Kabinet Djuanda disebut juga Kabinet Karya adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Soekarno.[a] Kabinet ini diumumkan pada 8 April 1957 dan bertugas sejak 9 April 1957 hingga 6 Juli 1959.[b] Kabinet ini merupakan salah satu kabinet zakken.
Latar belakang
Pada 14 Maret 1957, Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua runtuh akibat tekanan pemberontakan daerah, perpecahan antar partai, dan serangan terhadap sistem politik yang berujung pada pengunduran diri anggotanya. Presiden Soekarno sempat mengutarakan keinginannya untuk membentuk kabinet gotong royong, di mana empat partai besar, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), akan bekerja sama demi kepentingan nasional. Namun, setelah mendapat tentangan keras dari partai lain dan Angkatan Darat, Soekarno terpaksa mengurungkan niat tersebut. Pada 15 Maret, ia meminta ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Suwirjo untuk membentuk kabinet, namun ia tidak mampu melaksanakan tugas tersebut, sehingga Soekarno sendiri mengadakan pertemuan pada 14 April dengan para pemimpin partai dan perwira militer, di mana mereka semua ditanya apakah mereka siap untuk bergabung dengan kabinet. Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), yang sebagian besar anggotanya menolak masuk kabinet, menuduh Soekarno bertindak melawan hukum, namun sia-sia. Partai tersebut kemudian memecat dua anggotanya yang masuk kabinet. Soekarno menunjuk veteran kabinet Djuanda Kartawidjaja untuk memimpin kabinet yang terdiri dari orang-orang yang memenuhi syarat dan tidak mewakili partai mana pun. Kabinet diumumkan pada 8 April dan dilantik oleh Soekarno keesokan harinya di Istana Merdeka.[1][2][3]
Program kerja Kabinet Djuanda disebut Soekarno dengan sebutan 'pancakarya', yang terdiri dari kata 'panca' (dari Bahasa Sanskerta 'lima') dan 'karya' (kerja).[4] Kelima 'karya' atau tujuan program kerja kabinet diantaranya:
Kabinet Djuanda sejak awal telah dikritik oleh anti-komunis. Walaupun Partai Komunis Indonesia (PKI) secara resmi tidak masuk ke dalam kabinet, beberapa menteri dicurigai merupakan komunis atau berhubungan erat dengan PKI. Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) juga terus berargumen bahwa kabinet dibentuk secara inkonstitusional karena tidak dilantik oleh parlemen. Namun, Perdana Menteri Djuanda terus melaporkan kegiatan kabinet kepada parlemen dan ia berargumen bahwa secara praktis hanya Masyumi, Partai Katolik, dan partai kecil besutan Sutomo, Partai Rakjat Indonesia (PRI) yang menjadi opsosisi. Secara praktis, peran parlemen hampir berakhir, dan para menteri juga memiliki kekuasaan yang lebih kecil dibanding kabinet sebelumnya. Masa darurat tetap berjalan, dan sejarawan Amerika Serikat George Kahin menulis: "Pelantikan kabinet telah melemahkan peran kedua parlemen dan partai politik secara setara untuk memperluas peran presiden dan militer."[5]
Soekarno mencoba untuk mewujudkan konsep demokrasi terpimpinnya. Pada Mei 1957, Soekarno menggunakan peraturan darurat untuk membentuk Dewan Nasional. Dewan Nasional adalah badan yang setara dengan kabinet, terdiri dari refleksi masyarakat berdasarkan 'golongan pekerja' (seperti petani, buruh, pemuda, pebisnis, dan perempuan) dibandingkan berdasarkan partai politik. Dewan Nasional juga meliputi perwakilan dari beragam wilayah dan kepulauan.[1]
Sejak awal 1958, pemilihan umum selanjutnya mulai direncanakan. Setelah pemilihan umum legislatif 1955, pemilihan selanjutnya dijadwalkan dilaksanakan pada September 1959. Namun, partai-partai politik yang kini lemah tidak mau menghadapi pemilihan umum dikarenakan kekhawatiran bahwa komunis PKI akan menang besar, dan juga beberapa kelompok lain seperti Angkatan Darat (yang diperkuat oleh keadaan darurat) tidak menginginkan adanya pemilihan umum. Selain PKI, seluruh partai politik besar sepakat untuk menunda pemilihan umum, dan pada 22 September 1958 Perdana Menteri Djuanda mengumumkan bahwa pemilihan umum akan ditunda selama maksimal 1 tahun, alasan resmi penundaan tersebut adalah keamanan yang tidak dapat dijamin oleh adanya pemberontakan.[1]
^Kabinet Djuanda dibentuk dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1957.
^Kabinet ini demisioner sejak tanggal 6 Juli 1959 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 151 Tahun 1959
^Pada waktu kabinet dibentuk jabatan ini belum ada. Dibentuk dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115 Tahun 1957 tertanggal 16 Mei 1957, dan untuk jabatan tersebut diangkat Dr. Johannes Leimena sementara merangkap sebagai Menteri Sosial. Beliau merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial sejak 29 April 1957.
^Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1958 tertanggal 25 Juni 1958, Soenardjo digantikan Rachmat Muljomiseno.
^Pada 29 April 1957, Dr. Johannes Leimena sementara merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial dan Wakil Perdana Menteri III sampai 24 Mei 1957. Sejak 25 Mei 1957, jabatan Menteri Sosial dipegang oleh Muljadi Djojomartono berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 120 Tahun 1957 tertanggal 24 Mei 1957.
^ abDengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1958 tertanggal 25 Juni 1958, jabatan ini dihapuskan sejak 25 Juni 1958.
^Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1958 tertanggal 25 Juni 1958, A.M. Hanafi dibebaskan dari jabatannya sebagai Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat untuk Pembangunan dan diangkat sebagai Menteri Negara.
^Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1958 tertanggal 25 Juni 1958, Ferdinand Lumban Tobing dibebaskan dari jabatannya sebagai Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah dan diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Transmigrasi.
^Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1958 dibentuk 5 jabatan Menteri Negara yang terdiri dari Menteri Negara Urusan Stabilisasi Ekonomi, Menteri Negara Urusan Kerjasama Sipil-Militer, Menteri Negara Urusan Transmigrasi, dan 2 Menteri Negara, dengan diangkat sebagai Menteri-Menterinya: Kol. Suprajogi, K.H. Wahib Wahab, Dr. F.L. Tobing, A.M. Hanafi dan Prof. Mr. H. Moh. Yamin.
Feith, Herbert (2009) [1962], The Decline of Constitutional Democracy in Indonesian, Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd, hlm. 469–470, ISBN979-3780-45-2
Lev, Daniel S (2009) [1966], The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd, hlm. 34,136, ISBN978-602-8397-40-7
Simanjuntak, P. N. H. (2003) (in Indonesian), Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi, Jakarta: Djambatan, pp. 181–187, ISBN 979-428-499-8.