Artikel ini ditujukan sebagai artikel untuk topik variasi bahasa Sunda berdasarkan wilayah persebaran geografis. Untuk tingkatan bahasa Sunda atau sosiolek yang diklasifikasikan berdasarkan derajat formalitas (Loma-Hormat), lihat Tatakrama bahasa Sunda.
Cari artikel bahasaCari berdasarkan kode ISO 639 (Uji coba)Kolom pencarian ini hanya didukung oleh beberapa antarmuka
Halaman bahasa acak
Dialek bahasa Sunda (ᮘᮞ ᮝᮨᮝᮨᮀᮊᮧᮔ᮪, basa wewengkon atau ᮘᮞᮕᮢᮏ, basapraja) adalah sejumlah varietas atau bahasa vernakular dalam bahasa Sunda yang berbeda-beda menurut penutur dan daerah penggunaannya. Dialek-dialek ini berkontras dengan bentuk standar bahasa Sunda yang dikenal sebagai basa lulugu (ᮘᮞ ᮜᮥᮜᮥᮌᮥ 'bahasa baku')[1] dan basa sakola (ᮘᮞ ᮞᮊᮧᮜ 'bahasa sekolah')[a] yang didasarkan pada dialek Priangan atau dialek Selatan dan berfungsi sebagai lingua franca bagi semua penutur ragam bahasa Sunda. Dialek tidak boleh dikacaukan dengan logat atau aksen, yaitu variasi pengucapan kata atau lekuk lidah.
Dalam bahasa Sunda, istilah basa wewengkon dapat diterjemahkan secara harfiah sebagai 'bahasa wilayah' (basa artinya bahasa, wewengkon artinya wilayah) karena pada umumnya, dialek-dialek bahasa Sunda dibedakan berdasarkan wilayah geografis. Bahasa Sunda itu sendiri merupakan anggota dari bahasa-bahasa Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia, yang bersama dengan bahasa Badui membentuk rumpun bahasa Sunda-Badui, meskipun bahasa Badui kadangkala juga dianggap sebagai sebuah dialek dalam bahasa Sunda.[b]
Dialek bahasa Sunda sebagai bentuk vernakular berfungsi sebagai alatkomunikasilisan yang biasanya digunakan sehari-hari oleh masyarakat yang letak tempat tinggalnya jauh dari pusat pemakai bahasa Sunda baku (Parahyangan), meskipun demikian, bahasa Sunda baku (lulugu ᮜᮥᮜᮥᮌᮥ) tetap diterima dan dipahami secara universal oleh orang-orang yang melek huruf dalam bahasa Sunda, atau setidaknya oleh orang-orang yang pernah mengenyam pendidikansekolah yang menerapkan bahasa Sunda Priangan sebagai bahasa pengantar atau sebagai salah satu mata pelajaran.[2]
Dalam perkembangannya, bentuk standar dan vernakular bahasa Sunda lambat laun mengalami pengutuban hingga seakan-akan tinggal menyisakan dua laras bahasa, yakni bahasa Sunda Priangan (baku) dianggap sebagai bahasa yang halus[3][4] dan dialek-dialek bahasa Sunda lainnya dianggap sebagai bahasa yang kasar[5]—bahasa Sunda Priangan memiliki sistem tingkatan berbahasa berupa undak usuk atau tatakrama basa Sunda yang membedakan penggunaan bahasa yang digunakan antara dengan lawan bicara yang sudah akrab[c] dan yang belum akrab/dihormati, sedangkan dialek-dialek bahasa Sunda non-standar kebanyakan tidak mengenal sistem tingkatan berbahasa seperti ini atau hanya menggunakannya secara terbatas[d][6]—padahal, pengertian bahasa halus dan bahasa kasar dalam bahasa Sunda tidak ada hubungannya dengan perbedaan dialek antar wilayah geografis, tetapi merupakan masalah sosiolek berupa tatakrama basa Sunda yang telah disinggung sebelumnya. Stigma kasar-halus ini juga berimplikasi pada kosakata yang akan digunakan dalam ragam tulis bahasa Sunda, seperti dalam majalah, surat kabar, dan buku. Pada zaman dahulu, kosakata dialek dilarang untuk dimasukkan ke dalam buku-buku bahasa Sunda, contoh kasusnya pada Volksalmanak Sunda dan mingguan Parahiangan yang sangat selektif terhadap kosakata yang digunakan, kosakata dialek akan diubah menjadi kosakata baku sebelum dilakukan penerbitan.[7]
