Antropologi hukum adalah kajian antropologis terhadap makna sosial dari dan pentingnya hukum dengan menelaah bagaimana hukum dibuat termasuk bagaimana konteks sosial pembuatan hukum tersebut, bagaimana hukum mempertahankan dan mengubah institusi sosial lainnya, dan bagaimana hukum membangun perilaku sosial.[1] Namun seiring perkembangan zaman dan tatanan politik dunia pasca-Perang Dingin, cakupan kajian antropologi hukum meluas di antaranya membahas keterkaitan antara konflik sosial dengan kesenjangan ekonomi dan batasan-batasan hukum dalam melakukan rekayasa sosial. Antropologi hukum kini turut mengkaji hubungan antara politik dan hukum yang juga berubah dalam konteks pasca-Perang Dingin tersebut. Sebagai akibat dari perluasan cakupan tersebut, bahkan ada kalangan yang menyebut kajian antropologi hukum pada abad ke-19 sebagai kajian antropologi protolegal.[2]
Legal anthropology vs Anthropology of law
Akademisi Tobias Kelly menekankan perbedaan antara legal anthropology dengan anthropology of law. Kedua istilah jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka akan sama-sama menjadi antropologi hukum tetapi dalam konteks bahasa Inggris, legal anthropology mengkaji hubungan antara proses hukum dengan aspek lain seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik serta makna dan akibat dari pelaksanaan hukum tersebut tetapi anthropology of law mengkaji institusi, proses, dan konsep hukum yang mayoritas berakar dari "hukum liberal Barat".[3]
Sejarah
Ada tujuh periode penting dalam perkembangan antropologi hukum. Periode yang pertama terjadi pada tahun 1860-an ketika Sir Henry Maine yang sedang bertugas di India menerbitkan Ancient Law yang merangkum berbagai tradisi hukum dan mengembangkan teori bahwa setiap masyarakat yang berkembang akan mengalami perubahan dari versi primitifnya menuju masyarakat Victoria. Pandangan Maine tentu dapat dicap rasis dalam konteks modern karena memuliakan peradaban Eropa.[4]
Periode kedua terjadi pada tahun 1920-an ketika Bronislaw Malinowski mengkritik teori Maine dan mengembangkan pendekatan etnografis dalam mengkaji hukum. E. Adamson Hoebel bersama dengan akademisi hukum Karl Llewelyn menerbitkan The Cheyenne Way pada tahun 1941 yang menggunakan pendekatan studi kasus dalam mengkaji hukum asing. Pendekatan Hoebel ini merupakan kembalinya teori evolusi yang dikembangkan oleh Maine.[4]
Di pertengahan abad ke-20, antropolog-antropolog memperdebatkan penggunaan pendekatan pengkategorian hukum Anglo-Amerika dalam mengkaji masyarakat-masyarakat non-Barat. Dua tokoh utama dalam perdebatan ini ialah Max Gluckman dan Paul Bohannan. Bohannan meyakini bahwa pengkategorian berdasarkan hukum Anglo-Amerika membatasi pemahaman dan keterwakilan budaya lain dan lebih menyukai penggunaan istilah setempat yang belum tentu konsepnya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tetapi dapat dijelaskan. Sementara itu Gluckman menilai pendekatan Bohannan tersebut terlalu berhati-hati dan justru menjadi penghalang dalam menghasilkan analisis perbandingan.[4]
Pada tahun 1970-an, kajian antropologi hukum mengalami peralihan dari aturan hukum ke proses hukum. Gagasan pengkajian proses hukum ini melihat pluralisme hukum, rezim alternatif, dan struktur hukum yang ada dalam masyarakat mana pun. Pada tahun 1980-an, wacana dan kritik pascamodernis muncul dan mempertanyakan pengkategorian tradisional yang dilakukan oleh para antropolog hukum. Pendekatan kasus yang dikembangkan oleh Hoebel dianggap tidak melihat kepatuhan pada hukum di masyarakat dan penekanan pada nilai-nilai hukum Anglo-Amerika.[4]
Pada tahun 1990-an, pengkajian antropologi hukum terus berkembang dengan banyaknya akademisi yang menginginkan kajian dari perspektif-perspektif berbeda seperti melalui pendekatan linguistik, pendekatan naratif, kajian interdisipliner, aspek-aspek transnasional, dan keterkaitan antara hukum dengan budaya suatu masyarakat.[4]
Referensi