merupakan putra dari Samaragrawira. Dengan kata lain, Pramodawardhani merupakan keponakan Balaputradewa.
(Pendapat Slamet Muljana telah terbantahkan oleh Naskah Wangsakerta karya Pangeran Wangsakerta)
Benteng timbunan batu yang menjadi markas Balaputradewa identik dengan Situs Ratu Boko. Drs. Boechari menemukan beberapa prasasti di sekitar situs tersebut, namun bukan atas nama Balaputradewa, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri kerajaan (yaitu Sanjaya).
Boechari berpendapat bahwa, musuh Rakai Pikatan bukan Balaputradewa, melainkan Rakai Walaing. Istilah Walaputra dalam prasasti Wantil menurutnya bukan bermakna Balaputradewa, melainkan bermakna “anak bungsu”, yaitu julukan untuk Rakai Kayuwangi selaku pahlawan penumpas Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni.
Bukti lain menunjukkan adanya kerusakan pada sebagian prasasti yang mencatat urutan silsilah Rakai Walaing. Kerusakan ini seolah sengaja dilakukan oleh Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya yang bersaing memperebutkan takhta Medang.
Dengan demikian, teori yang menyatakan terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu Balaputradewa mungkin keliru. Karena Balaputradewa mewarisi tahta Sriwijaya dari Ibunya, sedangkan alasan ia memindahkan ibukota Sriwijaya ke Sumatera kemungkinan besar untuk menjaga stabilitas politik agar tetap kondusif.
Kutipan
- ^ Hudiono, Esthi Susanti; Bodjawati, Seruni (2019). Perempuan-Perempuan Menggugat (Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonésia). Yogyakarta: Media Pressindo bekerjasama dengan Komunitas Inklusi Sosial dan Perdamaian Indonésia. hlm. 1–3. ISBN 978-623-7254-10-2.
Referensi
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS