Xiongnu (Hanzi: 匈奴; Pinyin: Xiōngnú; Wade–Giles: Hsiung-nu; Middle ChineseGuangyun: [xi̯woŋ˥˩nu˩]) adalah bangsa kuno berbasis nomad yang mendirikan suatu negara atau konfederasi di Mongolia dan Tiongkok.[3] Sebagian besar informasi mengenai Xiongnu berasal dari sumber-sumber Tiongkok, sehingga nama-nama dan gelar Xinongnu yang diketahui sekarang merupakan transliterasi bahasa Tionghoa dari bahasa asli Xiongnu.
Identitas inti etnik Xiongnu tak diketahui secara pasti, karena hanya sedikit kata, terutama gelar dan nama pribadi, yang terdapat dalam sumber-sumber Tiongkok. Pendapat dari sejarawan mengenai bahasa yang dituturkan oleh bangsa Xiongnu antara lain bahasa Mongol, bahasa Turk, bahasa Yenisi,[4][5]bahasa Tokharia, dan bahasa Ural.[6] Nama Xiongnu kemungkinan merupakan kognat bagi nama suku Hun, namun bukti untuk pendapat ini cukup kontroversial.[5][7]
Sumber-sumber Tiongkok dari abad ke-3 SM melaporkan bahwa bangsa Xiongnu mendirikan sebuah kekaisaran di bawah Modu Chanyu, pemimpin agung mereka setelah tahun 209 SM.[8] Kekaisaran ini membentang melampau perbatasan Mongolia modern. Setelah mengalahkan suku Yuezhi yang sebelumnya dominan pada abad ke-2 SM, Xiongnu menjadi kekuasaan yang dominan di stepa di Asia timur. Mereka aktif di Siberia, Mongolia, Manchuria barat, dan provinsi Mongolia Dalam, Gansu dan Xinjiang di Tiongkok. Hubungan antara dinasti-dinasti awal Tiongkok dengan Xiongnu cukup rumit, dengana adanya periode konflik militer dan intrik yang berulang dan silih berganti, serta ada pula pertukaran upeti, perdagangan, dan kesepakatan pernikahan.
Sejarah
Sejarah awal
Sima Qian menuliskan, berdasarkan catatan Tiongkok yang lebih awal (Tawarikh Babmu), bahwa klan penguasa Xiongnu merupakan keturunan Chunwei (淳維 "suku Chun"), kemungkinan putra Jie, penguasa terakhir dari Dinasti Xia yang kemungkinan merupakan legenda (sek. 2070–1600 SM).
Xiongnu pada awalnya merupakan kumpulan suku kecil yang tinggal di dataran tinggi Mongolia yang tandus. Mereka diakui sebagai salah satu noman paling terkenal yang berbatasan dengan Kekaisaran Han.[9] Selama Dinasti Zhou Timur (1045–256 SM), kampanye militer oleh negara bawahan Zhou untuk menekan "bangsa barbar" jahat lainnya memungkinkan Xiongnu untuk memperoleh kesempatan untuk mengisi kekosongan kekuasaan. Nomad yang baru bangkit ini menjadi permasalahan besar bagi Tiongkok, karena gaya hidup mereka yang berbasis kuda membuat mereka mampu melancarkan invasi secara cepat dan menyerbu pedesaaan dan perkotaan kecil. Selama Periode Negara Perang (476–221 SM), tiga dari tujuh negara perang berbatasan dengan wilayah Xiongnu, dan serangkaan benteng pertahanan yang saling bersambungan pun dibangun, yang kelak digabungkan menjadi Tembok Besar.
Selama Dinasti Qin (221 hingga 206 SM), pasukan Tiongkok, di bawah komando Jenderal Meng Tian, menghalau bangsa Xiongnu hingga mereka menjauh. ia juga merebut kembali daerah Ordos. Kehadiran suku Donghu yang kuat di timur dan suku Yuezhi di barat juga membuat bangsa Xiongu semakin terdesak, memaksa mereka berpindah lebih jauh ke utara selama dekade berikutnya. Dengan runtuhnya Dinasti Qin dan perang saudara yang terjadi selanjutnya (206–202 SM), bangsa Xiongnu, di bawah ChanyuToumen, mampu bermigrasi kembali ke wilayah perbatasan Tiongkok.
