Jurnalisme kuning, atau koran kuning, adalah jenis jurnalisme dengan judul-judul berita yang bombastis, tetapi setelah dibaca isinya tidak substansial. Jurnalisme kuning adalah jurnalisme pemburukan makna. Ini disebabkan karena orientasi pembuatannya lebih menekankan pada berita-berita sensasional daripada substansi isinya.
Jurnalisme kuning bertujuan meningkatkan penjualan, oleh karena itu jurnalisme kuning sering dituduh sebagai jurnalisme yang tidak profesional dan tidak beretika. Kepentingan jurnalisme kuning adalah bagaimana masyarakat memiliki ketertarikan terhadap pada berita. Perkara jurnalisme kuning diprotes oleh pihak tertentu tidak akan bergeming.
Definisi
Frank Luther Mott mendefinisikan jurnalisme kuning dengan beberapa karakteristik dan menekankan bahwa jurnalisme kuning tidak boleh disamakan dengan sensasionalisme. Sensasionalisme melekat dengan aspek kejahatan, gosip dan skandal, perceraian dan seks dan sebagainya.
Tetapi, jurnalisme kuning lebih kompleks daripada itu, karena "membedakan teknik". Hal ini termasuk pada penggunaan atau penampilan.
Berita utama yang menonjol dengan "teriakan kegembiraan" sering kali tentang berita yang relatif tidak penting.
Berbagai jenis penipu dan penipuan, termasuk wawancara dan cerita palsu.
Sunday Suplement dan komik berwarna.
Kurang lebih simpati yang mencolok dengan underdog dengan kampanye terhadap pelanggaran yang diderita oleh rakyat biasa.
Karakteristik
Terdapat karakteristik jurnalisme kuning yang berasal dari hasil studi atas pembacaan cermat terhadap isu-isu New York Journal dan New York World selama awal pertengahan tahun 1897.
Seringnya penggunaan berita utama multi kolom yang terkadang membentang di halaman depan.
Berbagai topik yang dilaporkan di halaman depan, termasuk berita politik, perang dan diplomasi internasional, olahraga dan masyarakat.
Penggunaan ilustrasi yang imajinatif termasuk foto-foto dan representasi grafik lainnya.
Layout yang berani dan eksperimental termasuk di mana satu laporan dan ilustrasi akan mendominasi halaman depan. Tata letak seperti itu kadang-kadang ditingkatkan dengan penggunaan warna.
Kecenderungan untuk bergantung pada sumber-sumber anonim, terutama dalam pengiriman para wartawan terkemuka (seperti James Creelman, yang menulis untuk Journal and the World).
Kecenderungan untuk promosi diri, untuk menarik perhatian dengan penuh semangat pada prestasi koran.
Sejarah
Istilah Jurnalisme Kuning atau Yellow Journalism merujuk pada persaingan surat kabar di Amerika Serikat. berasal dari penggambaran tokoh The Yellow Kid oleh R. F. Outcault. Outcault menggambarkan The Yellow Kid sebagai seorang anak laki-laki yang tidak sopan, terlalu banyak bicara serta berkunjung ke rumah-rumah petak di New York. Outcault kemudian direkrut oleh New York World bersama New York Journal dan memuat karakter The Yellow Kid.[1] Persaingan antara kedua media tersebut kemudian melahirkan istilah yellow press setelah keduanya menerbitkan saingan karakter mereka, The Yellow Kid.
Setelah ditemukan mesin cetak pada sekitar tahun 1980an, teknologi cetak bertumbuh pesat sehingga semakin mudah untuk memperluas jaringan komunikasi dan penyeberan berita. Teknologi percetakan memunculkan perusahaan media surat kabar sehingga banyak terjadi persaingan. Surat kabar internasional mengacu pada jurnalisme kuning.
Sebelumnya, Yellow Journalism menggambarkan persaingan bisnis antarsurat kabar, tetapi terjadi perubahan makna Yellow Journalism. Yellow Journalism kini beralih untuk mengungkapkan ejekan terhadap adanya berita yang berlebihan dan sensasional. Ditambah pula jurnalisme kuning tidak melalui proses gatekeeping sehingga ada beberapa fakta yang meleset.
Salah satu contoh Yellow Journalism adalah pada masa Perang Dunia I (PD I) yakni sebuah foto seseorang tehanan yang menghadapi regu tembak pada saat hukuman mati. Foto tersebut dimuat pertama kali di sebuah surat kabar Daily Mirror pada tahun 1914 oleh Albert Rhys Williams. Tujuan beredarnya foto tersebut adalah keinginan untuk memberitahukan kepada semua orang bahwa hukuman mati pada waktu itu benar-benar nyata. Sebelumnya, foto eksekusi hukuman mati tidak memiliki kisah nyata di baliknya.