Bahasa Sunda Priangan sebagai ragam baku secara linguistik merupakan sebuah dialek juga. Ragam ini menjadi baku karena munculnya prestise sosial tertentu. Faktor penentu ragam baku pada bahasa Sunda adalah digunakannya ragam bahasa pada kalangan terdidik atau ilmuwan yang dianggap oleh masyarakat sebagai golongan yang terdiri atas orang-orang yang berpengetahuan lebih dari orang kebanyakan. Nilai tinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap penutur itu memberikan prestise kepada ragam bahasanya.[8]
Pembagian
Jumlah dialek dalam bahasa Sunda hingga sekarang belum dapat ditentukan dengan pasti sebab belum diteliti seluruhnya secara deskriptif. Salah seorang pengamat bahasa Sunda bernama Satjadibrata pernah mengungkapkan bahwa dialek bahasa Sunda itu ada sembilan, yaitu dialek Bandung, Banten, Cianjur, Purwakarta, Cirebon, Kuningan, Sumedang, Garut, dan Ciamis.[9] Sementara itu, beberapa organisasi, seperti Ethnologue dan MultiTree menyatakan ada 4 dialek utama bahasa Sunda yang diberikan kodenya masing-masing yaitu, Banten (sun-ban),[10] Cirebon (sun-cir),[11] Priangan (sun-pri),[12] dan Bogor-Karawang (sun-bog),[13] sedangkan Glottolog membagi bahasa Sunda menjadi 4 dialek utama yaitu, Banten, Tengah-Timur, Pesisir Utara, dan Priangan.[14]
Wilayah persebaran dialek bahasa Sunda secara alami meliputi daerah Banten di ujung barat hingga ke Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas di sebelah timur. Di bawah ini dijelaskan wilayah tempat digunakannya setiap dialek bahasa Sunda.
Dialek Tenggara pada dasarnya merupakan dialek yang memiliki banyak kemiripan dengan dialek Selatan, tetapi dalam beberapa hal, dialek Tenggara memiliki kekhasannya tersendiri bila dibandingkan dialek lainnya. Wilayah penggunaan dialek ini terutama berada di Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Pangandaran, serta sebagian daerah di Kabupaten Cilacap. Di Kabupaten Ciamis, dialek Tenggara dikenal sebagai bahasa Sunda Ciamis.[26][27][28] Contoh sastrawan yang menggunakan bahasa Sunda Ciamis dalam karya-karyanya adalah Ahmad Bakri yang berasal dari Rancah, Ciamis.[18]
Dialek Timur
Dialek Timur merupakan istilah kolektif untuk beberapa dialek yang dituturkan di wilayah paling timur persebaran bahasa Sunda. Jenis-jenis dialek Timur mencakup:
Dialek yang wilayah penuturannya terkonsentrasi di Kabupaten Majalengka ini dikenal sebagai bahasa Sunda dialek Majalengka atau bahasa Sunda Majalengka.[26] Secara gramatikal, dialek Tengah-Timur tidak menunjukan perbedaan yang signifikan dengan dialek Selatan. Perbedaannya hanya terdapat pada perbedaan kosakata, fonologi, intonasi, dan leksikonnya saja.[31]Ajip Rosidi merupakan seorang sastrawan Sunda yang berasal dari Majalengka, beberapa karyanya menggunakan bahasa Sunda dialek Majalengka.
