Ian Arthur Bremmer (lahir 12 November 1969) adalah ilmuwan politik Amerika Serikat yang mendalami kebijakan luar negeri AS, negara-negara yang mengalami transisi, dan risiko politik global. Ia merupakan presiden sekaligus pendiri Eurasia Group, badan konsultan dan riset risiko politik. Ia menulis beberapa buku, termasuk The J Curve,Every Nation for Itself, dan Us vs. Them: The Failure of Globalism.[1] Pada tahun 2013, ia diangkat sebagai guru besar Universitas New York.[2] Pada Desember 2014, ia menjabat sebagai kolumnis berita luar negeri dan redaktur utama Time.[3]
Kurva J[4] mengaitkan keterbukaan dengan kestabilan sebuah negara. Meski banyak negara stabil karena sistemnya terbuka (Amerika Serikat, Prancis, Jepang), negara-negara lain justru stabil karena sistemnya tertutup (Korea Utara, Kuba, Irak era Saddam Hussein). Negara bisa berpindah ke depan (kanan) dan belakang (kiri) sesuai kurva J ini. Karena itu, kestabilan dan keterbukaan tidak pernah pasti. Kurva J lebih curam di sebelah kiri karena pemimpin negara gagal lebih mudah menciptakan kestabilan dengan menutup negaranya alih-alih membangun masyarakat sipil dan lembaga yang bertanggung jawab. Kurva J lebih tinggi di sebelah kanan daripada kiri karena negara-negara yang berhasil membuka masyarakatnya (misalnya Eropa Timur) pada akhirnya lebih stabil daripada negara-negara otoriter.
Dunia G-Nol adalah hilangnya kepemimpinan dunia karena pengaruh Barat semakin melemah dan negara-negara lain tidak mampu untuk mengisi kekosongan tersbeut.[6][7] G-Nol adalah persepsi peralihan dari kepemimpinan negara-negara industri G7 dan negara-negara besar baru Group of Twenty yang mencakup Tiongkok, India, Brasil, Turki, dan lain-lain. Dalam bukunya, Every Nation for Itself: Winners and Losers in a G-Zero World (New York: Portfolio, 2012), Bremmer menjelaskan bahwa dalam kondisi G-Nol, tidak ada satu pun negara atau kumpulan negara yang mampu dan mau mengangkat agenda ekonomi dan politik secara global.[8][9]
Weaponisasi keuangan adalah strategi kebijakan luar negeri yang memanfaatkan insentif (akses ke pasar modal) dan penalti (berbagai jenis sanksi) sebagai alat diplomasi koersif. Dalam laporan Eurasia Group Top Risks 2015,[10] Bremmer menggunakan istilah ini untuk menyebut berbagai cara yang dipakai Amerika Serikat untuk memengaruhi peristiwa global. Bukannya bergantung pada keunggulan keamanan yang menjadi ciri khas AS, termasuk aliansi pimpinan AS seperti NATO dan lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, AS kini 'menjadikan keuangan sebagai senjata' dengan membatasi akses ke pasar dan bank-bank AS. Menurutnya, keuangan telah menjadi instrumen kebijakan luar negeri dan keamanan AS.
Negara seimbang
Negara seimbang (pivot state) adalah negara yang mampu membina hubungan yang menguntungkan dengan beberapa negara besar tanpa bergantung kepada salah satu negara tersebut.[11] Kemampuan menahan diri ini memungkinkan sebuah negara seimbang mencegah ketergantungan—baik keamanan ataupun ekonomi—terhadap satu negara saja. Dalam buku Every Nation for Itself: Winners and Losers in a G-Zero World (New York: Portfolio, 2012),[12] Bremmer menjelaskan bahwa dalam kondisi G-Nol, kemampuan menyeimbangkan diri akan semakin penting. Lawan dari negara seimbang adalah negara bayangan yang terkurung di dalam pengaruh sebuah negara yang lebih berkuasa. Dua negara tetangga Amerika Serikat menjelaskan konsep ini dengan sangat baik. Dengan hubungan dagang yang kuat dengan Amerika Serikat dan Asia serta hubungan keamanan resmi dengan NATO, Kanada adalah negara seimbang karena mengalami percepatan ekonomi dan tidak telribat konflik dengan negara besar manapun. Meksiko adalah negara bayangan karena sangat bergantung pada ekonomi Amerika Serikat.