Era Internet
Berita-berita jurnalisme kuning semakin berkembang dengan adanya internet. Internet membawa jurnalisme kuning ke ranah media online atau situs yang merupakan media massa dengan karakteristik yang melembaga serta dapat diakses oleh siapa saja. Media cetak bertransformasi menjadi bentuk daring sebagai upaya untuk menjangkau para pembaca. Namun hal ini juga dilakukan oleh media berbasis jurnalisme kuning.
Jurnalisme kuning tidak melulu ditentukan oleh persaingan surat kabar. Dengan adanya internet, banyak ditemukan berita di portal berita dan situs. Longgarnya regulasi yang mengatur perihal media jurnalisme memberikan kesempatan untuk media dengan pusar jurnalisme kuning untuk membuka platform baru dengan tujuan memperoleh klik dari para pembaca.
Terminologi Yellow Journalism muncul sebagai ejekan untuk berita yang berlebihan dan sensasional.
Contoh konkret Yellow Journalism di internet adalah kasus persidangan antara Samsung dengan Apple. Kasus tersebut diunggah ke situs web di Meksiko dengan berisi klaim tentang kewajiban Samsung untuk membayar denda sebesar $1,2 milliar dalam bentuk koin sehari setelah hakim memutuskan untuk mendukung Apple.
Jurnalisme kuning internasional
Ada beberapa contoh jurnalisme kuning yang beredar di dunia internasional.
The Daily Sun adalah salah satu surat kabar utama yang beredar di Afrika Selatan dengan menjual 500.000 eksemplar setiap harinya. Editor The Sun, Trevor Kavanagh (2011), mengungkapkan bahwa "Kami mengubah subjek-subjek sulit seperti politik, perdagangan dan perang menjadi sesuatu yang lebih mudah dicerna dan dipahami".
Keberadaan The Daily Sun mengubah kultur masyarakat di Afrika Selatan, akses informasi tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan atas saja, melainkan juga seluruh kalangan luas pekerja.
Masyarakat juga beranggapan The Daily Sun sebagai penyelamat untuk para pekerja dan buruh kasar yang isunya tidak pernah dimuat di surat kabar non-tabloid.
Hingga 2018 surat kabar ini masih aktif melakukan produksi dan memiliki situs di web maupun linimasa seperti Youtube, Instagram, Facebook, Twitter maupun perangkat lainnya.
Lalu, Tabloid News of the World di Inggris. Tabloid ini pernah menjadi media berbahasa Inggris dengan penjualan tertinggi di dunia. Namun, media ini dikecam karena dalam praktiknya melakukan beberapa penyimpangan seperti dalam skandal penyadapan telepon. Hingga akhirnya penerbitan media ini diberhentikan pada tahun 2011 oleh pemiliknya.
Jurnalisme kuning di Indonesia
Jurnalisme kuning di Indonesia berlangsung sejak era Demokrasi Liberal dan berlanjut pada era Orde Baru (Orba). Hal tersebut beriringan dengan kemunculan Koran Pos Kota dengan sajian informasi yang disampaikan berupa kriminalitas, kekerasan dan seksualitas.
Praktik jurnalisme kuning diikuti oleh media serupa setelah diberlakukannya Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 sehingga pemberitaan yang cenderung vulgar dan memiliki sensasi menjadi trend banyak media.
Persoalan terkait pemberitaan yang bersifat sensasional telah dikeluhkan sejak Demokrasi Liberal di mana Indonesia menganut sistem multipartai pada masa itu. Setiap partai memiliki penerbitan surat kabar sehingga memungkinkan banyaknya media terllibat dalam perang berita, tajuk rencana, maupun karikatur dengan tujuan untuk saling menjatuhkan.[1]
Berikut adalah beberapa contoh jurnalisme kuning dalam media cetak yang masih beredar di Indonesia:
Koran Lampu Hijau, surat kabar ini menggunakan bahasa judul yang kurang senonoh. Namun, hal tersebutlah yang menarik banyak pembaca. Meskipun isi beritanya bukanlah merupakan berita bohong, tetapi penggunaan ilustrasi yang vulgar menjadi alasan surat kabar tersebut banyak dikecam oleh berbagai pihak.
Koran Lampu Merah, hampir sama dengan surat kabar sebelumnya, judul dengan penggunaan bahasa yang senonoh bertujuan agar para pembaca penasaran sehingga tertarik untuk membaca. Namun, judul yang terlalu bertele-tele dan cenderung menjelaskan ilustrasi peristiwa justru tidak menyisakan ruang untuk isi berita tersebut. Secara sederhana, koran ini menampilkan judul dengan ukuran yang besar dan mencolok hanya untuk membuat pembaca tertarik dengan topik tanpa harus mengetahui isi beritanya.
