Minuman keras di Jazirah Arab

Minuman keras di Jazirah Arab lazim diminum dan diperjualbelikan pada masa Arab Jahiliah. Pelarangan meminum minuman keras di Jazirah Arab kemudian dilakukan secara bertahap selama masa Muhammad sebagai nabi dalam ajaran Islam. Para peminum minuman keras mulai diberi hukuman berupa cambukan sejak masa pemerintahan Muhammad di Jazirah Arab. Pada abad ke-18, budaya meminum minuman keras kembali berlangsung di Jazirah Arab akibat dari percampuran budaya Turki yang menjadi penguasa di Jazirah Arab. Kondisi ini menimbulkan gerakan pembaharuan Islam yang dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1787).

Masa Arab Jahiliah

Pada masa Arab Jahiliah, minuman keras merupakan barang mewah.[1] Hanya orang kaya di kalangan bangsa Arab yang mampu membeli minuman keras untuk mabuk.[2] Mereka mabuk-mabukan dengan minuman keras hanya untuk memamerkan kekayaannya.[3] Di sisi lain terdapat orang-orang dari bangsa Arab yang tidak meminum minuman keras. Mereka ialah para pengikut ajaran Ibrahim yang mengajarkan tauhid.[4]

Masa Kenabian Muhammad

Minuma keras diharamkan secara berangsur-angsur di dalam Al-Qur'an.[5] Awal pengharamannnya dimulai dengan Surah An-Nahl ayat 67. Ayat ini menjelaskan bahwa rezeki dari Allah berupa kurma dan anggur dapat pula menjadi bahan pembuatan minuman keras.[6] Ketika ayat ini disampaikan, kurma dan anggur merupakan komoditas yang diperdagangkan di Jazirah Arab dalam bentuk alami dan minuman yang memabukkan. Makna tersirat dalam ayat ini ialah bahwa kurma dan anggur dapat menjadi rezeki yang baik bila diperdagangkan secara alami. Sebaliknya, kurma dan anggur dapat menjadi sesuatu yang buruk karena dapat memabukkan ketika dijadikan minuman.[7]

Ayat kedua mengenai pengharaman minuman keras disampaikan oleh Muhammad ketika para sahabat yang biasa meminum minuman keras pada masa Jahiliah menanyakan tentang minuman yang memabukkan dan menghilangkan akal. Salah satu penanya ialah Umar bin Khattab. Ayatnya ialah Surah Al-Baqarah ayat 219. Isinya menyebutkan bahwa meminum minuman keras dan berjudi merupakan suatu dosa besar meskipun memiliki beberapa manfaat bagi manusia. Kelanjutan ayat ini menyatakan bahwa dosa dari meminum minuman keras dan berjudi lebih besar dibandingkan manfaatnya.[8]

Ayat ketiga yang mengharamkan minuman keras ialah Surah An-Nisa' ayat 3. Isinya menyebutkan larangan melaksanakan salat dalam kondisi mabuk bagi orang-orang yang beriman. Alasannya karena akan keliru dalam pembacaan ayat. Penyebab disampaikannya ayat ini karena Abdurrahman bin Auf mengajak teman-temannya untuk meminum minuman keras hingga mabuk. Karena mabuk, salah satu dari mereka yang menjadi imam ketika waktu salat menjadi keliru membaca Surah Al-Kafirun. Setelah ayat ini, umat Islam masih ada yang meminum minuman keras.[9]

Pelarangan minuman keras baru diterapkan dalam syariat Islam secara total pada tahun ke-8 Hijriah.[10] Pengharaman minuman keras baru dinyatakan secara tegas, jelas dan mutlak ketika Surah Al-Ma'idah ayat 90 disampaikan kepada orang-orang yang beriman.[11] Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa meminum minuman keras termasuk salah satu perbuatan keji bagi orang-orang yang beriman. Meminum minuman keras juga termasuk perbuatan setan yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman. Bersamaan dengan pernyataan ini disampaikan kepada para Sahabat Nabi. Akhirnya, semua minuman keras di Kota Madinah ditumpahkan ke jalan kota sampai menjadi becek.[12]

Abad ke-18

Pada pertengahan Abad ke-18 M, minuman keras banyak digemari oleh penduduk di Jazirah Arab terutama di Makkah dan kawasan Hijaz. Kegemaran ini merupakan akibat dari kemunduran cara berpikir umat Muslim yang disebabkan oleh penggabungan budaya dari orang Turki yang menguasai Jazirah Arab. Bersamaan dengan minuman keras, timbul pula praktik prostitusi di Jazirah Arab. Krisis akidah dan akhlak serta kemunduran ekonomi, politik, sosial dan budaya kemudian menimbulkan terjadinya gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1787).[13]

Hukuman

Cambukan

Pada masa Muhammad, para peminum minuman keras diberi hukum pidana Islam berupa cambukan. Jumlahnya sebanyak 40 kali cambukan. Hukuman ini juga diberlakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah.[14]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Sukiman, Uki (2022). Habib, ed. Sastra Arab Awal Islam (PDF). Yogyakarta: Idea Press. hlm. 12. ISBN 978-623-484-042-1. 
  2. ^ Ria, Wati Rahmi (Agustus 2018). Hukum Perdata Islam (Suatu Pengantar) (PDF). Bandar Lampung: AURA. hlm. 19. ISBN 978-602-5636-96-7. 
  3. ^ Nasution, Syamruddin (2013). Sejarah Peradaban Islam (PDF). Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. hlm. 15. 
  4. ^ Sukiman, Uki (2022). Habib, ed. Sastra Arab Awal Islam (PDF). Yogyakarta: Idea Press. hlm. 12. ISBN 978-623-484-042-1. 
  5. ^ Ria, Wati Rahmi (Agustus 2018). Hukum Perdata Islam (Suatu Pengantar) (PDF). Bandar Lampung: AURA. hlm. 19. ISBN 978-602-5636-96-7. 
  6. ^ Hamim 2020, hlm. 195.
  7. ^ Hamim 2020, hlm. 196.
  8. ^ Hamim 2020, hlm. 196-197.
  9. ^ Hamim 2020, hlm. 97.
  10. ^ Wahyuni 2018, hlm. 19.
  11. ^ Hamim 2020, hlm. 197-198.
  12. ^ Yani, Ahmad (2008). Permadi, Budi, ed. 53 Materi Khotbah Ber-Angka. Jakarta: Al Qalam. hlm. 30–31. ISBN 978-979-986-422-2. 
  13. ^ Shamad, I. A., dan Chaniago, D. M. (November 2022). Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau (PDF). Palembang: Noer Fikri Offset. hlm. 90–91. ISBN 978-623-178-005-8. 
  14. ^ Wahyuni 2018, hlm. 3.

Daftar pustaka