Kami, Perempoean (EYD: Kami, Perempuan) adalah sandiwara panggung 1943 dalam satu babak oleh Armijn Pane. Drama yang menampilkan enam karakter ini berkisah tentang konflik di antara dua pasangan, dengan wanitanya menganggap prianya sebagai pengecut karena tidak mau bergabung dengan Pembela Tanah Air dan prianya takut tentang bagaimana wanitanya akan bereaksi terhadap mereka yang telah diam-diam bergabung. Meskipun peringatan dari ibu dan ayah para wanita, para prianya bersiap untuk pergi ke pelatihan mereka, dengan persetujuan dari pasangan mereka.
Sandiwara ini ditulis pada Masa Pendudukan Jepang di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), saat Pane adalah seorang karyawan dari Pusat Kebudayaan di Jakarta, Kami, Perempoean mirip dengan sandiwara kontemporer karena pesan terbukanya yang pro-Jepang dan penekanan terhadap masalah sehari-hari yang dialami oleh orang awam kala itu. Diskusi tentang sandiwara ini telah menyimpulkannya sebagai propaganda pro-Jepang, berpesan bahwa para pria harus bergabung dengan militer untuk menyenangkan wanita mereka. Namun juga ada pendapat bahwa sandiwara ini sebenarnya merupakan peringatan tentang menerima Pembela Tanah Air dan untuk Indonesia . Kami, Perempoean ditampilkan beberapa kali pada tahun 1943, dan naskahnya telah disusun dalam sebuah buku.
Alur
Mahmud sedang duduk melamun di ruang tamu sambil memegang koran terbalik. Istrinya, Aminah, datang dan bertanya apa yang sedang dilakukannya. Setelah Mahmud menjawab ia sedang membaca koran, Aminah membalikkan posisinya dan mengejeknya. Karena Aminah mengganggunya lagi, Mahmud meninggalkan rumah.
Orang tua Aminah datang dan menanyakan keberadaan Mahmud, lalu dijawab Aminah "keluar". Percakapan mereka berhenti ketika adik Aminah, Sri, datang dan memberitahu mereka bahwa ia baru saja putus hubungan dengan tunangannya, Supono. Setelah ditanyai lebih lanjut, keluarganya mengetahui bahwa Pono juga dipaksa bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA) namun ditolaknya. Sri memutuskan pertunangan mereka karena tidak mau menikahi seorang pecundang. Ia berkata bahwa seandainya ia laki-laki, ia pasti langsung bergabung. Aminah mengira Mahmud juga menolak bergabung.
Aminah dan ibunya pergi melihat anak Aminah, sementara Sri ditinggalkan di ruang tamu dan ayahnya terus membaca koran. Mahmud datang dan diam-diam meminta Sri membantunya. Mahmud mengungkapkan bahwa ia telah mendaftar di PETA beberapa minggu sebelumnya dan akan ikut latihan malam itu juga, tetapi tidak yakin dengan sikap Aminah. Sri mengatakan akan memberitahu kakaknya dan menyembunyikan Mahmud di lemari. Setelah Sri meninggalkan ruangan, Supono dan Aminah masuk dari pintu yang lain. Supono tidak menyadari bahwa ia punya masalah yang sama dengan Mahmud dan Aminah meyakinkannya untuk bersembunyi di bawah meja. Aminah pun hendak menanyai Sri.
