Gaza (/ˈɡɑːzə/;[5]bahasa Arab: غَزَّةُĠazzah, IPA:[ˈɣazza]; bahasa Ibrani: עַזֲה 'Azzah), yang juga disebut sebagai Kota Gaza, adalah sebuah kota Palestina di Jalur Gaza, dengan populasi 515,556, menjadikannya kota terbesar di Palestina. Ditinggali sejak sekitar abad ke-15 SM,[6] Gaza didominasi oleh beberapa suku bangsa dan kekaisaran yang berbeda sepanjang sejarahnya. Filistin menjadikannya bagian dari pentapolis mereka setelah bangsa Mesir Kuno menguasainya selama sekitar 350 tahun.
Di bawah kekuasaan Romawi dan kemudian Bizantium, Gaza mengalami perdamaian dan pelabuhannya berkembang. Pada 635 Masehi, kota tersebut menjadi kota pertama di Palestina yang ditaklukan oleh tentara Rashidun dan dengan cepat menjadi pusat hukum Islam. Namun, pada saat tentara Salib menginvasi kota tersebut pada akhir abad ke-11, kota tersebut runtuh. Gaza mengalami beberapa masa sulit—dari serangan Mongol sampai banjir dan belalang, membuatnya turun menjadi desa pada abad ke-16, saat dimasukkan ke dalam Kesultanan Utsmaniyah. Pada paruh pertama masa pemerintahan Utsmaniyah, dinasti Ridwan mengendalikan Gaza dan di bawah kepemimpinannya, kota tersebut mengalami masa komersial dan perdamaian yang besar. Munisipalitas Gaza didirikan pada 1893.
Mesir memerintah teritorial Jalur Gaza yang baru dibentuk dan beberapa penanganan dilakukan di kota tersebut.[7] Gaza ditaklukan oleh Israel saat Perang Enam Hari pada 1967, tetapi pada 1993, kota tersebut diserahkan kepada Otoritas Nasional Palestina. Pada bulan-bulan setelah pemilihan 2006, sebuah konflik bersenjata pecah antara faksi politik Palestina Fatah dan Hamas, yang mengakibatkan Hamas mengambil kekuasaan atas Gaza. Mesir dan Israel kemudian melakukan blokade di Jalur Gaza.[8] Israel melonggarkan blokade yang mengizinkan barang-barang konsumen pada Juni 2010, dan Mesir membuka kembali penyeberangan perbatasan Rafah pada 2011 untuk pejalan kaki.[8][9]
Aktivitas ekonomi utama Gaza adalah pertanian dan industri berskala kecil. Namun, blokade dan konflik terkini membuat ekonominya berada di bawah tekanan.[10] Mayoritas penduduk Gaza adalah Muslim, meskipun terdapat juga minoritas Kristen. Gaza memiliki populasi penduduk yang sangat muda dengan sekitar 75% berada di bawah usia 25 tahun. Kota tersebut sekarang diurus oleh dewan munisipal beranggotakan 14 orang.
Sebelum perang Israel–Hamas tahun 2023, kota ini merupakan kota terpadat di Palestina, ketika pengungsian besar-besaran terjadi selama perang.
Etimologi
Menurut Zev Vilnay, nama "Gaza," berasal dari bahasa Arab, yakni Ġazza, yang mana diambil dari bahasa Kanaan/Ibrani dengan arti "kuat" (ʕZZ), dan kemudian diambil alih ke bahasa Arab dengan kata, ʕazzā, atau "yang kuat (f.)"; atau dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan benteng. Menurut Mariam Shahin, bangsa Kanaan memberi nama kota ini dengan kata Gaza, Masyarakat Mesir Kuno menamakan kota ini dengan nama Gazzat ("Kota Anugrah"), dan bangsa Arab memanggilnya dengan nama Gazzat Hashim, untuk menghormati Hashim, nenek moyang dari Nabi Muhammad, yang dimakamkan di Gaza City, menurut sejarah Islam.
