Masjid ini dibangun pertama kali pada 1556 oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama dari Kesultanan Banten.[4]:114 Ia adalah putra pertama dari Sunan Gunung Jati. Setiap harinya masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang datang tidak hanya dari Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat saja, tetapi juga dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Masjid ini dikenali dari bentuk menaranya yang sangat mirip dengan bentuk sebuah bangunan mercusuar.
Sejarah dan arsitektur
Masjid Agung Banten menampilkan desain eklektik, bukti pengaruh internasional di Banten pada saat pembangunannya pada tahun 1552. Masjid ini dibangun dengan gaya arsitektur Jawa pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf–Sultan ketiga Kesultanan Banten–pada tahun 1556.[1]:164
Sebuah pawestren (aula samping masjid yang digunakan untuk musala perempuan) bergaya Jawa ditambahkan pada masa pemerintahan Maulana Muhammad (1580-1586). Serambi sebelah selatan masjid diubah menjadi makam berisi sekitar 15 kuburan.[5]
Pada tahun 1632, minaret setinggi 24 meter ditambahkan ke kompleks masjid.[1]:164 Minaret ini dirancang oleh seorang Tionghoa bernama Cek-ban-cut.[6] Sekitar periode yang sama tiyamah[7] dua lantai bergaya Belanda ditambahkan ke masjid mengikuti desain Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang warga Belanda yang masuk Islam.[5]
Elemen desain masjid ini memiliki pengaruh agama dan budaya dari Islam, Hindu, Buddha, Tiongkok, dan Belanda. Budaya-budaya tersebut tidak hanya memaksakan nilai dan gayanya pada arsitektur masjid, tetapi juga berbaur dengan baik dengan budaya Jawa di Indonesia. Misalnya, ada perpaduan unsur arsitektur Hindu dan Jawa yang terdiri dari konstruksi bata Belanda.
Cardeel menggabungkan fitur arsitektur BaroqueEropa awal dalam desain masjidnya, yang terutama dapat dilihat pada minaret, bangunan tiyamah, dan dinding masjid.[8] Hal inilah yang membedakan Masjid Agung Banten dengan masjid tradisional lainnya di Indonesia, karena terdapat perpaduan budaya yang berbeda yang tertanam dalam desain dan elemen arsitekturalnya.
Selama berdirinya hingga tahun 1987, Masjid Agung Banten telah mengalami delapan kali pemugaran. Pada tahun 1923, dilaksanakan pemugaran oleh Dinas Purbakala dan tahun 1930 dilakukan penggantian tiang-tiang kayu yang rapuh. Tahun 1945, Tubagus Chotib selaku Residen Banten bersama masyarakat melaksanakan perbaikan atap cungkup penghubung di kompleks pemakaman utara. Pemugaran menara masjid selanjutnya dilakukan tahun 1966/1967 oleh Dinas Purbakala. Lalu Korem 064 Maulana Yusuf memperbaiki bagian eternit langit-langit pada tahun 1969. Serambi bagian timur dipugar pada tahun 1970 dengan dana dari Yayasan Kur'an. Pertamina juga pernah berkontribusi memugar bagian-bagian tertentu dari kompleks masjid. Penggantian serambi utara dan penggantian cungkup makam Sultan Hasanuddin dengan marmer dilakukan tahun 1987.[4]:114
^Jo Santoso (1998). Gunawan Tjahjono, ed. Cities of the Pesisir. Indonesian Heritage. 9. Singapore: Archipelago Press. ISBN9813018585.
^ abSugiyanti, dkk. (1999). Masjid Kuno Indonesia(PDF). Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat. hlm. v+227. ISBN979-8250-16-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abBranti (2015). "Keistimewaan Masjid Agung Banten". Kebudayaan Indonesia. Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia (15 Juli 2015). Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Oktober 2016. Diakses tanggal 5 Oktober 2016.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Banten abounds in arceological treasures". the Jakarta Post - Life. Jakarta. July 10, 1999. Diarsipkan dari versi asli tanggal February 4, 2013. Diakses tanggal October 5, 2016.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^bangunan tambahan, biasanya untuk tempat bermusyawarah