Aminah dan Sri bertemu di ruang tamu dan membicarakan bagaimana perasaan mereka seandainya kekasihnya ikut latihan PETA. Sri mencemooh keberanian Supono dan mengatakan ia takkan mau melakukannya. Aminah merasakan hal yang sama pada Mahmud. Pada akhirnya mereka memutuskan setuju. Mendengar hal itu, Mahmud dan Supono keluar dari persembunyian dan berteriak, "Hiduplah, Srikandi Indonesia!". Mereka semua terkejut senang. Sri dan Supono pun menyiapkan pernikahan dalam waktu singkat. Namun orang tua Aminah dan Sri khawatir setelah mendengar kedua pria ini akan bergabung dengan PETA.[a]
Pada tahun 1942, Pane, El Hakim (pseud. Aboe Hanifah), dan Usmar Ismail adalah para penulis lakon paling berpengaruh di Jawa. Karya-karya mereka bercerita tentang politik, rasa nasionalisme, dan pengaruh lingkungan, terutama tradisi, etika, dan agama.[2] Seperti halnya Kami, Perempoean, karya-karya ini didasarkan pada peristiwa sehari-hari dan menampilkan rakyat jelata, berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya yang didasarkan pada mitologi dan kisah dewa-dewi.[3]
Setelah dibuka tanggal 1 April 1943, Pane menjabat sebagai kepala departemen sastra di Poesat Keboedajaan (bahasa Jepang: Keimin Bunka Shidōsho (啓民文化指導所code: ja is deprecated )) yang terletak di Jakarta. Lembaga ini bertugas menyebarkan paham pro-Jepang dan pro-Asia Raya. Sejumlah lakon panggung ditulis untuk mempromosikan ide-ide Kekaisaran Jepang, termasuk Ratoe Asia karangan Rd. Ariffien dan beberapa karya Hinatsu Eitaro dan D. Suradji.[4]
Kami, Perempoean dipentaskan perdana tahun 1943 di Jakarta. Lakon ini juga dipentaskan berkali-kali pada tahun yang sama di Jakarta dan daerah lain di Jawa.[5] Pada tahun 1950, Pane memasukkan Kami, Perempoean ke buku Djinak-Djinak Merpati dengan Tjerita2 Sandiwara Lain, koleksi lakon panggung karyanya.[5] Di buku ini, Pane menghapus adegan dua tetangga mengunjungi keluarga beserta seluruh percakapannya. Pane menganggap adegan ini anti-klimaks dan judul lakon ini lebih layak digunakan tanpa adegan tersebut.[6] Perubahan kecil lainnya adalah penghilangan nama-nama musuh Jepang saat Perang Dunia II.[7]
Tema
Kritikus sastra Indonesia Boen Sri Oemarjati menyebut Kami, Perempoean sebagai kisah romansa yang menunjukkan keteguhan dan kejantanan bangsa Indonesia. Meski begitu, ia menyimpulkan bahwa karya ini adalah propaganda dan meringkas pesannya menjadi, "wanita-wanita yang bersemangat Srikandi, dengan sendirinya menginginkan suaminya pun sejantan hati mereka",[b] sehingga mereka harus bergabung dengan PETA.[8] M. Yoesoef dari Universitas Indonesia mengelompokkan lakon ini sebagai kendaraan propaganda yang menekankan tema wanita yang merelakan orang-orang yang dicintainya bergabung dengan PETA demi kepentingan bangsa.[9]
Chris Woodrich dari Universitas Gadjah Mada berpendapat bahwa lakon ini adalah peringatan terselubung yang menolak klaim PETA sebagai organisasi nasionalis. Melihat posisi Pane di Poesat Keboedajaan, Woodrich berpendapat Pane sudah menyadari tujuan utama pemerintah pendudukan Jepang untuk PETA, yaitu membantu melindungi kepulauan Indonesia dari Sekutu jika diperlukan, pesan yang harus disampaikan secara diam-diam dikarenakan posisi Pane dan penyensoran ketat oleh pemerintah pendudukan Jepang.[10] Woodrich merujuk pada ayah Aminah, mantan karyawan pemerintah kolonial Belanda, dan menganggap penolakan tokoh tersebut untuk bergabung dengan PETA agar bisa hidup aman dan nyaman di rumah sebenarnya didasarkan pada pemahaman pola pikir kolonial dan disampaikan dengan cara lain melihat ketakutan sang ayah terhadap pemerintah Jepang.[11]
Catatan penjelas
^Ringkasan alur ini berasal dari lakon yang telah diterbitkan.
^Teks asli: "Wanita-wanita jang bersemangat Srikandi, dengan sendirinja menginginkan suaminjapun sedjantan hati mereka."
"Armijn Pane". Encyclopedia of Jakarta (dalam bahasa Indonesia). Pemerintah Kota Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-10. Diakses tanggal 11 November 2013.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Oemarjati, Boen Sri (1971). Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Agung. OCLC2521044.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Pane, Armijn (1950a). "Kata Pendahuluan". Djinak-Djinak Merpati dengan Tjerita2 Sandiwara Lain (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 3–5. OCLC30063049.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Pane, Armijn (1950b). "Kami, Perempuan". Djinak-Djinak Merpati dengan Tjerita2 Sandiwara Lain (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 119–32. OCLC30063049.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Soemanto, Bakdi (1999). "Realisme dalam Jagat Teater". Humaniora (dalam bahasa Indonesia) (11): 34–51.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Sumardjo, Jakob (1992). Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Bandung: Citra Aditya Bakti. ISBN978-979-414-615-6.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Woodrich, Chris (2013). "Nilai Nasionalisme yang Terkandung dalam Kami, Perempuan Karya Armijn Pane: Kajian Poskolonial". Sintesis (dalam bahasa Indonesia). 7 (1): 14–21.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)