Hilmar Farid (lahir 8 Maret 1968) adalah seorang sejarawan, aktivis, dan pengajar Indonesia.
Pada tanggal 31 Desember 2015 ia dilantik oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan menggantikan Kacung Marijan yang telah menjabat selama 4,5 tahun.[1][2] Hilmar merupakan pejabat eselon I pertama yang berasal dari kalangan non-PNS.[3] Saat dilantik, ia juga masih menduduki jabatan komisaris di PT Krakatau Steel (Persero).
Hilmar lahir di kota Bonn, Jerman Barat, pada tanggal 8 Maret 1968. Hilmar merupakan anak dari Agus Setiadi, seorang penerjemah buku cerita anak.
Pada 1993, ia menyelesaikan studinya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan judul skripsi "Politik, Bacaan dan Bahasa Pada Masa Pergerakan: Sebuah Studi Awal". Dua tahun setelah lulus, pria penyuka musik ini kemudian mengajar di Institut Kesenian Jakarta selama 4 tahun.
Pada 1994, bersama beberapa seniman, peneliti, aktivis, dan pekerja budaya di Jakarta, ia mendirikan Jaringan Kerja Budaya dan menerbitkan bacaan cetak berkala Media Kerja Budaya.
Pada 2002, Hilmar mendirikan dan memimpin Institut Sejarah Sosial Indonesia hingga 2007. Saat ini ia masih bertindak sebagai ketua dewan pembina organisasi nirlaba tersebut sambil menjadi Ketua Perkumpulan Praxis sejak 2012.
Tertarik pada kebudayaan dan sejarah, Hilmar kemudian aktif di Asian Regional Exchange for New Alternatives (ARENA) dan Inter-Asia Cultural Studies Society sebagai editor. Pada Maret 2012, ia bersama rekan-rekannya membentuk Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB), yang bertujuan mensosialisasi pilkada Jakarta 2012 tanpa keterlibatan uang dan mendukung serta mengkampanyekan figur yang layak dipilih.
Pada 2012, ia meluncurkan bukunya berjudul "Kisah Tiga Patung" yang diterbitkan Indonesia Berdikari. Bukunya yang lain, berasal dari disertasi doktornya di National University of Singapore bidang kajian budaya pada bulan Mei 2014 berjudul “Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization”.