Nakhoda tenggelam bersama kapalnya (Bahasa Inggris: "The captain goes down with the ship") adalah sebuah Tradisi Maritim di mana nakhoda memegang tanggung jawab terhadap kapal beserta setiap orang di dalamnya sampai titik penghabisan, meskipun harus rela mati untuk itu. Meskipun sering dikaitkan dengan tenggelamnya RMS Titanic pada tahun 1912 bersama nakhodanya Edward Smith, tradisi tersebut telah berlangsung 11 tahun sebelumnya. Dalam banyak kejadian, nakhoda tidak mengambil langkah penyelamatan dirinya saat waktu darurat dan fokus pada penyelamatan penumpang lainnya. Hasilnya, nakhoda tewas bersama kapal, atau telat diselamatkan, karena mereka adalah orang terakhir yang berada di kapal.
Tradisi ini dikaitkan dengan protokol lainnya, "wanita dan anak-anak dahulu" yang muncul pada abad 19. Keduanya mencerminkan jiwa ksatria era Victoria, di mana mereka diharapkan menjaga kehormatan dengan menghargai orang-orang yang kurang beruntung. Tindakan yang diambil nakhoda beserta awak kapalnya saat HMS Birkenhead tenggelam pada tahun 1852 menuai pujian khalayak ramai disebabkan pengorbanan mereka dengan menyelamatkan penumpang wanita dan anak-anak terdahulu. Puisi Rudyard Kipling, "Soldier an' Sailor Too" dan puisi Samuel Smiles "Self-Help", menyoroti keberanian para laki-laki dan pemain musik untuk menghibur yang lain di saat kapalnya mulai tenggelam.
Tradisi ini menyatakan bahwa nakhoda menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal hidup-hidup sebelum tenggelam atau rusak total. Apabila awak dan penumpang kapal tidak dapat dievakuasi, mereka tidak boleh mencoba menyelamatkan diri meskipun bisa dilakukan.[1] Dalam konteks sosial, khususnya sebagai seorang pelaut, nakhoda dituntut mengambil tanggung jawab tersebut sebagai norma sosial.
Dalam hukum maritim, tanggung jawab nakhoda terhadap kapal yang dikendarainya sangat ditinggikan bagaimanapun kondisinya, sehingga meninggalkan kapal tersebut mempunyai konsekuensi hukum, termasuk hak keselamatan penumpang. Sehingga, nakhoda tetap dianggap bertanggung jawab, bahkan apabila kabur dari kapal saat keadaan genting dituntut kembali ke kapal sampai bahaya mereda. Jika seorang kapten kabur saat masa perang, tindakannya dapat dianggap kejahatan militer setara dengan desersi, kecuali apabila dia kembali lagi ke kapal agar tidak dapat direbut musuh dan menyelamatkan awak kapalnya.[butuh rujukan]
Meninggalkan kapal saat bahaya dapat dianggap suatu tindakan kriminal yang dapat menyebabkan hukum pidana.[1] Francesco Schettino, nakhoda yang meninggalkan kapalnya di saat-saat tenggelamnya Costa Concordia, tidak hanya dicerca secara luas karena tindakannya tersebut, namun juga dituntut 16 tahun penjara oleh pengadilan Italia, termasuk setahun penjara karena meninggalkan penumpang, 5 tahun karena menyebabkan tenggelamnya kapal, dan 10 tahun karena pembunuhan tidak disengaja terhadap korban tewas kapal. Nakhoda meninggalkan kapal dihitung sebagai tindak pidana dalam pengadilan negara Italia, Spanyol dan Yunani.[2] Hukum Korea Selatan juga menetapkan bahwa nakhoda menyelamatkan diri di urutan terakhir.[3] Di Finlandia, Hukum Maritim (Merilaki) menyatakan bahwa nakhoda harus melakukan upaya apapun untuk menyelamatkan setiap orang dalam kapal di saat genting dan tidak diperbolehkan meninggalkan kapal sepanjang pertimbangan kalau kapal masih dapat diselamatkan, kecuali jiwa mereka seketika dalam bahaya. Di Amerika Serikat, meninggalkan kapal tidak secara eksplisit dilarang, namun nakhoda dapat dikenai tuntutan lain, seperti pembunuhan tidak disengaja, yang termasuk dalam hukum umum. Namun tindakan ini tidak ilegal dalam hukum maritim internasional.[4]
