Ibusuri Xiaozhuang (Hanzi: 孝庄文皇后, 28 Maret 1613-27 Januari 1688), secara resmi Ibu Suri Zhaosheng adalah selir dari Huang Taiji, pendiri Dinasti Qing. Ia adalah salah satu figur yang berpengaruh pada masa awal berdirinya dinasti itu. Ia menjadi wali atas putranya, Kaisar Shunzhi dan cucunya, Kaisar Kangxi, yang naik tahta pada usia dini. Kedua kaisar itu dibantunya dalam mengurus pemerintahan hingga dewasa dan menjadi penguasa yang mandiri. Dalam sejarah Tiongkok, Ibusuri Xiaozhuang adalah salah satu tokoh wanita yang dihormati karena kebijaksanaan dan kepiawaiannya dalam politik.
Ibu Suri Xiaozhuang, gelar resminya Ibu Suri Zhaosheng lahir dari keluarga bangsawan Mongol dengan nama Bumbutai (布木布泰, Bumubutai). Ayahnya, Pangeran Jaisang, berasal dari klan Borjigit, suku Khorchin dan masih keturunan dari penakluk besar dari masa lampau, Genghis Khan. Ia adalah seorang wanita yang cantik dan cerdas.
Ketika menginjak usia duabelas tahun, Bumbutai dipersembahkan pada Huang Taiji sebagai selir. Gelarnya adalah Selir Zhuang (庄妃). Selir Zhuang merupakan wanita kesayangan Huang Taiji. Dari hubungannya dengan Huang Taiji, ia melahirkan tiga orang putri dan seorang putra bernama Fulin yang kelak akan menjadi Kaisar Shunzhi.
Tahun 1641, Huang Taiji mengalahkan pasukan Ming dalam pertempuran di Jinzhou. Jenderal Ming, Hong Chengchou ditangkap hidup-hidup. Huang Taiji mencoba mengambil hati Hong Chengchou dengan wanita-wanita cantik dan harta berlimpah, namun Hong tidak tergerak dan bertekad untuk mogok makan hingga mati kelaparan. Huang Taiji hampir putus harapan, ia mencoba upaya terakhir dengan mengirim Selir Zhuang untuk menundukkan Hong. Dengan godaan dan bujuk rayunya, Selir Zhuang berhasil membuat Hong Chengchou mengkhianati negaranya dan bertekuk lutut pada Qing.
Menjadi wali Shunzhi
Huang Taiji mangkat tahun 1643 tanpa meninggalkan wasiat mengenai siapa yang akan meneruskan tahtanya sehingga hal ini menimbulkan pertikaian dalam keluarganya. Adik-adik Huang Taiji, Daišan dan Duo’ergun setuju Fulin yang menjadi pewaris tahta dan mereka bersumpah setia untuk melayani sang kaisar muda itu. Namun, anak sulungnya, Hooge, tidak menerima keputusan itu, ia bersikukuh bahwa dirinyalah yang seharusnya menjadi penerus ayahnya karena ia adalah putra sulung. Dalam konflik memperebutkan tahta ini, Hooge kalah dan dikenai tahanan rumah oleh pamannya, Duo’ergun dan ia meninggal tak lama kemudian. Dengan demikian, Xiaozhuang kini menjadi ibusuri bagi kaisar bocah yang baru naik tahta itu.
Bersama Duo’ergun, ia bertindak sebagai wali atas nama putranya. Setelah Dinasti Qing menumbangkan rezim pemberontak petani Li Zicheng dan menguasai Tiongkok, pengaruh dan kekuasaan Duo’ergun makin besar. Xiaozhuang berbagi kekuasaan dengan adik iparnya itu, Duo’ergun mengatur masalah pemerintahan, sedangkan dia sendiri mengatur masalah dalam istana. Tak lama kemudian, istri Duo’ergun wafat dan ia lalu menikah dengan adik iparnya itu. Tidak jelas apa motif di balik semua ini dan masih menjadi misteri hingga kini, kemungkinan adalah ia menikah dengan adik iparnya adalah demi keamanan dirinya dan putranya dari kemungkinan Duo’ergun merebut kekuasaan karena saat itu Duo’ergun sedang dalam puncak kekuasaannya. Atas dasar inilah, di kemudian hari Shunzhi mendakwa Duo’ergun secara in absentia setelah kematiannya.
Mengawasi wali Kangxi
Setelah Shunzhi mencapai usia dewasa, Xiaozhuang mulai mengurangi perannya di panggung politik. Shunzhi tidak lama menjadi kaisar, ia wafat tahun 1661 pada usia 24 tahun (beberapa sumber mengklaim ia turun tahta dan hidup membiara). Putra Shunzhi, Kangxi, naik tahta dalam usia delapan tahun. Xiaozhuang kembali terjun ke dunia politik, ia mengawasi empat wali (Suoni, Sukesaha, Ebilong dan Aobai) yang dipilih Shunzhi untuk membimbing Kangxi. Ia juga menasehati cucunya agar banyak belajar dari keempat wali tersebut karena mereka telah berpengalaman melayani kaisar sebelumnya. Karena ibu Kangxi mati muda, Xiaozhuang lah yang bertanggungjawab membesarkan dan mendidik cucunya itu.
Keempat wali Kangxi saling bertikai dan Aobai yang ambisius berhasil menyingkirkan lawan-lawannya hingga akhirnya menjadi wali tunggal bagi Kangxi. Xiaozhuang sadar bahwa Aobai yang semakin arogan itu kelak akan membahayakan kerajaan Qing. Maka ia turut membantu Kangxi yang juga merasakan hal yang sama untuk mengatur rencana menyingkirkan Aobai. Tahun 1669, Aobai berhasil dijebloskan ke penjara dan Kangxi memerintah secara mandiri. Ia juga membantu Kangxi mengambil langkah-langkah yang tepat ketika meletus Pemberontakan Tiga Raja Muda (三藩之乱) tahun 1673. Selama hidupnya, Xiaozhuang selalu menghindari hidup bermewah-mewah, ia bahkan menolak ulang tahunnya dirayakan karena menurutnya hanya menghambur-hamburkan biaya. Ia meninggal karena sakit tahun 1688 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Qing di Hebei.
Kehidupan Xiaozhuang yang luar biasa ini sering diangkat di layar kaca dan novel-novel silat yang biasanya didramatisir dan bercampur dengan fiksi. Beberapa serial televisi Tiongkok yang menceritakan tentang dirinya antara lain 孝庄秘史 (Rahasia Sejarah Xiaozhuang), 康熙大帝 (Kaisar Agung, Kangxi), 庄妃秘史 (Rahasia Sejarah Selir Zhuang), dll.
Dalam novel silat The Sword Stained with Royal Blood (碧血剑) karya Jin Yong yang juga sudah beberapa kali difilmkan, diceritakan bahwa Huang Taiji menangkap basah Xiaozhuang yang sedang berselingkuh dengan adiknya, Duo’ergun. Duo’ergun yang tidak bisa mengelak lalu menghunus pedang dan membunuh Huang Taiji. Diceritakan juga bahwa Fulin/ Kaisar Shunzhi sebenarnya adalah hasil dari hubungan gelap mereka. Xiaozhuang juga muncul dalam karya Jin Yong lainnya, The Deer and the Cauldron (鹿鼎记, di Indonesia dikenal dengan judul Pangeran Menjangan).
Referensi
Cheng Qinhua, Tales of the Forbidden City, Bejing: Foreign Languages Press, 1997.
Strategi Solo vs Squad di Free Fire: Cara Menang Mudah!