Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin hasil metabolisme kapang. Adapun jenis kapang yang memproduksi aflatoksin diantaranya A.bombycis, A. ochraceoroseus, A. pseudotamari, A.tamarii, Emericella astellata dan Emericella venezuelensis, yang langka ditemukan di alam dan pertanian dibandingkan dengan A.flavus dan A.parasitica.[1] Pada awalnya aflatoksin ini ditemukan pada tahun 1960 di Inggris. Pada saat itu terjadi kematian kalkun dalam jumlah yang besar sekitar 100.000 kalkun mati setelah makan kacang tanah yang terkontaminasi aflatoksin. Lalu mereka memberikan nama penyakit tersebut “Turkey X”[2]. Kematian ribuan kalkun tersebut diduga dari pakan ternak yang diberikan. Setelah dianalisis aflatoksin ini dapat dihasilkan oleh jenis kapang dari genus Aspergillus, yaitu Aspergillus flavus[3].Toksin ini banyak ditemukan didaerah dengan iklim panas dan lembap, diantaranya pada suhu 27-40˚C (80-104˚F) dan kelembapan 85%. Kelembaban yang tinggi memicu perkembangan A. flavus untuk memproduksi aflatoksin.[4] Toksin ini dikenal dengan senyawanya yang stabil dan tahan selama pengolahan makanan. Oleh karena itu, cemaran ini perlu diperhatikan lebih selama proses produksi, pengolahan, maupun penyajian baik kemasan ataupun hidangan.
Indonesia merupakan negara yang terletak di garis khatulistiwa dan memiliki iklim tropis serta kelembapan yang tinggi. Hal ini berpengaruh kepada rentannya cemaran aflatoksin dalam pangan dan pakan ternak termasuk akan terdapat pada produk ternaknya (telur, daging, dan hati) dan juga dapat menurunkan mutu produk. Sehingga, cemaran aflatoksin di Indonesia sangat mungkin terjadi. Pada tahun 2003 dilaporkan bahwa produk olahan kacang tanah dari Indonesia ditolak di mancanegara karena menganding aflatoksin diluar batas yang diizinkan.[5]
Batas Cemaran Aflatoksin
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2018[6]
Dalam bentuk pencegahan penyakit-penyakit baru yang disebabkan aflatoksin. Pemerintah mengeluarkan aturan terkait batasan cemaran aflatoksin dalam pangan. Hal ini guna untuk menjaga kualitas pangan maupun sumber daya manusia di Indonesia. Berikut adalah batas cemaran aflatoksin menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dikeluarkan tahun 2018.
No.
Jenis pangan
Batas Maksimum
(ppb atau µg/kg)
B1
M1
Total
(B1+B2+G1+G2)
1.
Produk olahan kacang tanah
15
-
20
2.
Rempah-rempah dalam bentuk utuh maupun bubuk
15
-
20
3.
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) berbasis serealia dan pangan untuk kebutuhan medis khusus untuk bayi dan anak
0,5
-
-
4.
Produk olahan jagung
15
-
20
5.
Produk olahan kacang-kacangan selain kacang tanah
-
-
15
(sebagai bahan baku)
10
(dalam bentuk produk siap konsumsi)
6.
Susu dan produk olahannya (yang termasuk kategori pangan 01.1-01.8)
-
0,5*
-
7.
