Runtuhnya bursa efek adalah peristiwa jatuhnya atau turunnya indeks harga saham dalam bursa saham, hal ini dapat disebabkan oleh penjualan panik (panic selling) maupun faktor ekonomi dan politik lainnya. Kejatuhan bursa saham ini dapat mengakibatkan krisis ekonomi besar, khususnya bagi kaum pemodal. Dalam kondisi ini pasar saham mengalami penurunan signifikan (bearish) 10% dari level tertingginya dalam waktu yang lama.[1]
Penyebab
Jatuhnya bursa efek dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor manusia seperti penjualan panik, krisis politik, hingga perang. Sementara untuk faktor non-manusia seperti pandemi penyakit, bencana alam atau bahkan suatu kecelakaantransportasi yang menyorot perhatian publik juga dapat membuat pasar saham anjlok. Namun yang paling sering terjadi justru adalah faktor manusia, terutama penjualan panik saat menghadapi (bullish).[1]
Akibat
Konsekuensi nyata dari jatuhnya pasar saham adalah resesi ekonomi. Hal ini terjadi karena pasar saham menjadi sarana bagi dunia usaha untuk menyuntikkan dana agar bisa berkembang. Jika pasar saham menurun, dunia usaha tidak lagi mempunyai kapasitas untuk beroperasi atau memproduksi barang dan jasa, dan terpaksa mengurangi jumlah karyawan atau memberhentikan karyawan. Puncak dari kekacauan ini adalah meningkatnya pengangguran dan tingginya angka kemiskinan.[1]
Pencegahan dan Penanggulangan
Sejak Depresi Besar tahun 1929, pasar saham terus berinovasi seiring dengan berkembangnya teknologi. Badan hukum mulai menggunakan teknologi komputer, yang melaluinya mereka dapat menghitung risiko yang timbul dari algoritma komputer. Analis pasar kemudian menerapkan kemampuan algoritma komputer tersebut untuk mencegah investor melakukan kesalahan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian di pasar saham.[1]
Ketika pasar saham mengalami penurunan dalam jangka waktu yang lama, banyak investor yang panik dan menjual sahamnya untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Namun, hal ini hanya akan menambah kekacauan. Yang harus dilakukan investor saham adalah meningkatkan portofolionya setelah resesi dengan mengalihkan investasi ke produk non-saham seperti emas, perak, atau bahkan mata uang kripto seperti Bitcoin.[2]