Kajian diakronis
Deskripsi
Beberapa penelitian dialek geografis bahasa Sunda yang telah dilakukan pada umumnya menggunakan sudut pandang sinkronis yang mengutamakan deskripsi pemunculan dan distribusi di wilayah tertentu. Penelitian dialek geografis bahasa Sunda dengan sudut pandang diakronis, yakni yang menekankan sejarah keberadaan unsur dialek, dapat dikatakan masih jarang.[25] Langkanya kajian diakronis dalam penelitian dialek yang bersifat horizontal di atas menyebabkan penelitian yang membahas bentuk prabahasa Sunda belum dilakukan. Meskipun demikian, sering ditemukan adanya leksikon kuno dalam beberapa dialek menurut beberapa hasil penelitian yang membahas dialek geografis bahasa Sunda. Contohnya, mokla ‘darah’, kotok ‘ayam’, matapoé ‘matahari’, naha atau naeun ‘apa’, tahun ‘tahun’, muhara ‘muara’, buhaya ‘buaya’, hanteu ‘tidak’, apuy ‘api’, turuy atau tuyur ‘turi’, barat ‘barat’, inya ‘Anda’, inyana ‘dia’, beuteung ‘sudah’. Leksikon Mokla ‘darah’ ditemukan dalam dialek Banten, dialek Bekasi, dialek Tangerang, dan dialek Indramayu. Sementara itu, matapoé ‘matahari’ ditemukan dalam dialek di daerah-daerah tadi kecuali di Indramayu.[32]
Dari leksikon-leksikon di atas, beberapa di antaranya dapat ditemukan dalam naskah kuno berbahasa Sunda dan tidak ditemukan dalam ragam bahasa Sunda modern, misalnya, beuteung ‘setelah’ dan inya ‘dialah’ dalam naskah Carita Parahiyangan. Kedua leksikon ini masih digunakan dalam dialek Indramayu. Demikian pula, inyana.[33]
Protobahasa
Perekonstruksian protobahasa dilakukan dengan membandingkan beberapa leksikon bahasa yang berkerabat. Sehingga, etimon hanya dapat diamati pada leksikon yang menampakkan kekerabatan (cognate) pada beberapa bahasa atau dialek. Kotok ‘ayam’ merupakan bentuk arkais, tetapi leksikon ini tidak memiliki kerabat dalam dialek atau bahasa lain sehingga bentuk ini tidak dapat direkonstruksi. Berbeda dengan hayam ‘ayam’ yang dapat direkonstruksi etimonnya berupa *hayam karena leksikon ini memiliki kerabat dengan beberapa bahasa, yakni ayam (bahasa Melayu) dan ajam (bahasa Madura). Hal ini juga berlaku dalam merekonstruksi etimon prabahasa. Inya tidak dapat direkonstruksi bentuk prabahasanya jika hanya ditemukan dalam satu dialek dan tidak ditemukan dalam dialek lain.[33]
Pencabangan
Masih minimnya penelitian dialek geografis bahasa Sunda yang menggunakan sudut pandang diakronis (dialektologi diakronis) mengakibatkan deskripsi pencabangan dialek dalam bahasa Sunda belum ada. Pencabangan ini penting sebagai titik tolak penelusuran etimon prabahasa. Meskipun demikian, dari beberapa hasil penelitian dialek geografis, didapatkan gambaran sementara tentang adanya perbedaan leksikon yang menonjol antara bahasa Sunda Banten dan bahasa Sunda Cirebon pada satu sisi dengan bahasa Sunda lain pada sisi lainnya, misalnya, bahasa Sunda baku dan bahasa Sunda di antara wilayah penuturan dialek Banten dan dialek Cirebon. Gambaran ini memberikan simpulan bahwa, setidaknya ada dua dialek besar dalam bahasa Sunda. Oleh karena itu, dalam perekontruksian prabahasa Sunda, leksikon dari dialek Banten atau dialek Cirebon tidak dapat diabaikan karena banyaknya leksikon kuno yang bertebaran dalam dua dialek tersebut.[34]
Unsur relik
Ciri
Secara umum, perdedaan dialek geografis bahasa Sunda yang menonjol tampak pada perbedaan kosakata, misalnya, ada dialek h dan dialek non-h dan ada dialek berciri fonotaktik eu-u, o-u, a-u, pada satu sisi dan dialek berciri fonotaktik i-u pada sisi lain (misalnya, leuntuh, lontuh, lantuh dengan lintuh ‘gemuk’). Ciri fonotaktik pertama menonjol dalam perbandingan leksikon baku dengan dialek Cirebon (dalam hal ini dialek Indramayu), sedangkan ciri fonotaktik kedua menonjol dalam perbandingan leksikon dialek Banten dan dialek Cirebon dengan leksikon baku dan dialek daerah lain.
Perbedaan lain yang juga cukup menonjol dalam dialek Sunda adalah aksen, yakni perbedaan dalam intonasi, misalnya, dikenal aksen Cigondewah dan Cianjur, yang berbeda dengan aksen baku dan dialek di daerah lain umumnya.[34]
Relasi
Baik dialek standar (Priangan) maupun dialek non-standar, sebagaimana disinggung sebelumnya, dapat menampakkan pewarisan etimon dalam beberapa leksikonnya.