Formula bayi; formula lanjutan; formula pertumbuhan; formula untuk keperluan medis khusus; pangan untuk ibu hamil dan/atau ibu menyusui berbasis susu
-
0,03*
-
*Produk dalam bentuk siap konsumsi
Jenis-Jenis Aflatoksin
Toksin ini terdiri dari 20 varian jenis, namun yang paling sering dijumpai diantaranya:
1. Aflatoksin B1 (AFB1) dan Aflatoksin B2 (AFB2)
Dalam urutannya dari aflatoksin yang lain, aflatoksin B1 ini berada di posisi pertama. Aflatoksin ini merupakan toksin yang sangat kuat, sehingga memberikan pengaruh tinggi terhadap tubuh yaitu berupa karsinogen ataupun mengganggu fungsi organ tubuh lainnya. Dimana, aflatoksin ini merupakan peyebab dalam pemicu kanker, dan kanker yang ditimbulkan biasanya kanker hati. Hati berperan dalam proses pencernaan. Karena, aflatoksin biasanya terdapat dalam pangan. Senyawa-senyawa toksin tersebut diberi nama sesuai dengan karakteristik warna fluoresensi pada saat pendeteksian menggunakan gelombang ultraviolet (λ = 365 nm) setelah pemisahan senyawa menggunakan kromatografi lapis tipis (thin layer chromatography).[7]
Selain aflatoksin B1 (AFB1) ada juga aflatoksin B2. Aflatoksin ini merupakan toksin turunan dari aflatoksin B1. Sama halnya aflatoksin B1, aflatoksin ini juga menunjukkan fluoresensi warna biru (blue). Toksin ini terbentuk ketika adanya penurunan pH, sehingga aflatoksin B1 tidak terdeteksi. Selain itu, aflatoksin B2 (AFB2) juga dapat menyebabkan berbagai penyakit sama halnya dengan aflatoksin B1 (AFB1). Sehingga, kehadiran aflatoksin ini juga perlu dihindari agar tidak terbentuknya zat karsinogen dalam tubuh.
2. Aflatoksin G1 (AFG1) dan Aflatoksin G2 (AFG2)
Selain aflatoksin aflatoksin B1 (AFB1) dan aflatoksin B2 (AFB2) adapun jenis lain yaitu aflatoksin G1 (AFG1) dan aflatoksin G2 (AFG2). Senyawa-senyawa toksin tersebut diberi nama sesuai dengan karakteristik warna fluoresensi pada saat pendeteksian menggunakan gelombang ultraviolet (λ = 365 nm) setelah pemisahan senyawa menggunakan kromatografi lapis tipis (thin layer chromatography).[7] Toksin ini memiliki fluoresensi berwarna hijau (green). Aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus.
3. Aflatoksin M1 (AFM1) dan Alfatoksin M2 (AFM2)
Aflatoksin M1 dan aflatoksin M2 merupakan metabolit aflatoksin B1 dan aflatoksin B2 yang terhidroksilasi dan dapat dijumpai dalam susu dan olahan susu yang diperoleh dari hewan yang mengonsumsi pakan yang tercemar aflatoksin[8]. Toksin ini umumnya terbentuk pada hewan ruminansia. Contoh hewan ruminansia diantaranya yaitu sapi. Ketika aflatoksin B1 masuk ke dalam rumennya, maka aflatoksin ini akan diubah menjadi aflatoksin M1 dan residu ini juga akan terdapat pada produknya yaitu susu.[9] Contohnya ketika sapi mengonsumsi pakan yang mengandung aflatoksin B1 maka produksinya termasuk susu akan terdampak hasil hidrolisisnya yaitu aflatoksin M1 dalam susu. Selain itu, terdapat aflatoksin M2 (AFM2) toksin turunan dari aflatoksin M1 (AFM1). Selain susu, toksin ini juga terdapat dalam olahan susu atau turunannya. Kedua aflatoksin ini juga memiliki dampak yang buruk jika dikonsumsi. Hal ini menyebabkan adanya juga batasan cemaran untuk aflatoksin M1 (AFM1) dan alfatoksin M2 (AFM2). Aflatoksin M1 memungkinkan terjadinya karsinogen, genotoksik, dan hepatoksik.[10]
Jenis-jenis Pangan dan Pakan yang Rentan Terkontaminasi Aflatoksin
Berikut adalah beberapa jenis pangan yang mudah tercemar oleh aflatoksin:
1. Kacang- kacangan
Kacang-kacangan merupakan salah satu jenis pangan yang mengandung banyak sekali manfaat. Selain itu, kacang-kacangan sangat mudah ditemukan juga memiliki banyak varian jenis. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa adanya aflatoksin dalam kacang-kacangan. Terdapat aflatoksin yang melebihi anjuran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yaitu pada kacang kedelai.[11] Selain itu ditemukan aflatoksin dalam kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang kedelai, dan olahannya.[7] Oleh karena itu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan batasan cemaran aflatoksin dalam kacang maupun produk olahannya. Kacang dan olahannya dapat tercemar saat proses produksi, panen, ataupun penyimpanan. Hal yang tidak memenuhi standar memungkinkan adanya cemaran aflatoksin dalam jenis pangan ini. Pada kejadian pertama kali ditemukan toksin ini yaitu adanya aflatoksin dalam kacang yang diberikan dalam pakan hewan kalkun.
