Majelis Parlementer Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNPA) adalah usulan organ tambahan untuk Sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memungkinkan partisipasi anggota legislatif negara anggota dan pemilihan umum langsung anggota parlemenPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) oleh masyarakat dunia. Ide ini diangkat pada rapat pendirian Liga Bangsa-Bangsa tahun 1920-an dan rapat menjelang akhir Perang Dunia II tahun 1945, namun terkubur sepanjang Perang Dingin. Pada tahun 1990-an dan 2000-an, seiring meningkatnya aktivitas perdagangan global dan kekuatan organisasi dunia yang mengaturnya, muncul berbagai usulan pembentukan majelis parlementer untuk mengatur aktivitas organisasi tersebut.[1]Campaign for the Establishment of a United Nations Parliamentary Assembly dibentuk tahun 2007 untuk mengoordinasikan aktivitas pro-UNPA. Pada Juli 2013, kampanye ini didukung oleh lebih dari 800 anggota parlemen dari +100 negara di seluruh dunia dan disambut oleh lebih dari 5.000 orang.[2]
Para pendukung UNPA telah memaparkan sejumlah rencana aksi UNPA, termasuk perumusan perjanjian baru; penetapan UNPA sebagai badan di bawah Majelis Umum PBB; dan pembentukan UNPA melalui Inter-Parliamentary Union atau organisasi nonpemerintah lainnya. Sejumlah usulan penyebaran bobot suara telah dibahas untuk mengatasi kesenjangan populasi dan kekuatan ekonomi negara anggota PBB. CEUNPA awalnya mengusulkan agar UNPA diberikan hak memberi nasihat dan perlahan memperluas kekuasaannya di sistem PBB. Para penentang UNPA berpendapat bahwa proyek ini sebaiknya dibatalkan karena masalah pendanaan, kehadiran pemilih yang tidak tentu, dan tidak demokratisnya sejumlah negara anggota PBB.
*Karena status "Setengah bebas". **Karena status "Tidak bebas".
Majelis parlementer global dapat disusun sedemikian rupa sehingga negara yang penduduknya banyak punya pengaruh yang lebih besar pula. Aturan satu negara, satu suara yang dipakai Majelis Umum PBB memberi negara-negara kecil pengaruh yang sama terhadap sistem PBB. Dalam Entitlement quotients as a vehicle for United Nations reform, dosen emeritus University of MinnesotaJoseph E. Schwartzberg menulis, "Enam puluh empat anggota yang penduduknya paling sedikit–cukup untuk memblokir suara mayoritas sebesar dua per tiga–dihuni oleh kurang dari satu persen total populasi dunia, dan berdasarkan teori ini, 127 anggota yang penduduknya paling sedikit, kira-kira delapan persen umat manusia, bisa menghasilkan suara mayoritas dua per tiga yang dibutuhkan untuk meloloskan sebuah resolusi."[3] Ia melanjutkan pemikirannya dalam esai berjudul Overcoming Practical Difficulties in Creating a World Parliamentary Assembly:[4]
perbedaan populasi antar anggota PBB sesungguhnya jauh lebih besar daripada [perbedaan populasi] wilayah administratif yang diwakili badan legislatif di suatu negara, lantas pembentukan lembaga yang mirip Senat Amerika Serikat menjadi tidak praktis. Agar bisa dipahami lebih baik, contohlah California, negara bagian terpadat di Amerika Serikat, yang penduduknya 69 kali lebih banyak daripada Wyoming, negara bagian terjarang di Amerika Serikat. [Republik Rakyat Cina], anggota terpadat di PBB, penduduknya 100.000 kali lebih banyak daripada Nauru atau Tuvalu, dua anggota terjarang di PBB (masing-masing dihuni kurang lebih 10.000 penduduk). Meski California memiliki 52 kursi dan Wyoming 1 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, keduanya memiliki 2 kursi di Senat. Namun siapa yang mau sepakat seandainya Nauru dianggap memiliki hak yang sama ... seperti Cina?
Ada beberapa usulan alternatif pembagian bobot suara negara anggota:
Rumus pemungutan suara berbobot Schwartzberg mempertimbangkan populasi (prinsip demokratis/demografi), sumbangan anggaran PBB (prinsip ekonomi), dan porsi keanggotaan total. Pertimbangan bobot suara menurut sumbangan masing-masing terhadap organisasi bukan hal baru; Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan lembaga Bretton Woods juga menggunakan metode ini.[5]
Menurut metode satu orang, satu suara, jumlah suara di setiap negara sejalan dengan jumlah penduduknya. Ini sama seperti model perwakilan negara bagian Amerika Serikat di DPR Amerika Serikat. Dalam The Future of Sovereignty - Rethinking a Key Concept of International Relations, Hasenclever et al. menyebutkan keuntungan dan kerugian sistem ini: "Menurut demokrasi yang menganggap individu sebagai subjek, setiap suara harus memiliki bobot yang sama. Belum ada usulan yang mendukung metode ketat ini, karena kesenjangan bobot suara antarnegara akan menjadi sangat ekstrem dengan empat negara saja - Cina, India, Amerika Serikat, dan bekas USSR - yang membentuk suara mayoritas absolut."[7] Cara menyelesaikan perbedaan populasi antarnegara ini adalah membagi perwakilannya ke tingkat kawasan, bukan negara. Pembagian semacam ini akan menempatkan Suriname dan Brasil, negara terjarang dan terpadat di Amerika Selatan, dalam satu blok suara Amerika Selatan yang mencakup kurang lebih 400 juta orang sehingga mempertahankan sistem satu orang, satu suara sekaligus menghapus perbedaan jumlah penduduk yang ekstrem. Pendekatan ini bergantung pada pejabat terpilih yang dipercaya untuk mewakili kawasan tersebut, bukan negara asalnya, dan bisa saja mengabaikan sejumlah negara berpenduduk sedikit tanpa perwakilan apabila mereka dikalahkan oleh negara yang lebih padat di kawasan mereka atau apabila rakyat di negara berpenduduk sedikit ramai-ramai memilih calon atau partai politik dari negara lain.
Lihat pula
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
^Schwartzberg, Joseph E. (May 2003). Overcoming Practical Difficulties in Creating a World Parliamentary Assembly. A Reader on Second Assembly & Parliamentary Proposals (PDF). Mendlovitz, Saul H. & Walker, Barbara. (Ed.) Center for UN Reform Education. Retrieved 7 December 2007. Diarsipkan 20071201140454 di www.uno-komitee.de Galat: URL arsip tidak dikenal