Konfederasi
Pada 209 SM, tiga tahun sebelum berdirinya Dinasti Han, Xiongnu bersatu dalam sebuah konfederasi yang kuat di bawah seorang chanyu baru yang bernama Modu Chanyu. Kesatuan politik yang baru ini mengubah mereka menjadi negara yang lebih tangguh dengan memungkinkan pembentukan pasukan yang lebih besar dan kemampuan untuk melaksanakan koordinasi strategi yang lebih baik. Alasan untuk menciptakan konfederasi tidak diketahui secara pasti. Diduga bahwa mereka membutuhkan negara yang lebih kuat untuk berhadapan dengan penyatuan Tiongkok oleh Qin[10] yang berakibat pada lepasnya Ordos di tangan Meng Tian, atau krisis politik yang melanda Xiongnu pada tahun 215 SM, ketika pasukan Qin mengusir mereka dari padang rumput mereka di Sungai Kuning;[11]
Setelah menjalin kesatuan dalam negeri, Modi memperluas kekaisarannya ke segala arah. Ke utara, ia menaklukan sejumlah bangsa nomad, termasuk suku Dingling di Siberia selatan. Ia memusnahkan kekuasaan suku Donghu di Mongolia timur dan Manchuria, serta mengalahkan Yuezhi di Koridor Hexi di Gansu di mana putranya Jizhu membuat membuat gelas dari tengkorak raja Yuezhi. Modu juga menduduki ulang semua wilayah yang sebelumnya direbut oleh jenderal Qin, Meng Tian. Di bawah kepemimpinan Modu, Xiongnu menjadi ancaman bagi Dinasti Han, bahkan nyaris membuat Liu Bang kehilangan tahtanya pada 200 SM.[9] Setelah Modu meninggal pada 174 SM, Xiongnu telah mengusir suku Yuezhi dari Koridor Hexi, membunuh raja Yuezhi dalam prosesnya dan memantapkan kehadiran mereka di Daerah Barat Xinjiang.
Setelah masa Modu, para pemimpin Xiongnu berikutnya membentuk sistem organisasi politik dualisme dengan cabang Xiongnu kiri dan kanan dibagi pada basis regional. Chanyu atau shan-yü – penguasa tertinggi yang setara dengan "Putra Langit" di Tiongkok – memiliki otoritas langsung atas wilayah di tengahnya. Longcheng (蘢城), dekat Khöshöö Tsaidam di Mongolia, menjadi tempat pertemuan tahunan dan dijadikan ibu kota Xiongnu.[12]
Pada musim dingin tahun 200 SM, menyusul pengepungan Taiyuan, Kaisar Gao secara langsung memimpin sebuah kampanye militer melawan Modun. Pada Pertempuran Baideng, ia disergap oleh pasukan yang diduga berjumlah sekitar 300.000 kavaleri elite Xiongnu. Sang kaisar terputus dari perbekalan dan bala bantuan selama tujuh hari, dan nyaris tak dapat melarikan diri.
Setelah kekalahan di Pingcheng, kaisar Han mengabaikan solusi militer terhadap ancaman Xiongnu. Alih-alih, pada 198 SM, pejabat istana, Liu Jing (劉敬) dikirim untuk bernegosiasi. Kesepakatan damai akhirnya dicapai antara kedua belah pihak, yang meliputi pernikahan pangerah Han dalam suatu chanyu (disebut heqin 和親 untuk "kekerabatan harmonis"); hadiah rutin untuk Xiongnu yang berupa sutra, minuman keras, dan beras; status yang setara antara kedua negara; dan Tembok Besar sebagai perbatasan bersama.
"The nomads had their own concept of Great Unity: they believed that the high god of the steppe, Heaven/Tengri, confers the right to rule on a single charismatic clan. This notion had already emerged vividly in the Xiongnu empire, and it surely influenced the nomadic rulers of China in their endorsement of the Chinese idea of unified rule."
^John Man, Attila: the barbarian king who challenged Rome, Bantam, 2005, hlm. 62. University of Michigan. ISBN 0-593-05291-9, 9780593052914:
"The Xiongnu also worshipped Tengri. A history of the Han dynasty (206 BC - AD 8), written towards the end of the first century by the historian Pan Ku, in a section on the Xiongnu, says, 'They refer to their ruler by the title cheng li [a transliteration of tengri] ku t'u [son] shan-yii [king]' i.e. something like 'His Majesty, the Son of Heaven'. In early Turkish inscriptions, the ruler has his power from Tengri; and Tengri was the name given to Uighur kings of the eighth and ninth centuries."
^Yü, Ying-shih (1986). "Han Foreign Relations". The Cambridge History of China, Volume 1: The Ch'in and Han Empires, 221 B.C. - A.D. 220. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 384. ISBN0-521-24327-0.
Adas, Michael. 2001. Agricultural and Pastoral Societies in Ancient and Classical History, American Historical Association/Temple University Press.
Beckwith, Christopher I. 2009. Empires of the Silk Road: A History of Central Eurasia from the Bronze Age to the Present. Princeton University Press. ISBN 978-0-691-13589-2
Di Cosmo, Nicola. 2004. Ancient China and its Enemies: The Rise of Nomadic Power in East Asian History. Cambridge University Press. (First paperback edition; original edition 2002)
Vaissière, Étienne de la. 2006. Xiongnu. Encyclopædia Iranica online.
Di Cosmo, Nicola. 1999. The Northern Frontier in Pre-Imperial China. In: The Cambridge History of Ancient China, edited by Michael Loewe and Edward Shaughnessy. Cambridge University Press.