2. Sereal
Serelia merupakan hal yang tidak asing bagi kehidupan manusia. Sereal digunakan sebagai sumber karbohidrat utama bagi manusia. Sereal sendiri memiliki banyak jenis seperti beras, gandum, dan jagung. Pada umumnya banyak penelitian yang membuktikan bahwa jenis serelia juga dapat tercemar oleh mikotoksin jenis aflatoksin ini. Adapun jenis serelia yang diteliti yaitu jagung. Salah satu hasil komoditi pertanian yang mudah terkontaminasi oleh kapang Aspergillus adalah jagung.[12] Pada penelitian disebutkan bahwa adanya tingkat cemaran kapang A. flavus pada jagung yang berpotensi memunculkan aflatoksin pada jagung.[13] Selain itu, hal ini juga akan berpengaruh kepada produk olahan dari jagung. Hal ini tentunya akan membahayakan bagi kesehatan. Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa banyak pengaruh adanya kapang penyebab aflatoksin ini, diantaranya yaitu pada tingkat pengumpul, kelembapan, dan ruang lingkungan penyimpanan. Sehingga, hal-hal tersebut perlu diperatikan dalam pengelolaannya. Selain pada jagung, menurut beberapa penelitian di luar negeri juga terdapat aflatoksin yang mencemari komoditi beras. Di Indonesia sendiri, untuk pencemaran aflatoksin dalam komoditi beras belum ditemukan.
3. Hewan dan Produk Turunannya
Hewan dapat menjadi sasaran dalam pencemaran aflatoksin. Beberapa dampak dari aflatoksin terhadap hewan diantaranya mempengaruhi gangguan kesehatan pada hewan seperti menurunnya kualitas dan kuantitas produksi telur,[14] menurunkan tingkat pertumbuhan, produksi susu atau telur, dan menyebabkan imunosuspresi.[15] Susu merupakan minuman untuk menambah suplementasi bagi manusia. Selain itu, banyak jenis susu yang dikonsumsi, diantaranya susu sapi, susu kambing, dan susu unta. Namun, susu sapi adalah susu yang paling banyak dikonsumsi. Hal ini dikarenakan mudah ditemukan dan jumlahnya cukup banyak. Di pasar komersial susu sapi lebih banyak telah mengalami pasteurisasi. Namun, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa susu terdeteksi mengandung cemaran toksin yang tidak diinginkan yaitu salahsatunya aflatoksin. Selain susu, hal ini juga memungkinkan adanya cemaran dalam produk susu seperti keju. Hal ini menyebabkan yang seharusnya susu dapat membawa dampak baik bagi tubuh namun sebaliknya. Di Asia terutama India, Iran, dan Pakistan positif ditemukan adanya susu yang terkontaminasi aflatoksin M1. Aflatoksin M1 dan aflatoksin M2 merupakan metabolit aflatoksin B1 dan aflatoksin B2 yang terhidroksilasi dan dapat dijumpai dalam susu dan olahan susu yang diperoleh dari hewan yang mengonsumsi pakan yang tercemar aflatoksin.[8] Hal ini bisa disebabkan oleh pakan ternak yang sudah terkontaminasi aflatoksin. Di Bangladesh terdapat penelitian menunjukkan adanya aflatoksin M1 dalam susu[16]. Di India sendiri regulasi mengenai cemaran aflatoksin M1 pun masih rendah, sehingga tidak banyak peneliti yang melakukannya. Oleh karena itu, perlu perhatian terhadap toksin ini. Di Indonesia Badan Pengawas Obat dan Makanan telah mengatur dalam regulasi Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Batas Maksimum Cemaran Kimia dalam Pangan Olahan.[6]
