Relokasi Kampung Pulo adalah program pemindahan sebagian penduduk Kampung Pulo di sekitar Kali Ciliwung ke rusunawa atau dikembalikan ke daerah asal yang dilakukan di masa pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Tidak seperti yang sering dibayangkan orang, sebenarnya bukan seluruh penduduk Kampung Pulo yang direlokasi, namun hanya sebagian yang menduduki wilayah bantaran kali yang memang melanggar peruntukan tanah. Sesuai PP no 35 Tahun 1995, daerah 5 meter dari sungai bertanggu; sebenarnya dikosongkan untuk jalan inspeksi yang selanjutnya digunakan untuk mengontrol kondisi sungai sehari-hari, atau dikenal dengan istilah sempadan sungai.[1]
Perencanaan relokasi
Kampung Pulo adalah salah satu bagian terparah dari banjir Jakarta karena letaknya ada di Meander Sungai Ciliwung dan akan tenggelam bila limpahan air dari Bogor dibuka. Pada bulan 24 Desember 2012, misalnya, jumlah wilayah terendam di Kampung Pulo mencapai 53 RT dari delapan RW, yang terdiri dari 2.599 kepala keluarga dengan 7.335 jiwa. Hal ini telah terjadi bertahun-tahun tanpa penanganan berarti, sehingga setiap tahun pemerintah dan pegiat sosial harus menyediakan bantuan makanan, obat-obatan, air bersih, dan penampungan sementara bagi para pengungsi yang menyesaki Jalan Jatinegara Barat. Akibatnya setiap musim banjir, daerah Kampung Melayu hingga Jatinegara selalu macet total.[2]
Mantan Gubernur Sutiyoso dan Fauzi Bowo sebenarnya sudah berniat untuk merelokasi warga Kampung Pulo. Namun tidak terwujud hingga akhir masa jabatannya.[3] Di masa Mantan Gubernur Joko Widodo, eksekusi relokasi mulai digagas dengan dimulainya dialog untuk pemindahan dan akhirnya diselesaikan di masa Basuki Tjahaja Purnama. Tertundanya eksekusi akibat warga yang menuntut ganti rugi, sementara Basuki Tjahaja Purnama menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat memberikan ganti rugi untuk warga yang tidak memiliki bukti kepemilikan atau menduduki lahan negara.[4]
Eksekusi relokasi
Pada tanggal 20 Agustus 2015, eksekusi relokasi terhadap 520 bidang tanah yang dihuni warga bantaran Kali Ciliwung di Kampung Pulo akhirnya dilakukan. Eksekusi ini mengundang kemarahan beberapa warga dan akhirnya terjadi bentrok. Namun tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini. Proses relokasi ini melibatkan 2.150 personel gabungan TNI, Kepolisian, dan Satpol PP. Satu alat berat juga disiagakan untuk menghancurkan bangunan liar.Personel kepolisian pun mengeluarkan gas air mata untuk meredam kericuhan. Satu orang warga dipukuli personel Satpol PP karena dianggap menghalang-halangi petugas.[5]
Rumah susun Jatinegara Barat sebagai pengganti
Warga kemudian dipindahkan ke Rumah Susun Jatinegara Barat yang kondisinya jauh lebih layak dibanding tinggal di pinggiran sungai. Rusun ini mendapat pujian banyak pihak yang menilainya sekelas apartemen, bukan lagi rusun. Sebab fasilitas yang diberikan antara lain Unit 30 meter persegi dengan dua kamar yang lega, satu kamar mandi shower, balkon, ruang serbaguna, sensor asap, dan dapur. Rusun ini juga dilengkapi lift untuk turun naik, CCTV, cleaning service, dan keramik yang licin. Keamanan juga dijamin dengan penjagaan 24 jam. Warga hanya perlu membayar Rp 10 ribu per hari atau Rp 300 ribu per bulan untuk menikmati fasilitas ini.[6]
Referensi