Babad

Babad adalah salah satu genre sastra, khususnya dalam sastra Jawa. Karya-karya sastra bergenre babad biasanya mengandung campuran antara sejarah, mitos, dan kepercayaan.[1] Menurut M. C. Ricklefs, ketepatan kandungan babad beragam, tetapi sejumlah di antaranya dapat dianggap agak tepat dan sumber sejarah yang berarti.[2] Menurut Raden Hamzaiya pustakawan Santana Kesultanan Cirebon menyatakan jika Babad adalah kesatuan kajian ilmu berkaitan dengan alur sebuah sejarah yang disusun dalam sebuah pupuh

Sebagian besar babad ditulis dalam bentuk macapat (puisi), namun ada juga yang ditulis dalam bentuk gancaran (prosa). Ada sebagian kecil babad yang ditulis dalam bahasa Bali. Di Bali, karya-karya bergenre babad umumnya ditulis pada masa Kerajaan Gelgel (1340-1705).[1]

Etimologi

Kata babad berasal dari bahasa Jawa yang bermakna "membuka lahan baru" atau "menebangi pohon di hutan". Hubungannya dengan genre sastra babad ialah bahwa kisah atau sejarah suatu daerah biasanya dimulai dengan pembukaan daerah tersebut.

Pengelompokan

Menurut jenis tulisannya, babad dikelompokkan menjadi macapat (puisi) dan gancaran (prosa). Meski sebagian besar babad ditulis dalam bentuk macapat, tetapi ada juga yang ditulis dalam bentuk gancaran seperti Babad Pagedhongan dan Babad Sruni.[1]

Menurut kandungannya, babad sering dikelompokkan menjadi tiga jenis.[1]

  1. Babad yang memuat sejarah suatu tempat seperti: Babad Tanah Jawi, Babad Kartasura, Babad Banten, Babad Bandawasa, Babad Pathi, Babad Wirasaba, Babad Brebes, dan Babad Kebumen
  2. Babad yang memuat sejarah seorang tokoh seperti: Babad Ajisaka, Babad Arungbinang, Babad Dipanegara, Babad Mangkubumi, Babad Pakualaman, Babad Sultan Agung, Babad Trunajaya, Babad Untung Surapati, dan Babad Brawijaya
  3. Babad yang memuat suatu peristiwa seperti: Babad Bedhah Ngayogyakarta, Babad Giyanti, Babad Pacina, dan Babad Prayut

Menurut bahasanya, sebagian besar babad ditulis dalam bahasa Jawa. Hanya sebagian kecil babad ditulis dalam bahasa lain seperti Babad Pasek, Babad Arya, dan Babad Buleleng yang ditulis dalam bahasa Bali[1] dan Bhābhād Soengenep yang ditulis dalam bahasa Madura.

Kandungan

Babad sering kali mengandung unsur-unsur irasional dan magis yang mengagungkan raja dan wangsanya (dinasti). Pengagungan tersebut dianggap sebagai upaya memperbesar tuah dan kesaktian seorang raja sebagai pusat penyembahan dan wakil Tuhan di dunia.[1]

Berikut ini contoh pengagungan tersebut dalam Babad Pagedhongan.

Teks bahasa Jawa Terjemahan
Kanjeng Sultan Agung paring pangandika manèh, "Kakang Pengulu, muga aja ndadekaké kaliruning pamikirmu, ing sarèhning ingsun iki Kalifatullah, apa ora béda karo kawulaningsun?" Kyai Pangulu matur, "Nuwun saèstu sanès sanget katimbang kaliyan kawula dalem. Sabab sarira dalem Nata, punika wewakiling Allah mustikaning jagad raya jumeneng ngasta pangwasa kukum adil leres, langgeng rineksèng bawana." Kanjeng Sultan Agung bersabda kembali, "Penghulu, jangan engkau salah paham, karena aku ini Kalifatullah, apakah aku ini tidak berbeda dengan rakyatku?" Kyai Penghulu menjawab, "Memang sangat berbeda jika dibandingkan dengan rakyat Paduka. Sebab Paduka adalah raja yang menjadi wakil Allah dan mustika jagad raya, penguasa dunia yang menguasai hukum yang adil dan benar, abadi menguasai dunia."

Referensi

  1. ^ a b c d e f Widati, Rahayu & Prabowo 2015, hlm. 49-50.
  2. ^ M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8

Daftar pustaka


Strategi Solo vs Squad di Free Fire: Cara Menang Mudah!