Pelabuhan Singapura (bahasa Inggris: Port of Singapore, bahasa Melayu: Pelabuhan Singapura, bahasa Tamil: துறைமுகம்) mengacu pada kumpulan fasilitas dan terminal yang melakukan fungsi penanganan perdagangan maritim di pelabuhan dan yang menangani perkapalan Singapura. Saat ini, pelabuhan ini adalah pelabuhan tersibuk kedua di dunia berdasarkan jumlah tonase pengiriman, juga melakukan seperlima[1] transfer peti kemas antar-kapal dunia, setengah dari pasokan tahunan minyak mentah dunia, dan merupakan yang tersibuk di dunia pelabuhan dalam hal pemunggahan (transshipment). Pelabuhan ini juga tersibuk dalam hal total tonase kargo yang ditangani sampai dengan tahun 2005, ketika dikalahkan oleh the Pelabuhan Shanghai. Ribuan kapal menurunkan jangkar di pelabuhan ini, yang menghubungkan pelabuhan ke lebih dari 600 pelabuhan lain di 123 negara dan tersebar di enam benua.
Pelabuhan Singapura tidak hanya menguntungkan secara ekonomis, tetapi merupakan kebutuhan ekonomi karena Singapura tidak mencukupi dalam hal sumber daya tanah dan alam. Pelabuhan ini penting untuk mengimpor sumber daya alam, dan kemudian diekspor setelah produknya telah diproses dengan beberapa cara, misalnya fabrikasi wafer atau pengilangan minyak untuk menghasilkan pendapatan. Dalam industri jasa pelabuhan ini juga menyediakan jasa perhotelan dan mengisi kembali persediaan makanan dan air pada kapal. Kapal-kapal yang lewat di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik biasanya melewati Selat Singapura karena Selat Johor di utara negara itu tidak dapat dilalui kapal karena adanya Jalan Penghubung Johor-Singapura yang dibangun pada tahun 1923, menghubungkan kota Woodlands, Singapora ke Johor Bahru di Malaysia.
Operasi
Pelabuhan ini adalah pelabuhan tersibuk di dunia dalam hal tonase pengiriman yang ditangani, dengan 1,15 miliartonase kotor (GT) yang ditangani pada tahun 2005. Dalam hal tonase kargo, Singapura berada di belakang Shanghai dengan 423 juta ton yang ditangani. Pelabuhan mempertahankan posisinya sebagai hub tersibuk di dunia dalam hal lalu lintas pemunggahan pada tahun 2005, dan juga hub pengisian bahan bakar kapal terbesar di dunia, dengan 25 juta ton dijual pada tahun yang sama.[2]
Singapura menduduki peringkat pertama secara global pada tahun 2005 dalam hal lalu lintas peti kemas, dengan 23,2 juta TEU ditangani. Pertumbuhan yang tinggi dalam lalu lintas peti kemas telah menyalip pelabuhan Hong Kong sejak kuartal pertama tahun 2005,[3] dan telah memimpin kompetisi sejak saat itu, dengan perkiraan 19.335 TEU ditangani hingga Oktober 2005, dibandingkan dengan 18.640 TEU yang ditangani di Hong Kong pada periode yang sama. Kenaikan lalu lintas regional mengonsolidasi posisinya di Asia Tenggara, dan peningkatan lalu lintas lintas pemunggahan menggunakan strategi Asia Timur-Eropa melalui rute Singapura membantu pelabuhan ini untuk mencapai puncak kompetisi pada akhir tahun, status yang tidak pernah disandang sejak Hong Kong menyalipnya pada tahun 1998.
Operator
Fasilitas peti kemas PSA Singapura adalah sebagai berikut:
Tempat berlabuh kontainer: 52
Panjang dermaga: 15,500 m
Luas: 600 hektare
Draf maksimum: 16 m
Derek dermaga: 190
Kapasitas rancangan: 35,000 kTEU
PSA Singapura memiliki 13 tempat berlabuh yang merupakan bagian dari Terminal Peti Kemas Pasir Panjang Tahap Kedua yang dijadwalkan selesai pada tahun 2009. Tahap Tiga dan Empat akan menambah 16 tempat berlabuh dan diharapkan selesai pada tahun 2013.[4]
Pelabuhan Jurong memiliki fasilitas sebagai berikut:
Tempat berlabuh: 32
Panjang dermaga: 5,6 km
Draf maksimum: 15,7 m
Ukuran kapal maksimum: 150,000ton bobot mati (DWT)
Luas: 127 Hektare Zona Perdagangan Bebas, 28 Hektare Zona Perdangan Tidak Bebas
Fasilitas Gudang: 178.000 m²
PSA Singapura juga memiliki kontrak 40 tahun untuk mengoperasikan Pelabuhan Gwadar tanpa pajak di pantai barat daya Pakistan. Gwadar mulai beroperasi pada Maret 2008, dengan 3 tempat berlabuh multifungsi, dermaga sepanjang 602 meter, dan kedalaman 12,5 meter. Sembilan tempat berlabuh lainnya, dengan kedalaman 20 m, sedang dibangun.
Sinnappah Arasaratnam (1972). Pre-modern Commerce and Society in Southern Asia : An Inaugural Lecture Delivered at the University of Malaya on December 21, 1971. Kuala Lumpur: University of Malaya.
Braddell, Roland (1980). A Study of Ancient Times in the Malay Peninsula and the Straits of Malacca and Notes on Ancient Times in Malaya / by Dato Sir Roland Braddell. Notes on the Historical Geography of Malaya / by Dato F.W. Douglas (MBRAS reprints; no. 7). Kuala Lumpur: Printed for the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society by Art Print. Works.
Chiang, Hai Ding (1978). A History of Straits Settlements Foreign Trade, 1870–1915 (Memoirs of the National Museum; no. 6). Singapore: National Museum.
Miksic, John N. (1985). Archaeological Research on the "Forbidden Hill" of Singapore : Excavations at Fort Canning, 1984. Singapore: National Museum. ISBN9971-917-16-5.
Miksic, John N.; Cheryl-Ann Low Mei Gek (gen. eds.) (2004). Early Singapore 1300s–1819 : Evidence in Maps, Text and Artefacts. Singapore: Singapore History Museum. ISBN981-05-0283-4.
Ooi, Giok Ling; Brian J. Shaw (2004). Beyond the Port City : Development and Identity in 21st Century Singapore. Singapore: Prentice Hall. ISBN0-13-008381-X.
Trocki, Carl A. (1979). Prince of Pirates : The Temenggongs and the Development of Johor and Singapore, 1784–1885. Singapore: Singapore University Press. ISBN9971-69-376-3.
Sekarang
Yap, Chris (1990). A Port's Story, A Nation's Success. Singapore: Times Editions for Port of Singapore Authority.