Dampak Aflatoksin
1. Dampak Aflatoksin Terhadap Hewan
Hewan merupakan makhluk hidup yang memiliki organ tubuh yang hampir mirip dengan manusia. Hal ini tidak menutup kemungkinan hewan juga menjadi tercemar oleh aflatoksin dalam tubuhnya. Dalam hewan aflatoksin menyebabkan dampak terhadap kesehatan maupun produk dari hewan tersebut. Beberapa dampak dari aflatoksin terhadap hewan diantaranya mempengaruhi gangguan kesehatan pada hewan seperti menurunnya kualitas dan kuantitas produksi telur,[14] menurunkan tingkat pertumbuhan, produksi susu atau telur, dan menyebabkan imunosuspresi,[15] dan aflatoksin juga menyebabkan perubahan bobot organ bagian dalam pada hewan, seperti pembesaran hati, ginjal, dan fatty liver syndrome.[12]
2. Dampak Aflatoksin Terhadap Manusia
Keracunan aflatoksin (aflatoksikosis) sering terjadi di hampir seluruh belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang yang sistem keamanan pangannya tidak atau belum berjalan dengan baik.[4] Berikut adalah beberapa dampak aflatoksin terhadap tubuh manusia:
1. Karsinogenik
Karsinogenik merupakan zat penyebab timbulnya kanker dalam tubuh manusia. Jika terdapat zat ini dalam tubuh hal ini memungkinkan tubuh terdapat sel kanker yang terbentuk. Aflatoksin diketahui memiliki posisi peretama alam hal zat karsinogenik. Aflatoskin B1 memegang peran sebagai faktor pemacu mutasi gen sel hati yang selanjutnya dapat menimbulkan kanker sel hati . Aflatoksin B1 merupakan salah satu penyebab terjadinya kanker pada manusia.[17] Pada hewan jika terjadi penyakit liver karena aflatoksin B1 ini ditandai dengan menurunnya produksi telur, susu, dan bobot tubuhnya.
2. Genotoksik
Genotoksisitas merupakan kemampuan bahan kimia untuk merusak informasi genetik di dalam sel sehingga mengakibatkan mutasi sel. Efek genotoksik terdiri dari titik mutasi sepanjang rantai DNA, kerusakan struktur keseluruhan DNA, atau kerusakan pada struktur kromosom yang mengandung DNA yang dituju.[18] Aflatoksin B1 dan aflatoksin G1 menunjukkan adanya potensi genotoksik.[19]
3. Hepatoksik
Hati berperan dalam prorses metabolism makanan. Oleh karena itu, hati merupakan organ target utama dalam pencemaran aflatoksin dan karsinogen. Aflatoksis dapat berpotensi menjadi hepatitis akut letal dengan mual, sakit di bagian perut, dan dapat menimbulkan kematian.[20]
4. Nefrotoksik
Ketika aflatoksin tidak mampu dikeluarkan melalui pencernaan maka aflatoksin akan dikeluarkan dalam bentuk urin. Hal ini kemungkinan akan adanya kerusakan pada ginjal. Di uji coba dalam hewan pengerat, bahwa aflatoksin dapat menginduksi dan mempengaruhi tubulusinterstisial serta ukuran glomerulus secara histologis dan ultrastruktural.[21] Tentunya hal ini akan memengaruhi fungsi fisiologis dari ginjal.
