K.H. Djauhari Zawawi (1911 – 20 Juli 1994 /11 Safar 1415); dimakamkan di Kencong, Jember) adalah pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Assunniyyah, salah satu pesantren salaf terbesar di wilayah kabupaten Jember.
Keluarga
K.H. DJauhari Zawawi adalah cucu Raden Yusuf Mangkudirjo, yang masih keturunan Sunan Kalijaga. Mbah putrinya, Nyai Saroh binti Muhsin adalah cucu Mbah Saman bin Sriman dari Klampis, Madura, mantan prajurit Goa Selarong, pasukan inti Pangeran Diponegoro yang kemudian memilih berjuang di bidang pendidikan dan merintis berdirinya Pondok Pesantren Sarang, Rembang Jawa Tengah. Sementara ibu dia, Nyai Umamah bin Kyai Nur Khotib adalah keturunan ke-9 Sayyid Abdurrahmah Basyaiban alias Mbah Sambu, Lasem.
Pendidikan
KH Djauhari Zawawi belajar dasar-dasar agama dari ayahnya, KH. Zawawi di Waru, Sidorejo, Sedan, Rembang. Di halaman rumah dia dilahirkan, sampai sekarang masih berdiri kokoh madrasah diniyah bernama Madrasah Tuhfatusshibyan yang dirintis Abahnya bersama Sayyid Hamzah Syatho, cucu keponakan dari Sayyid Bakri Syatho, pengarang kitab I'anah al-Thalibin. Ketika Alfiyah sudah dihafalkan pada usia 11 tahun, dia mengatakan bahwa ini bukan hal yang luar biasa.
Pencarian KH. DJauhari terhadap ilmu tidak hanya cukup di desanya saja, dia melanjutkan mondok kepada KH. Abd. Syakur, Suwedang, Jatirogo abah KH. Abul Fadlol, Senori, Tuban.Di sana, dia nyambi ngaji nduduk pada KH. Ma'ruf, Jatirogo. Setelah itu dia tinggal di Kajen, Pati mengaji kepada kyai-kyai dzurriyah Mbah Mutamakkin, seperti KH. Mahfudh (Abah KH. Sahal Mahfudh), KH. Nawawi dan lain sebagainya.
Kurang lebih dua tahun di Kajen, dia pindah ke Sarang, ngaji kepada KH. Umar, KH. Syu'aib, KH. Imam, dan KH. Zubair. Lalu tabarrukan di Termas di pesantren KH. Dimyati (adik Syaikh Mahfudh At-Turmusi).
Puas menjelajah pesantren-pesantren di Pantura, KH. DJauhari melanjutkan pencariannya ke Tebu Ireng Jombang, berguru kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari. Setelah beberapa lama di Tebu Ireng, pindak ke Probolinggo, madrasah, dibantu oleh K. Nawawi, Pajarakan, hingga berkembang pesat. Setelah kurang lebih dua tahun berada di sana, KH. DJauhari memanggil adiknya KH. Atho'illah, meneruskan perjuangannya di Probolinggo, sementara dia melanjutkan pengelanaan ke Tanah Suci. Di Tanah Suci yang saat itu berkecamuk perang Wahhabi, KH. Djauhari berguru kepada ulama-ulama Mekah saat itu, seperti Syaikh Masduqi, Syeikh Hamdan, Syeikh Amin Kutby dan lain-lain.
Perjuangan
Di Kencong sebagai tempat iqamah permanen, KH. Jauhari memulai nasyrul ilmi dengan membantu mengajar di Langgar Waqaf Ky. Sholihi, disamping membuka pengajian sendiri di ndalem. Inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Assunniyyah.
Tahun 1946, tentara gabungan Belanda dari Probolinggo, Banyuwangi, Jember, Situbondo dan Bondowoso dengan persenjataan lengkap mengadakan serangan umum dari berbagai penjuru, menumpas para gerilyawan Kencong. Basis pertahanan tentara Hizbullah di Cakru dibumi hangus, memaksa rakyat dan para gerilyawan menyingkir ke daerah rawa-rawa, walau harus menempuh risiko serangan binatang buas. Akibat serangan ini, seluruh perlawanan rakyat lumpuh. KH. Jauhari yang termasuk target utama buronan Belanda harus berpindah-pindah tempat.
Satu tahun setelah NU didirikan, di Kencong sudah berjalan pengajian-pengajian NU yang dimotori oleh Ky. Zein. Setelah beberapa tahun NU Kencong berstatus ranting, melalui perjuangan dan perjalanan yang melelahkan, pada tanggal, 16 Rajab 1356 H./21 September 1937 M. Cabang NU Kencong berdiri, membawahi seluruh wilayah kawedanan Puger, melalui keputusan Hoofd Bertuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) yang berkedudukan di Surabaya.
Dalam konperensi Cabang NU Kencong tahun 1950 yang diselenggarakan di Pesantren KH. Abdullah Yaqin, Mlokorejo, KH. Djauhari terpilih menjadi Rais Syuriah PCNU Kencong pertama kali setelah Indonesia Merdeka secara de facto dan de Jure, menggantikan KH. Abd. Kholiq. Inilah salah satu kiprah KH. Djauhari dalam organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini.
Lihat pula
Referensi dan Pranala luar