Pada beberapa kasus nakhoda memilih menenggelamkan kapal dan keluar dari sana saat tenggelam. Pilihan ini biasanya hanya muncul ketika kerusakan tidak menyebabkan bahaya besar bagi perusahaan kapal dan penumpangnya. Bila panggilan darurat berhasil dan penumpang beserta semua barang paling berharga telah dievakuasi, maka kapal tersebut dianggap tidak berharga untuk diselamatkan dan diizinkan untuk ditenggelamkan. Penenggelaman kapal di dunia militer dilakukan sebagai pencegahan agar tidak direbut musuh atau ditangkap karena spionase, seperti insiden USS Pueblo. Kapal kargo berisi barang-barang untuk kebutuhan perang juga dihancurkan untuk alasan tersebut.
Dalam kasus lain, seorang kapten memutuskan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dengan merugikan awak, kapal, atau misinya. Keputusan yang mengabaikan tanggung jawab komando kapal biasanya akan diganjar hukuman pidana, atau sosial, sedangkan komandan militer sering menghadapi penghinaan.
Dalam kiasan metafora, "nakhoda" berarti pemimpin sebuah kelompok, "kapal" berarti sebuah tempat yang terancam bahaya, dan "tenggelam" berarti situasi yang dapat membuat "nakhoda" tersebut tewas. Ini umum sebagai referensi di dunia militer dan posisi pimpinannya saat situasi tersebut jelas terjadi. Contoh lain, apabila api berkobar dalam sebuah tambang, kepala penambang dapat "tenggelam" dalam api saat menyelamatkan para pekerja yang terjebak.
Konsep ini diperluas dalam hukum terhadap pilot yang bertugas dalam suatu penerbangan, yang menetapkan bahwa mereka "mempunyai wewenang dan tanggung jawab bagi operasional dan keselamatan penerbangan."[18] Hukum ini secara jelas diambil dari analogi nakhoda laut.
Kemudian hal ini menjadi sangat berkaitan saat kasus pilot harus mendarat di air dan pesawat menjadi 'kapal' terapung yang suatu saat bisa tenggelam. Contohnya, pada tahun 2009, US Airways Flight 1549 mendarat darurat di atas Sungai Hudson, Pilot bertugas Chesley Sullenberger menjadi orang terakhir di dalam pesawat yang setengah tenggelam, dan mengecek kembali isi pesawat tersebut sebelum keluar.[butuh rujukan]
Demikian juga, pada tanggal 16 Oktober 1956, Boeing 377 Stratocruiser yang terbang dari Honolulu ke San Francisco namun terpaksa mendarat di samudera Pasifik karena kegagalan mesin. Salah satu sayapnya pecah menghantam ombak besar. Kapten Richard N. Ogg menyelamatkan semua 31 penumpangnya dengan bantuan USCGC Pontchartrain dan menjadi orang terakhir yang keluar dari pesawat. Badan pesawat lalu tenggelam beberapa menit kemudian.[butuh rujukan]
Setelah skandal besar di Universitas Baylor, pihak kampus memecat President Kenneth Starr dan ditunjuk sebagai chancellor. Seminggu kemudian, Starr mengundurkan diri dan "bersedia menerima tanggung jawab" atas tindakannya. Ia menyatakan bahwa pengunduran diri terkait skandal itu adalah "masalah hati nurani" dan berkata, "nakhoda tenggelam bersama kapalnya."[19] Ia mengindikasikan bahwa pengunduran dirinya adalah diperlukan meskipun dia "tidak tahu apa yang terjadi."