Di bawah ini disajikan tabel yang menunjukkan relasi leksikon antar dialek bahasa Sunda.[37]
Dari data di atas dapat diamati ada beberapa leksikon dialek Sunda yang mencerminkan warisan etimonnya. Leksikon yang dimaksud adalah tapay, batu, mata, turuy atau tuyur, buhaya, oray, ngaran, haseup, haseum, dan haté. Di samping itu, terdapat leksikon lain dalam dialek Sunda, yang memiliki kemiripan bentuk dan berbeda bentuk dari leksikon yang mencerminkan warisan etimonnya, yaitu tapé dan peuyeum ‘tapai’, mungkal ‘batu’, panon ‘mata’, turi ‘turi’, buaya dan baya ‘buaya’, ula ‘ular’, aran ‘nama’, aseup ‘asap’, aseum dan kecut ‘masam’, ati dan angen ‘hati’.[38]
^Istilah basa sakola (bahasa sekolah) memiliki maksud bahwa dahulu kala bahasa Sunda Priangan dijadikan bahan ajar di sekolah-sekolah baik di wilayah Parahyangan maupun di luar Parahyangan, sehingga bahasa Sunda yang dikenal oleh murid-murid di sekolah pada waktu itu dirasa berbeda dengan bahasa Sunda yang mereka gunakan di rumah
^Dalam pengklasifikasian bentuk-bentuk bahasa Sunda, seringkali tidak ada perbedaan yang jelas antara bahasa dan dialek
^Ketika berbicara dengan orang yang dianggap telah akrab, maka orang akan menggunakan basa loma
^Ragam halus dalam bahasa Sunda disebut sebagai basa hormat, yang juga dikenal sebagai basa lemes
Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2022). "Sundanese". Glottolog 4.6. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. doi:10.5281/zenodo.5772642.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |date-access= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Noorduyn, J.; Teeuw, A. (2006). Tiga pesona Sunda kuna. Diterjemahkan oleh Setiawan, H.; Wartini, T.; Darsa, U.A. Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN9789794193563. OCLC881312704.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Sudjana, A.S.H.; Marzuki, A.; Abas, A.; Jayawiguna, R. (1983). Struktur Bahasa Sunda Pesisir Utara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. OCLC14379200.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Sutawijaya, A.; Samsuri, E.; Wahyu, U.J. (1985). Struktur Bahasa Sunda Dialek Bogor. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC565980720.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
——— (1985). Bahasa Sunda di daerah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka. OCLC13979651.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
——— (1975). Laporan Penelitian Geografi Dialek Basa Sunda di Daerah Karesidenan Banten. Jakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
——— (1990). Carita Parahyangan: Satu Kajian Struktur Bahasa Sunda Dialek Temporal. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hardjasudjana, A.S. (1978). Struktur Bahasa Sunda Dialek Banten. Bandung: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. OCLC220438254.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Lauder & M.R.M.T. (1990). Pemetaan dan Distribusi Bahasa-Bahasa di Tanggerang (Tesis Doctoral). Jakarta: Universitas Indonesia. OCLC769723497.
Prawiraatmaja, D. (1977). Penelitian Lokabasa (Geografi Dialek) Bahasa Sunda di Kabupaten Sumedang. Bandung: Fakultas Keguruan Sastra dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung. OCLC69109832.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Suramiharja, Agus; Hidayat, Hidayat; Mulyana, Yoyo; Sjarif, Ny. Tiem Kartimi Sjahrul (1984). Geografi Dialek Sunda Kabupaten Bogor. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. OCLC13495807.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Tawangsih, M.R.M. (1987). Bahasa-Bahasa di Bekasi. Jakarta: Yayasan Panca Mitra. OCLC65053140.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Wahya (1995). Bahasa Sunda di Kecamatan Kandanghaur dan Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu: Kajian Geografi Dialek (Tesis Master). Bandung: Universitas Padjajaran.
——— (2000). "Fonem /h/ dalam Dialek-Dialek Bahasa Sunda". Sastra. 8 (5).
Hermansoemantri, E. (1987). Kamus Bahasa Sunda Kuna - Indonesia. Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). OCLC30059819.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (1976). Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate. OCLC1073402765.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda (1983). Kamus Umum Basa Sunda (edisi ke-4). Bandung: Tarate. OCLC417565722.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Satjadibrata, R. (1954). Kamus Basa Sunda. Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P.K. OCLC250673086.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)