Yakobus Zhou Wen-mo adalah seorang martir Katolik Korea kelahiran Tiongkok. Zhou Wen-mo lahir pada tahun 1752 di Su-Tcheou, Provinsi Jiang-nan, Tiongkok. Kedua orang tuanya meninggal ketika dia masih anak-anak dan ia dibesarkan oleh seorang bibinya. Ia mengenal ajaran iman Katolik melalui pewartaan para missionaris dan dibaptis dengan nama Yakobus. Ia lalu masuk seminari keuskupan di Beijing, dan ditahbiskan menjadi imam lulusan pertama dari seminari tersebut.
Pada waktu itu, Uskup Alexandre de Gouvea dari Beijing tengah berpikir untuk mengirimkan seorang misionaris ke Korea. Beliau lalu menunjuk pater Yakobus Zhou untuk menjadi misionaris di semenanjung Korea. Bapa Uskup memilihnya berdasarkan kemampuan yang diperlukan dalam menjalankan pelayanannya.
Yakobus Zhou meninggalkan Beijing pada bulan Februari 1794. Ia dijemput secara rahasia oleh dua orang utusan Gereja Katolik Korea, Sabas Ji-Hwang dan Yohanes Pak, di didekat perbatasan Tiongkok – Korea. Namun mereka tidak bisa segera menyeberang ke Korea karena harus menunggu sampai Sungai Yalu (orang Korea menyebutnya: Sungai Amnok) membeku, agar dapat diseberangi. Sambil menanti datangnya musim dingin, pater Zhou mengunjungi umat Katolik di wilayah Liao-dong dan tinggal disitu selama beberapa bulan. Dia baru bisa menyeberangi Sungai Yalu tanggal 24 Desember 1794 dengan menyamar sebagai orang Korea.
Pater Yakobus Zhou tiba di Seoul dan tinggal di rumah Matias Choe In-gil, di wilayah Gyedong (Sekarang Gye-dong, Jongno-gu, Seoul). Dia mulai belajar bahasa Korea dan merayakan misa perdananya bersama umat Katolik Korea pada hari Minggu Paskah tahun 1795. Setelah beberapa waktu, keberadaannya diketahui oleh polisi Kerajaan dan mereka berupaya untuk menangkapnya. Dalam sebuah penggrebekkan Pater Yakobus Zhou berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di rumah Kolumbanus Kang Wan-suk. Namun para katekisnya, Beato Paulus Yun Yu-il dan Beato Sabas Ji-Hwang, serta pemilik rumah Beato Matias Choe In-gil tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Mereka bertiga kemudian gugur sebagai martir Kristus.
Walau dikejar-kejar oleh polisi Kerajaan, Yakobus Zhou tetap merayakan misa bersama umat Katolik Korea secara sembunyi-sembunyi. Ia juga berkeliling memberikan pelayanan Sakramen dan membentuk Myeongdohoe, sebuah perkumpulan awam untuk belajar Katekese dan Kitab Suci. Dia juga menulis buku Katekismus dalam bahasa Korea. Dalam waktu enam tahun karyanya sebagai misionaris, umat Katolik di Korea mulai bertumbuh dari empat ribu orang menjadi Sepuluh Ribu orang.
Pada tahun 1800, Raja Jeongjo (Raja ke-22 dari Dinasti Joseon) meninggal dunia dan digantikan oleh puteranya Pangeran Sun-jo yang saat itu masih berusia sebelas tahun. Pergantian kekuasaan ini memiliki dampak politik dimana kekuasaan berpindah-pindah dari satu fraksi ke fraksi lain. Gereja Katolik Korea yang baru saja bertumbuh terjebak dalam pertarungan politik. Penganiayaan terhadap Gereja Katolik mulai terjadi pada tahun 1801 dan dikenal sebagai masa Penganiayaan Sinyu. Umat Katolik satu per satu mulai ditangkapi dan dimasukkan ke dalam penjara. Mereka lalu disiksa agar murtad dan meninggalkan iman mereka akan Yesus Kristus. Ribuan Umat Katolik Korea tewas sebagai saksi Kristus pada masa penganiayaan ini.
Pater Yakobus Zhou sangat sedih mendengar tentang penyiksaan yang dialami oleh umatnya. Ia mulai berpikir bahwa umat Katolik Korea terbunuh gara-gara dia. Karena itu ia memutuskan untuk kembali ke Tiongkok. Namun, beberapa waktu kemudian ia berubah pikiran. “Aku harus berbagi nasib dengan umatku dan meringankan penganiayaan dan kemartiran mereka.” katanya. Ia lalu memutuskan untuk menyerahkan diri.
Pada tanggal 11 Maret, Yakobus keluar dari tempat persembunyiannya dan muncul dihadapan para penganiaya. Dengan segera ia ditahan dan diinterogasi. Meskipun ia telah disiksa dengan kejam, imam ini tetap menjawab pertanyaan para penyiksanya dengan bijak dan hati-hati.
“Satu-satunya alasan saya datang ke Korea, dengan ditemani Sabas Ji-Hwang, dan melewati berbagai ancaman marabahaya di perbatasan, adalah karena saya mencintai orang Korea. Ajaran Yesus tidak jahat. Melakukan perbuatan yang merugikan orang lain ataupun negara, itu dilarang oleh Sepuluh Perintah Allah, namun demikian, saya tidak dapat melaporkan mengenai urusan Gereja.”
Ia terus-menerus menjalani penyiksaan selama mendekam dipenjara. Pada akhirnya para penganiaya menyadari bahwa mereka tidak akan memperoleh keterangan apapun darinya. Dengan marah mereka lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya berdasarkan hukum militer. Ia akan dipenggal dan kepalanya akan digantung di gerbang perkemahan (mungkin kamp Militer).
Pada tanggal 31 Mei 1801 (19 April berdasarkan penanggalan Lunar), Pater Yakobus Zhou yang saat itu berusia 49 tahun dipenggal di Saenamteo, di dekat sungai Han. Saat hukuman mati berlangsung para saksi mata menuturkan :
“Langit yang cerah tiba-tiba menjadi gelap. Sebuah badai yang hebat menerbangkan bebatuan di sekitarnya. Jarak pandang hanya satu inchi karena hujan yang lebat. Begitu eksekusi selesai, awan-awan menghilang. Sebuah pelangi yang terang muncul di langit. Kemudian menghilang ke langit sebelah timur laut.”
Yakobus Zhou Wen-Mo adalah salah seorang dari 103 Martir Korea. Ia dibeatifikasi pada tanggal 15 August 2014 oleh Paus Fransiskus.[1]
Referensi