Sejarah penghunian Gaza dimulai dari 5000 tahun silam, membuatnya sebagai salah satu kota tertua di dunia.[11] Letaknya pada jalur utama pantai Laut Tengah (Via Maris) antara Afrika Utara dan Mesopotamia, menjadikannya kota kunci dan tempat perhentian penting untuk perdagangan rempah-rempah ke Laut Merah.[11][12]
Zaman Perunggu
Tempat penghunian di daerah Gaza yang paling awal adalah di Tell es-Sakan, suatu benteng Mesir kuno di daerah Kanaan yang dibangun di sebelah selatan kota Gaza yang sekarang. Tempat ini menurun selama Zaman Perunggu Muda, karena perdagangannya dengan Mesir menurun drastis..[13]
Periode kuno
Gaza kemudian menjadi ibu kota administrasi Mesir di Kanaan.[14] Selama pemerintahan raja Thutmosis III, kota ini menjadi tempat perhentian jalur karavan Suriah-Mesir dan disebut-sebut dalam Surat Amarna sebagai "Azzati". Gaza tetap di bawah kekuasaan Mesir selama 350 tahun sampai dikuasai oleh orang Filistin pada abad ke-12 SM, dan menjadi salah satu dari lima kota utama mereka ("pentapolis").[15] Menurut Kitab Hakim-hakim, Gaza adalah tempat penjara Simson dan juga tempat meninggalnya.[16]
Setelah diperintah oleh orang Israel, Asyur, dan Mesir, Gaza mendapatkan kemerdekaan terbatas dan kemakmuran di bawah Kekaisaran Persia. Aleksander Agung mengepung Gaza, kota terakhir yang mengadakan perlawanan sebelum ia memasuki Mesir, selama 5 bulan sebelum merebutnya pada tahun 332 BCE;[15] penduduknya dibunuh atau ditawan. Aleksander membawa penduduk lokal Bedouins untuk menghuni Gaza dan mengatur kota itu menjadi suatu polis (atau "kota-negara"/city-state). Dalam zaman Seleukia, Seleukos I Nicator, atau salah satu penerusnya mengganti nama Gaza menjadi Seleucia untuk mengontrol daerah sekitarnya melawan pasukan Ptolemeus. Budaya Yunani kemudian berakar di sana dan Gaza terkenal sebagai pusat pelajaran dan filsafat Helenik.[17]
Zaman Islam
Pada tahun 635 M Gaza dikepung dan direbut oleh tentara Rashidun di bawah pimpinan jenderal 'Amr ibn al-'As setelah "Pertempuran Ajnadayn" antara Kekaisaran Bizantin dan Kalifat Rashidun di Palestina Tengah.
Pada tahun 1348 Wabah Hitam (Bubonic Plague) melanda kota ini, membunuh sebagian besar penduduknya dan pada tahun 1352, Gaza tertimpa banjir besar yang merusakkannya, suatu hal yang jarang terjadi di bagian selatan yang biasanya kering ini.[18]
Pemerintahan Utsmaniyah (Ottoman)
Pada tahun 1516 Gaza — pada waktu itu, kota kecil dengan pelabuhan yang tidak aktif, bangunan-bangunan rusak dan perdagangan yang menurun — dimasukkan ke dalam kekuasaan Kekaisaran Utsmaniyah.[18]
Zaman Modern
Ketika memimpin tentara sekutu selama Perang Dunia I, Inggris menguasai kota ini setelah "Pertempuran Gaza ketiga" pada tahun 1917.[18] Setelah perang, Gaza dimasukkan ke dalam wilayah "British Mandate of Palestine".[19] Pada tahun 1930-an dan 1940-an, Gaza mengalami perkembangan besar dengan dibangunnya daerah-daerah pemukiman baru di sepanjang pantai dan dataran selatan maupun timurnya. Organisasi internasional dan kelompok misionaris membiayai sebagian besar pembangunan ini.[20]
Gaza diduduki oleh Israel selama 'Perang Enam Hari" pada tahun 1967 setelah mengalahkan tentara Mesir. Terjadi konflik terus menerus antara orang Palestina dan Israel di kota ini sejak tahun 1970-an. Tekanan ini menyebabkan "Intifada pertama" pada tahun 1987. Gaza menjadi pusat konfrontasi selama pergolakan itu,[18] dan kondisi ekonomi di kota itu memburuk.[21]
Pemerintahan Palestina
Pada bulan September 1993, pemimpin-pemimpin Israel dan Palestine Liberation Organization (PLO) menandatangani perjanjian Oslo Accords. Perjanjian itu menghasilkan pemerintahan Palestina di "Jalur Gaza" (Gaza Strip) dan kota Yerikho di "Tepi Barat", yang diterapkan pada bulan Mei 1994. Tentara Israel mundur dari Gaza, meninggalkan Palestinian National Authority (PNA) untuk mengatur dan mengamankan kota itu.[17] PNA, di bawah pimpinan Yasser Arafat, memilih Gaza sebagai markas provinsi pertama. Dewan "Palestinian National Council" mengadakan sidang perdananya di Gaza pada bulan Maret 1996.[20]
Pada bulan November 2012, setelah seminggu pertempuran (Operation Pillar of Defense) antara Israel dan milisi Palestina, gencatan senjata yang diperantarai oleh Mesir diumumkan pada tanggal 21 November.[22]
^The New Oxford Dictionary of English (1998), ISBN 0-19-861263-X, p. 761 "Gaza Strip /'gɑːzə/ a strip of territory in Palestine, on the SE Mediterranean coast including the town of Gaza...".
^"Gaza (Gaza Strip)". International Dictionary of Historic Places. 4. Fitzroy Dearborn Publishers. 1996. hlm. 87–290.
^Michael G. Hasel (1998) Domination and Resistance: Egyptian Military Activity in the Southern Levant, Ca. 1300–1185 B.C. BRILL, ISBN 90-04-10984-6 p 258
^ ab"Gaza – (Gaza, al -'Azzah)". Studium Biblicum Franciscanum – Jerusalem. 2000-12-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-28. Diakses tanggal 2009-02-16.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan
Strategi Solo vs Squad di Free Fire: Cara Menang Mudah!