Jayapangus atau Jaya Pangus (memerintah tahun 1178–1181 M) adalah Raja Bali dari dinasti Warmadewa. Dia dikenal melalui prasasti-prasastinya, beberapa di antaranya berkaitan dengan pajak.[1] Dia adalah keturunan penguasa terkenal Airlangga.[2]
Raja Jayapangus yang memerintah cukup lama merupakan raja besar yang sangat menonjol di antara raja-raja pada masa Bali Kuno. Ia mengeluarkan 43 prasasti dalam waktu tiga tahun. Prasasti tertua adalah prasasti Mantring A yang berangka tahun 1099 Saka (1178M) selebihnya berangka tahun 1103 Saka (1181 M).[3]
Jayapangus dikenal sebagai penyelamat negara karena mengajak rakyatnya kembali melakukan upacara agama sehingga mendapat wahyu (dikenal sebagai Hari Galungan). Saat masa pemerintahannya keamanan Bali terjamin dan ajaran agama Hindu berkembang dengan pesat. Raja Jayapangus bertahta hingga tahun Çaka 1103 (1181 Masehi). Jayapangus mungkin merupakan ayah dari Ratu Arjjaya Dengjaya Ketana. Dia adalah pendahulunya.
Sejarah
Raja Jayapangus yang bergelar Pāduka Śri Māhāraja Aji Jayapangus Arkaja Cihna/Lañcana adalah seorang raja penguasa Bali Kuno yang menjadi simbol keharmonisan etnik dan asimilasikebudayaan seperti halnya Bali dan Tionghoa pada saat itu sehingga aman dan tentramlah Bali pada zamannya.[4]
Dalam pengaruh kebudayaan Tionghoa pada Bali Kuno, cerita-cerita yang menarik dari rakyat Tionghoa-pun menyebar di Bali, misalnya kisah Sampik – Ing Tay. Ilmu silat dari Tiongkok juga berkembang di Bali Kuno dalam bentuk pencak, dan dalam bentuk tarian masal misalnya seperti baris dapdap, baris demung, baris presi, baris tumbak, baris tamiang, dan lain-lain.[5]
Menyadari akan tugas seorang raja sangat berat, untuk mengontrol jalannya pemerintahan, maka Raja Jayapangus menggunakan beberapa kitab hukumHindu sebagai pedoman pelaksanaan pemerintahan, yang dipatuhi oleh segenap pelaksana atau pejabat pemerintahan. Kitab hukum yang sering disebut-sebut dalam prasasti antara lain kitab hukum Manawakamandaka, Manawakamandaka Dharmasastra, dan Manawaśasanadharma.
Di samping itu diterapkan pula ajaran-ajaran tentang Dasaśila, sepuluh jenis tingkah laku yang baik dan harus dilaksanakan oleh pejabat Negara dan Pancaśiksa, keterampilan untuk melengkapi diri dalam melaksanakan tugasnya.
Semenjak menjadi penguasa Bali pada saat itu, Beliau berkeraton di Puri BalingkangKintamani pada tahun 1133 - 1173 yang dalam kisah Barong Landung diceritakan:
Raja Jaya Pangus disebutkan punya dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Shashanhkaja Cihna (Sang Dewi Laksana Bulan)
Cerita rakyat yang diragukan ahli sejarah namun berkembang sesudahnya menyebutkan bahwa istrinya tersebut bernama asli Kang Cing Wie, putri seorang subandar dagang dari Tiongkok. Diceritakan Raja Jayapangus jatuh hati pada Kang Cing Wie, sehingga mereka memadu kasih di Bali. Tetapi setelah menjalani pernikahan, mereka tidak dikaruniai anak. Raja Jayapangus pun berinisiatif untuk bersemedi di Gunung Batur agar mendapatkan anugerah anak.[butuh rujukan]
Setelah Raja Jayapangus bersemedi di hutan Batur bertemulah ia dengan Dewi Danu. Terjadilah padu kasih di antara mereka, hingga akhirnya menikah. Karena lama di hutan Batur, akhirnya disusulah Raja Jayapangus oleh Kang Cing Wie ke Gunung Batur. Ketika menyusul suaminya yang tidak kunjung pulang, Cing We merasa terpukul mengetahui Jayapangus menikahi Dewi Danu. Cing We dan Dewi Danu pun bertengkar. Batari Batur, ibu Dewi Danu yang melihat pertengkaran itu akhirnya memusnahkan Jayapangus dan Kang Cing Wie.[butuh rujukan]
Masyarakat Bali pun sedih kehilangan raja mereka dan memohon kepada Batari Batur untuk membuat pratima (patung sakral) untuk mengenang Jayapangus dan istrinya. Jayapangus pun diubah menjadi Barong Landung sedangkan Kang Cing Wie diubah menjadi Patung Bekung.[6]
Akhir masa pemerintahan
Pada hari Kamis Wage Wara Pujut sekitar bulan Februari 1116, pada saat itulah Cri Maharaja Aji Jaya Pangus wafat, arwahnya menuju alam baka. Abu puspasariranya dicandikan di pertapaan Dharmaanyar dan disana pura yang bernama panti-panti yang diurus oleh Dang Acarya Jiwaya
— Tulisan pada prasasti di Pura Pengukur-Ukuran di Desa Pejeng, Tampaksiring, Gianyar, Bali.
Raja Jayapangus setelah wafat dimakamkan di Dharma Anyar. Beliau memiliki dua orang putra yaitu Sri Hikajaya dan Sri Danadiraja.
Salah satu dari peninggalan di zaman Jayapangus tersebut adalah Goa Garba. Goa Garba terletak di bawah Pura Pengukur-Ukuran. Goa Garba merupakan sebuah ceruk pertapaan yang dipahat pada dinding tepi jurang sungai Pakerisan yang legendaris. Untuk mencapai situs purbakala ini harus terlebih dahulu melewati sebuah gapura yang tangganya berupa susunan batu-batu kali. Di atas ceruk pertapaan ini terdapat beberapa kolam dan pancuran. Di samping salah satu kolam tersebut terdapat sebuah lubang masuk menuju sebuah terowongan atau ruangan. Di lokasi Goa Garba ini pun terdapat sebuah tulisan yang dipahat, berbunyi “Sra”.
Creese, Helen (1991). "Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 147.
Nordholt, Henk Schulte (1980). "Macht, mensen en middelen; Patronen en dynamiek in de Balische politiek ca. 1700-1840". Doctoraalscriptie. Amsterdam.