Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak adalah judul buku kumpulan puisi karya Zeffry Alkatiri yang diterbitkan pada tahun 2012 oleh Penerbit Padasan. Buku setebal 186 halaman dengan ISBN 978-602-19-2802-8, ini mengantarkan Zeffry memenangi Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori puisi, pada tahun 2012. Penghargaan serupa, tahun itu, juga diberikan kepada Okky Madasari melalui karyanya, Maryam, untuk kategori Fiksi. Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak mengangkat tema tentang perjalanan sejarah Indonesia sejak era kolonoialisme yang ditandai dengan berlabuhnya kapal–kapal asing ke Nusantara sampai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini.[1][2][3][4][5]
Latar belakang
Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, terdapat dua puluh satu sajak yang menuturkan tentang perjalanan sejarah Indonesia sejak era kolonoialisme yang ditandai dengan berlabuhnya kapal–kapal asing ke Nusantara sampai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Salah satu sajak yang menarik pada bagian pertama ini adalah Kami hanya menonton: Pengakuan si Midun, si Amat, dan si Inah. Puisi tersebut mampu menggambarkan perjalanan sejarah rakyat Indonesia dari zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, perjuangan untuk kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi hingga era sekarang yang diwarnai dengan korupsi dan ketidakpastian hukum.
Pada bagian ke-dua, sembilan puluh enam sajak, Zeffry mencoba membeberkan fakta-fakta sejarah dunia sejak zaman nabi Isa hadir di bumi, Revolusi Prancis, penjatuhan bom atom di Jepang yang mengubah sejarah Perang Pasifik sampai dengan chaos atas nama demokrasi yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya pada tahun 2011. Dalam setiap puisi di bagian ini, Zeffry mengkritisi penggalan peristiwa sejarah yang menjadi icon pada masing-masing zaman dengan tulisan satir dan terkadang ironis.
Gaya penulisan yang digunakan oleh Zeffry lebih kepada aliran realis dibanding surealis. Zeffry memilih menuliskan ide-idenya dalam bentuk sajak lugas, tajam dan langsung ke esensi pesan yang ingin disampaikan daripada menghadirkan multitafsir bagi pembaca dengan bahasa yang menerawang atau bahkan menjebak pembaca dalam ketidakjelasan makna.
Buku ini menawarkan cara yang berbeda dalam melihat ataupun mengkritisi suatu peristiwa bersejarah, yaitu melalui kacamata sajak. Di lain pihak akan relatif lebih sulit bagi pembaca yang tidak mengikuti perkembangan sejarah baik sejarah Indonesia maupun dunia untuk memahami makna setiap sajak yang tersaji dalam buku ini. Demikian pula penggunaan istilah asing dalam beberapa sajaknya cukup merangsang kengintahuan pembaca kritis untuk mencari makna dari setiap istilah asing yang digunakan. Namun di sisi lain akan mengaburkan inti makna yang ingin disampaikan bila pembaca tidak punya “cukup waktu” mencari arti dari istilah-istilah asing itu.
Lihat pula
Referensi