Asal mula penduduk Sekadau adalah pecahan rombongan Dara Nante yang berada di bawah pimpinan Singa Patih Bardat dan Patih Bangi yang meneruskan perjalanan ke hulu Sungai Kapuas.[7] Rombongan Singa Patih Bardat menurunkan suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang.[7]Mula-mula kerajaan Sekadau terletak di daerah Kematu, lebih kurang 3 kilometer sebelah hilir Rawak.[7] Raja pertama Sekadau adalah Pangeran Engkong yang memiliki tiga putra, yakni Pangeran Agong, Pangeran Kadar dan Pangeran Senarong.[7] Sesudah Pangeran Engkong wafat, kerajaan diteruskan oleh putra keduanya, Pangeran Kadar, karena dinilai lebih bijaksana dari putra-putra yang lain.[7] Karena kecewa, Pangeran Agong kemudian meninggalkan Sekadau menuju daerah Lawang Kuwari.[7] Sedangkan Pangeran Senarong kemudian menurunkan penguasa kerajaan Belitang.[7]
Setelah Pangeran Kadar wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh putra mahkota Pangeran Suma.[8]Pangeran Suma pernah dikirim orangtuanya untuk memperdalam pengetahuan agama Islam ke kerajaan Mempawah, karena itu pada masa pemerintahannya agama Islam berkembang pesat di kerajaan Sekadau.[8] Ibu kota kerajaan kemudian dipindahkan ke kampung Sungai Bara dan sebuah masjid kerajaan didirikan disana. Pada masa ini pula Belanda sampai ke kerajaan Sekadau.[8]Pangeran Suma kemudian digantikan oleh Putra Mahkota Abang Todong dengan gelar Sultan Anum.[8] Lalu digantikan lagi oleh Abang Ipong bergelar Pangeran Ratu yang bukan keturunan raja namun naik tahta karena putra mahkota berikutnya belum cukup dewasa.[8] Setelah putra mahkota dewasa, ia pun dinobatkan memerintah dengan gelar Sultan Mansur.[8] Kerajaan Sekadau kemudian dialihkan kepada Gusti Mekah dengan gelar Panembahan Gusti Mekah Kesuma Negara karena putra mahkota berikutnya, yakni Abang Usman, belum dewasa.[8]Abang Usman kemudian dibawa ibunya ke Nanga Taman.[8]
Sesudah pemerintahan Panembahan Gusti Mekah Kesuma Negara berakhir, Panembahan Gusti Akhmad Sri Negara dinobatkan naik tahta.[8] Tetapi oleh penjajah Belanda, panembahan beserta keluarganya kemudian diasingkan ke Malang, Jawa Timur, dengan tuduhan telah menghasut para tumenggung untuk melawan Belanda.[8]
Karena peristiwa tersebut, Panembahan Haji Gusti Abdullah kemudian diangkat dengan gelar Pangeran Mangku sebagai wakil panembahan.[8] Ia pun dipersilakan mendiami keraton.[8] Belum lama setelah penobatannya, Pangeran Mangku wafat.[8] Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Gusti Akhmad, kemudian Gusti Hamid.[8] Raja Sekadau berikutnya adalah Panembahan Gusti Kelip.[8]
Tahun 1944Gusti Kelip tewas dibunuh penjajah Jepang.[8] Pihak Jepang kemudian mengangkat Gusti Adnan sebagai pembesar kerajaan Sekadau dengan gelar Pangeran Agung, ia berasal dari Belitang.[8]