Jalur SJS di Kota Semarang beroperasi sejauh 12 km tahun 1882-1883 yakni rute Pendrikan-Jurnatan, Jurnatan-Jomblang, Jurnatan-Bulu, serta Jurnatan-Pelabuhan Semarang. Sementara itu, jalur OJS di Kota Surabaya beroperasi sejauh 47 km pada tahun 1889-1920 yakni rute Ujung-Benteng-Surabaya Kota-Simpang-Wonokromo, Surabaya Pasar Turi-Pelabuhan Tanjung Perak serta jalur Wonokromo-Sepanjang-Krian.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan trem, maka SJS dan OJS membeli 45 unit lokomotif B 12 dengan perincian: 29 unit dari pabrik Beyer Peacock, Inggris, 13 unit dari Werkspoor, Belanda, serta 3 unit B 12 dirakit dari komponen cadangan B 12 di Balai Yasa Groedo, Surabaya.[1]
Pada masa itu, trem menjadi primadona bagi masyarakat. Kehadiran trem uap yang dinantikan masyarakat telah menggantikan pedati ataupun kereta kuda. Trem menjadi favorit karena waktu tempuhnya yang cepat sehingga banyak dimanfaatkan sebagai transportasi dalam kota.
B 12 memiliki susunan roda 0-4-0TR dan memiliki silinder berdimensi 340 × 370 mm pada sisi luarnya. Roda penggerak berdiameter 850 mm, bahan bakar kayu jati, berat 21 ton, dan sanggup melaju hingga 25 km/jam.
Trem Semarang dan Surabaya akhirnya ditutup masing-masing tahun 1975 dan 1978, berikut jalur, stasiun, dan seluruh layanannya karena kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum. Saat ini tersisa B 12 39 yang dipajang di Stasiun Surabaya Pasar Turi.[2]
Galeri
Monumen lokomotif B1239 di Stasiun Surabaya Pasarturi, 1999
Referensi
^Bagus Prayogo, Yoga; Yohanes Sapto, Prabowo; Radityo, Diaz (2017). Kereta Api di Indonesia. Sejarah Lokomotif di Indonesia. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. hlm. 33. ISBN978-602-0818-55-9.