Dracunculus medinensis atau cacing Guinea adalah nematoda yang menyebabkan dracunculiasis.[1] Penyakit ini disebabkan oleh cacing betina;[2] dengan panjang yang bisa mencapai 800 mm,[3] cacing ini merupakan salah satu nematoda terpanjang yang dapat menginfeksi manusia.[4] Di sisi lain, cacing Guinea jantan terpanjang yang pernah ada hanya berukuran 40 mm.[3]
Sejarah
Dracunculus medinensis (naga kecil dari Medina) sudah dikenal oleh masyarakat Mesir Kuno paling tidak dari abad ke-15 SM, dan kemungkinan adalah "ular tedung" yang disebutkan dalam Alkitab.[5]
Siklus hidup
Larva D. medinensis dapat ditemui di air tawar, dan larva ini ditelan oleh copepoda dari genus Cyclops. Di dalam tubuh copepoda ini, larva D. medinensis tumbuh hingga ke tahap infektif dalam waktu 14 hari.[6] Setelah copepoda yang terinfeksi ditelan oleh mamalia, copepoda ini akan terlarut oleh asam lambung, dan larva D. medinensis lalu pindah ke dinding usus mamalia dan menjadi dewasa. Dalam waktu 100 hari, D. medinensis jantan dan betina akan bertemu dan bereproduksi di dalam jaringan inangnya. Cacing jantan mati di jaringan inang, sementara cacing betina pindah ke hipodermis. Sekitar setahun setelah infeksi, cacing betina ini mengakibatkan pembentukan lepuhan di kulit, biasanya di bagian bawah. Setelah lepuhan ini pecah, cacing betina secara perlahan keluar dalam kurun waktu beberapa hari atau minggu.[6] Hal ini sangat menyakitkan bagi inangnya. Ketika inang memasukkan bagian tubuhnya ke dalam air untuk meringankan nyeri dan "rasa terbakar", si cacing betina akan mengeluarkan ribuan larva ke dalam air. Dari situ, larva ini kembali menginfeksi copepoda dan mengulang siklus yang sama.[6]
^WHO Collaborating Center for Research, Training and Eradication of Dracunculiasis (January 9, 2012). "Guinea Worm Wrap-up #209"(PDF) – via The Carter Center.