Meteor Jogja, surat kabar yang berdomisili di kota Yogyakarta ini hadir dengan judul yang hampir sama dengan kedua koran sebelumnya. Hanya saja, tata bahasa yang digunakan cenderung menggunakan budaya lokal setempat. Tujuannya sama, yakni membuat pembaca penasaran untuk menyimak peristiwa yang terjadi.
Koran Merapi, sama halnya surat kabar Meteor Jogja, surat kabar ini memuat berita-berita yang sensasional guna mempercepat penjualan.
Selain dalam bentuk koran, jurnalisme kuning melebarkan sayapnya ke dalam bentuk media daring. Salah satu media daring berbasis jurnalisme kuning adalah media yang berasal dari pulau Kalimantan. Media tersebut mengangkat kasus seorang anggota pejabat yang melakukan hubungan seksual di dalam mobil dinas miliknya dengan seorang perempuan berusia 17 tahun. Dalam artikel tersebut, berita yang dimuat menceritakan kronologi peristiwa pemerkosaan secara gamblang dan vulgar. Bahkan, bisa dikatakan bahwa berita tersebut tidak memenuhi kaidah jurnalistik, malah justru mirip seperti bacaan orang dewasa.[2]
Jurnalisme kuning bisa dikatakan media yang anti arus utama dengan mengaburkan kaidah jurnalistik yang ada. Jurnalisme kuning tidak mengindahkan etika komunikasi massa dengan mengemas suatu peristiwa ke dalam bentuk berita yang vulgar dan sensasional seperti berita kriminal, pemerkosaan maupun pembunuhan dengan disertai foto apa adanya dan tidak disaring melalui tahap kurasi foto.
Sumber
Buku Nurdin, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, 2009
Campbell, W. Joseph. (2001). Yellow Journalism: Puncturing the Myths, Defining the Legacies. London: Praeger Publishers.
Simkin, John. (2014). “British Journalism and the First World War”.https://spartacus-educational.com/FWWjournalism.htm (diakses Kamis, 4 Oktober 2018, pukul 00.16 WIB).
Spencer, David R.. (2007). The Yellow Journalism: The Press and America Emergence as a World Power. USA: Nortwestern University Press.
Rahmitasari, D. H. (2013). Jurnalisme tabloid di Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi, 10, 99-112
Mott, Kathryn. 2012. Yellow Journalism – Present and Past. Diakses 3 Oktober 2018, dari https://www.americanhistoryusa.com/yellow-journalism-present-and-past/
Campbell, W. J. (2001). Yellow Journalism. Wesport, London: Praeger.
Auxier, George W. (March 1940), "Middle Western Newspapers and the Spanish American War, 1895–1898", Mississippi Valley Historical Review, Organization of American Historians, 26 (4), hlm. 523, doi:10.2307/1896320, JSTOR1896320
Campbell, W. Joseph (2005), The Spanish-American War: American Wars and the Media in Primary Documents, Greenwood Press
Campbell, W. Joseph (2001), Yellow Journalism: Puncturing the Myths, Defining the Legacies, Praeger
Emory, Edwin; Emory, Michael (1984), The Press and America (edisi ke-4th), Prentice Hall
Milton, Joyce (1989), The Yellow Kids: Foreign correspondents in the heyday of yellow journalism, Harper & Row
Nasaw, David (2000), The Chief: The Life of William Randolph Hearst, Houghton Mifflin
Rosenberg, Morton; Ruff, Thomas P. (1976), Indiana and the Coming of the Spanish-American War, Ball State Monograph, No. 26, Publications in History, No. 4, Muncie, IN: Ball State University (Asserts that Indiana papers were "more moderate, more cautious, less imperialistic and less jingoistic than their eastern counterparts.")
Smythe, Ted Curtis (2003), Sloan, W. David; Startt, James D., ed., The Gilded Age Press, 1865–1900, The History of American Journalism, Number 4, Westport, CT: PraegerTidak memiliki parameter |last2= di Editors list (bantuan)
Swanberg, W.A (1967), Pulitzer, Charles Scribner's Sons
Sylvester, Harold J. (February 1969), "The Kansas Press and the Coming of the Spanish-American War", The Historian, 31 (Sylvester finds no Yellow journalism influence on the newspapers in Kansas.)
Welter, Mark M. (Winter 1970), "The 1895–1898 Cuban Crisis in Minnesota Newspapers: Testing the 'Yellow Journalism' Theory", Journalism Quarterly, 47, hlm. 719–724
Winchester, Mark D. (1995), "Hully Gee, It's a WAR! The Yellow Kid and the Coining of Yellow Journalism", Inks: Cartoon and Comic Art Studies, 2.3, hlm. 22–37