5. Imonusupresif
Aflatoksin dapa menyebabkan imunosuspresi, yang dapat menambah agen infeksi seperti pada penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan tuberklosis.[22] Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas aflatoksin, penurunan aktivitas vitamin K dan penurunan aktivitas fagositosis makrofag.
6. Kwashiorkor
Kwashiorkor merupakan salah satu malnutrisi pada anak. Penyakit ini biasanya terkait karena kekurangan energi protein (KEP). Dan dapat ditandai dengan pertumbuhan rambut jagung pada anak penderitanya. Penyakit ini biasanya muncul didaerah dengan krisis pangan tinggi dan ketahanan pangannya yang rendah. Beberapa kelainan malnutrisi pada anak di Afrika Utara dan dan tempat lain pada populasi kekurangan gizi, yang biasanya dikaitkan dengan kekurangan gizi, dan juga dihubungkan dengan asupan aflatoksinsesuai dengan penelitian observasi.[23]
KLT densitometri merupakan metode analisis yang masih dimanfaatkan hingga saat ini. Analisis aflatoksin dilakukan menggunakan fase diam lempeng KLT silica gel 60 F254 ukuran 20 10 cm dengan fase gerak kloroform-etil asetat (7:3). Deteksi dan kuantitasi dilaksanakan menggunakan alat pemindai KLT densitometri, detektor fluoresensi, pada panjang gelombang eksitasi maksimum 354 nm dan emisi 400 nm. Metode ini mempunyai batas deteksi (limit of detection, LOD) untuk aflatoksin B1 sebesar 9,62 pg dan untuk aflatoksin G1 sebesar 10,9 pg. Sementara itu, batas kuantitasi (limit of quantitation, LOQ) untuk aflatoksin B1 dan G1 masing-masing sebesar 32,08 pg dan 36,41 pg.1
2. Kromatografi Cairan Kinerja Tinggi (KCKT)
Analisis aflatoksin dengan KCKT dilakukan dengan menggunakan sistem KCKT fase terbalik dengan kondisi sebagai berikut: kolom silika yang terikat dengan C-18 panjang 15 cm, fase gerak air-metanol-asetonitril (50:40:10), kecepatan alir 0,8 ml/menit, suhu ruang, volume injeksi 10 µl pada konsentrasi 0,044 mg/ml, dan detektor fluoresensi. Panjang gelombang eksitasi maksimum dan panjang gelombang emisi untuk detektor fluoresensi adalah 365 nm dan 455 nm
3. Enzym-Linked Immunisorbent Assay (ELISA)
Hasil dari ELISA adalah suatu warna sebagai hasil reaksi antara enzim dan substrat. Warna yang dihasilkan dapat diidentifikasi secara kasat mata dan dibaca secara kuantitatif menggunakan ELISA plate reader atau spektrofotometer kanal ganda. Pembacaan ini memungkinkan data diperoleh dengan cepat, dapat disimpan dan dianalisis secara statistik. Reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, waktu analisis yang cepat, dan dapat digunakan untuk mendeteksi sampel tunggal maupun banyak sekaligus merupakan keunggulan penggunaan ELISA sebagai teknik analisis.
^Pietri, A., & Piva, G (2012). "Aflatoxins in foods". Italian Journal of Public Health. 4 (1).
^Utami, T., Nugroho, F. H. A., Usmiati, S., Marwati, S., & Rahayu, E. S (2012). "PENURUNAN KADAR AFLATOKSIN B1 PADA SARI KEDELAI OLEH SEL HIDUP DAN SEL MATI Lactobacillus acidophilus SNP-2 [Reduction of Aflatoxin B1 in Soymilk by Viable and Heat-killed Lactobacillus acidophilus SNP-2]". Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 23 (1): 58.
^Kusumaningrum, H. D., Toha, A. D., Putra, S. H., & Utami, A. S (2010). "CEMARAN ASPERGILLUS FLAVUS DAN AFLATOKSIN PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA [Contamination of Aspergillus flavus and Aflatoxin at Distribution Chain of Maize Based Food Product and its Influencing Factors]". Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 21 (2): 171.